POLITIK HUKUM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM : Antara Manifestasi Keadilan Sosial dengan Kepentingan Pemerintah bagi Pembangunan
POLITIK HUKUM PENGADAAN
TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM : Antara
Manifestasi Keadilan Sosial dengan Kepentingan Pemerintah bagi Pembangunan
A.
LATAR
BELAKANG
Manusia
dalam hidup dan kehidupannya, tidak
dapat dengan semaunya menasbihkan dirinya tidak tergantung dan lepas dari
“tanah”. Mulai semenjak manusia lahir hingga matipun tanah akan terus menjadi
bagian dari kehidupannya, sebab hal yang paling hakiki sekalipun yakni mati pun
manusia butuh tanah. Oleh karenanya tanah menjadi kebutuhan dasar manusia, baik
itu berasal dari peradaban masa lalu maupun peradaban sekarang. Pada prinsipnya
tanah memiliki dimensi yang beragam dibandingkan kebutuhan dasar manusia
lainnya, baik itu dimensi ekonomi, sosial, cultural hingga politik.
Jika
peradaban masa lalu, tanah hanya dianggap memiliki dimensi sosial dan ekonomi
saja, dimana terlihat dari pemanfaatan tanah sebagai sumber kekayaan alam
tempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok yakni sandang dan pangan
yang karenanya pengelolaan dan perlakuan terhadap tanah hanya sebatas nilai
ekonomi semata. Sementara pada sebagian manusia lainnya, maka tanah dianggap
memiliki dimensi sosial dan cultural belaka. Hal ini dipandang atas oleh
perlakuan masyarakat hukum adat yang menilai tanah sebagai “barang” yang
bernilai magis yang karenanya tanah diperlakukan secara “klenik”, terlihat dari
beberapa suku adat di Indonesia yang memiliki keyakinan bahwa bahwa manusia
tidak boleh hidup menetap di atas yang sama dan harus berpindah-pindah.
Kebudayaan ini masih dianut oleh beberapa suku pedalaman di Indonesia
Kolonialisme
dan Revolusi Industri di Eropa, turut mendorong perubahan pemahaman atas
penguasaan dan pengelolaan atas tanah di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Politik tanam paksa dan politik etis menjadi bagian yang tidak bisa dihapus dalam
sejarah bangsa Indonesia berhubungan erat dengan penguasaan dan pengelolaan
atas tanah. Hingga Indonesia merdeka dan kemudian silih bergantinya kekuasaan
pemerintah di Republik Indonesia menciptakan sistim hukum tersendiri yang
berhubungan erat dengan sistim hukum pertanahan.
Konsep
negara hukum oleh beberapa ahli oleh
Immanuel Kant, Paulband, Julius Stahl, Ficthe kemudian dimanifestasi dalam
konstitusi kita sebagai negara yang didasarkan kepada hukum
(rehtstaat) bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat)[1].
Secara
umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, kita melihat
bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law),
kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) dan penegakan hukum
dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law)[2]
Paham
negara hukum sebagaimanat tercantum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) terkait
erat dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum
materil sesuai dengan bunyi alinea keempat Pembukaan dan ketentuan Pasal 34
Undang-Undang Dasar Negara RI 1945. Pelaksanaan paham negara hukum materil akan
mendukung dan mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia[3].
Scheltema
dalam pandangan Arief B. Sidharta[4],
memandang bahwa unsur dan asas negara hukum, meliputi :
(1)
Pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi
manusia yang berakar dalam penghormatan atas bermartabat manusia (human
dignity)
(2)
Berlakunya asas kepastian hukum.
(3)
Berlakunya asas persamaan dihadapan hukum dan
pemerintahan baik secara substansi maupun prosedural.
(4)
Belakunya asas demokrasi, atas hak dan kesempatan
yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan.
(5)
Kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan negara.
Dalam
perjalanannya konsep negara hukum tersebut, menjadi dasar bahwa penguasan dan
kepemilikan tanah merupakan hak asasi manusia yang diakui baik secara nasional
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan
Deklarasi Umum Hak Asasi manusia (DUHAM) secara Internasional.
Oleh
karenanya negara berkewajiban mengkonstruksi aturan dan kebijakan pertanahan,
sebagai bagian kewajiban negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat
melalui pembangunan.
Konsep
dan pemahaman Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, yang
menyatakan secara jelas bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terdapat
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat tidak dipahami sama oleh Pemerintah dan masyarakat dalam
posisi minoritas.
Salah
satu implementasinya adalah pengadaan tanah bagi kepentingan umum, yang sampai
saat ini masih menjadi isu hangat dan meninggalkan konflik disana-sini, kendati
regulasi dalam level undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum hingga Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum telah diterbitkan.
Pembentukan
hukum, dalam arti undang-undang, merupakan aktivitas penting dalam negara
hukum. Undang-Undang menjadi dasar legalitas bagi seluruh elemen negara,
khususnya bagi penyelenggara negara, dalam menyelenggarakan dan mengelola
negara. Tak boleh ada tindakan pemerinthan dilakukan tanpa landasan
undang-undang., kecuali pemerintah mau dikatakan lalim atau sewenang-wenang. Di
negara demokrasi, undang-undang dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di
lembaga legislatif atas dasar aspirasi dan kehendak rakyat. Melalui lembaga
legislatif inilah kepentingan rakyat diagregasi untuk kemudian dituangkan dalam
undang-undang. Kemudian undang-undang berlaku mengikat dan harus dipatuhi.
Untuk itu, idealnya undang-undang merupakan formalisasi atau kristalisasi norma
dan kaidah yang dikehendaki atau sesuai aspirasi masyarakat.[5]
Idealnya
suatu peraturan perundang-undangan adalah dalam rangka perwujudan keadilan
sosial bagi seluruh masyarakat, sebab keadilan sosial adalah sesuatu yang harus
dimaknai sebagai sesuatu yang universal.
Bahwa
terjadi permasalahan berkenaan dengan manifestasi tanah yang memiliki fungsi
sosial dimasyarakat dan mengandung nilai-nilai HAM dengan kebutuhan
Pemerintah akan tanah yang ditujukan
bagi kepentingan pembangunan, yang mana harus didahulukan. Benturan kepentingan
terjadi manakala di satu sisi pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana
utamanya, sedangkan di sisi lain sebagian besar dari warga masyarakat juga
memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencahariannya.[6]
Permasalahan
yang terjadi tidak hanya terjadi hari ini saja melainkan sudah ada sejak
“republik” ini berdiri. Berbagai kepentingan mendominasi substansi regulasi
bidang pertanahan. Kepentingan dimaksud idealnya adalah semata-mata demi
kepentingan masyarakat, namun hal tersebut ternyata tidaklah sama dengan
kenyataan dan praktek sehingga terjadi kontradiksi antara das sein dan das sollen.
Pandangan
bahwa kepentingan tertentu diluar kepentingan
masyarakat diaduk dalam komposisi kepentingan politik. Karenanya ada
kecenderungan intervensi politik terhadap hukum.
Pernyataan
bahwa “hukum adalah produk politik” adalah benar jika didasarkan pada das sein dengan mengkonsepkan hukum
sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai
undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislative maka tak seorang pun dapat
membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi,
formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing
baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik
yang terbesar[7].
Berdasarkan hal tersebut
Penulis tertarik untuk membahas topik “POLITIK HUKUM
PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM : Antara
Manifestasi Fungsi Sosial dan Keadilan Sosial dengan Kepentingan Pemerintah bagi
Pembangunan”
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Hak
menguasai negara di Indonesia didasarkan
pada Pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan :
(1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan.
(2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3)
Bumi dan air kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan tujuan
dari pengelolaan dan penggunaan sumber alam nasional. Tujuan ini dipandang
sebagai kepentingan yang tidak yang
tidak dapat diabaikan, karena selain sebagai amanat konstitusi, ia juga
didambakan oleh warga negara dan menjadi tanggungjawab negara sebagai
konsekuensi dan hak menguasai negara itu sendiri [8].
Bahwa
prinsip pengadaan tanah adalah perwujudan dari
manifestasi normatif Pasal 18
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria UUPA), mengingat
tanah memiliki fungsi sosial dan kepentingan umum.
Oleh
karena itu, Hak Penguasaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya pada hakikatnya merupakan suatu perlindungan dan jaminan wujud
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun apabila makna hak menguasai negara
bergeser dari “beherdaad” (pengelolaan) menjadi “eigendaad” (pemilikan), maka
tidak akan ada jaminan penggunaan objek penguasaan kepada sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat[9].
Hak
menguasai negara mengandung makna [10] :
a)
Mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan dan penggunaan objek pemilikan ;
b)
Menetukan
dan mengatur hubungan antara orang dengan objek pemilikan ;
c)
Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan antara beberapa orang dan perbuatan hukum atas
objek pemilikan.
Bahwa
penjabaran hak menguasai negara tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yakni mulai level undang-undang hingga kepada keputusan
presiden.
Bahwa
selanjutnya seiring dengan arah pembangunan nasional oleh pemerintah baik
disegala sektor terutama pembangunan fisik mendorong pemerintah dan swasta
untuk meningkatkan infrastruktur.Upaya sebagaimana dimaksud tentu saja
membutuhkan tanah.
Pemerintah
mempunyai kewajiban menyediakan tanah yang diperlukan untuk pembangunan antara
lain dari tanah negara yang dikuasai oleh rakyat ataupun dengan menyediakan
bank tanah bagi kepentingan pembangunan. Namun fakta menunjukkan, pemerintah
tidak mampu memenuhi penyediaan tanah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan
sehingga banyak proyek pembangunan yang dilakukan harus mengambil tanah rakyat.[11]
Politik
pertanahan di Indonesia terkait dengan penyediaan tanah telah dimulai sejak
zaman Belanda, dimana berbagai peraturan perundang-undangan telah dibuat. Bahwa
kemudian peraturan perundang-undangan tersebut dibuat hanya untuk kepentingan
masa penjajah pada masa itu. Oleh karenanya implementasi pemberlakuan peraturan
perundang-undangan tersebut mengakibatkan kesengsaraan dan kemiskinan kendati
ditujukan untuk kepentingan masyarakat (baca : penguasa)
Pengaturan
kepentingan umum dalam berbagai peraturan perundang-undangan hanyalah ditujukan
untuk kepentingan penjajah dan kepentingan para pengusaha yang mengekploitasi
seluruh kekayaan alam.[12]
Begitu
juga hal-nya pembentukan pengaturan pertanahan pada masa penjajahan Jepang
justru semakin membuat rumit dan sulit penderitaan rakyat.
Politik
agaria pemerintahan balatentara pendudukan Jepang tujuannya tidak berbeda dengan
politik jajahan Belanda. Politik agraria
pemerintahan balatentara Jepang bertujuan untuk menjamin kepentingan pihak
penjajah. [13]
Selanjutnya
pada masa setelah berlakunya Undang-Undang Pokok-Pokok Agaria (UUPA), dimana
UUPA kemudian mencabut peraturan perundang-undangan yang mendahuluinya sejak
zaman Belanda dengan Agrarische Wet
(S.18750-55), kemudian Domein
Verklaring yang tersebut dalam Pasal 1 Agrarische
Besluit, Domein Verklaring untuk daerah Sumatera, Menado dan Borneo
(sekarang : Kalimantan), Koninklijk
Besluit dan Buku Kedua dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
Ketentuan
Undang-Undang Pokok-Pokok Agaria (UUPA) tersebut bertujuan yakni :
a)
Meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat
untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
b)
Meletakan dasar-dasar untuk
mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c)
Meletakkan dasar-dasar untuk
memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai konsep dasar pengadaan
tanah bagi kepentingan umum, dimana Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Oleh karenanya pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum merupakan
suatu cara terakhir untuk memperoleh tanah guna keperluan tertentu untuk
kepentingan umum. Sehingga jika memang dirasa mendesak haruslah pencabutan hak
tertentu dengan ganti kerugian yang layak.
Berdasarkan hal tersebut maka tanah benar-benar memiliki fungsi sosial
yakni dari masyarakat, oleh masyarakat dan kembali peruntukkannya untuk
kepentingan masyarakat.
Namun permasalahannya apakah pengadaan tanah demi kepentingan umum
tersebut memang telah sesuai dengan semangat Undang-Undang
Pokok-Pokok Agaria (UUPA).
Dalam
pelaksanaan pencabutan hak milik, mungkin saja terjadi perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad), yaitu penetapan
ganti rugi ditetapkan dengan tidak mengindahkan dasar-dasar pertimbangan
wilayah dan daerah penampungan yang ditunjuk pemerintah ternyata tidak memenuhi
persyaratan hidup untuk dihuni dan terisolasi sehingga masyarakat tidak dapat
membangun kehidupan sosial ekonominya di tempat baru. Pencabutan hak atas tanah
dapat juga dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan yang melampaui batas
kewenangannya (detournement de pouvoir),
yaitu dalam hal tanah dan benda-benda yang bersangkutan tidak dipergunakan
sesuai dengan perencanaan peruntukkannya, dengan kata lain kepentingan umum
yang dimaksud tidak sesuai dengan kepentingan umum yang menjadi dasar
pencabutan tersebut.[14]
Bahwa
untuk mencegah terjadinya abuse of power oleh pemerintah, maka Implementasi pengadaan
tanah perlu memperhatikan beberapa prinsip (asas) sebagaimana tersirat dalam
peraturan perundang-undangan dan ketentuan terkait yang mengaturnya sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang PENGADAAN TANAH BAGI
PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM .
yakni sebagai berikut :
a) kemanusiaan;
b) keadilan;
c) kemanfaatan
d) kepastian;
e) keterbukaan;
f) kesepakatan;
g) keikutsertaan;
h) kesejahteraan;
i) keberlanjutan;
dan
j) keselarasan.
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum dari semangat pembangunan Negara dan amanat Pasal 18
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) diharapkan
membawa angin segar bagi pelaksanaan pembangunan yang tetap dalam kerangka
penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Dari
tipologi normatif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) yang selama ini “dalam keadaan
tidak bergerak” (bet recht in rust)seolah-olah
sudah terjawab.
Hukum
tanah nasional mengakui dan menghormati hak masyarakat atas tanah dan benda
yang berkaitan dengan tanah, serta memberikan wewenang yang bersifat publik
kepada negara berupa kewenangan untuk mengadakan pengaturan, membuat kebijakan,
mengadakan pengelolaan, serta menyelenggarakan dan mengadakan pengawasan yang
tertuang dalam pokok- pokok Pengadaan Tanah sebagai berikut:
1.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin
tersedianya tanah untuk Kepentingan Umum dan pendanaannya.
2.
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan
sesuai dengan :
3.
Pengadaan Tanah diselenggarakan melalui
perencanaan dengan melibatkan semua pemangku dan pengampu kepentingan.
4.
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
5.
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
dilaksanakan dengan
a)
Rencana Tata Ruang Wilayah;
b)
Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;
c)
Rencana Strategis; dan
d)
Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan
tanah. pemberian Ganti Kerugian yang
layak dan adil.
Dalam
Pemahaman Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, maka yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah
kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian yang layak dan
adil kepada pihak yang berhak. Artinya kegiatan pengadaan tanah dimaksud
memiliki 2 (dua) variable yakni 1). Kegiatan
menyediakan tanah bagi kepentingan negar ; 2). Kegiatan
memberikan ganti kerugian yang layak dan adil kepada orang-orang yang hak atas
tanahnya dicabut.
Bahwa
pengadaan tanah untuk kepentingan umum seyogyanya bertujuan menyediakan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
bangsa, negara dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum piha yang
menjadi objek pengadaan tanah. Oleh karenanya negara melalui pemerintah
menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum, termasuk pendanaan untuk
kepentingan umum.
Variabel
sebagaimana dimaksud di atas harus dilaksanakan secara adil. Bahwa kemudian
terdapat adalah tepat jika tidak ada pengadaan tanah tanpa pelaksanaan ganti
kerugian terhadap pemegang hak atas tanah yang menjadi objek pengadaan tanah.
Bahwa
untuk menjadikan kesepahaman konsep kepentingan umum yang selama ini terpecah
oleh pemahaman pemerintah sebagai pihak membutuhkan tanah dengan masyarakat
sebagai pihak yang terkena objek pengadaan tanah, maka Undang-Undang Pengadaan
Tanah telah memberikan batasan yang jelas.
Memberikan
batasan kepentingan umum bukanlah hal yang mudah mengingat penilainnya subjektif
dan terlalu abstrak untuk dipahami. Hal ini sama saja halnya menilai sesuatu
adalah adil atau tidak adil.
Akan
tetapi, dalam rangka pengambilan tanah-tanah masyarakat, penegasan kepentingan
umum yang akan menjadi dasar dan kriterianya perlu ditentukan secara tegas
sehingga pengambilan tanah-tanah dimaksud benar-benar sesuai dengan landasan
hukum yang berlaku.[15]
Secara
etimologis, Kepentingan umum dapat diartikan melalui defenisi dan maknanya
melalui Kamus Bahasa Indonesia, namun defenisi dan makna dimaksud tentu tidak
dapat dijadikan pengertian yang tepat dalam hal ini. Sebab referensi tersebut
tidak dapat berdiri sendiri sejalan dengan perpaduan keadaan dan keilmuan
sosial lainnya .
Kepentingan
dalam arti luas diartikan sebagai public
benefit sedangkan dalam arti sempit public use diartikan sebagai public access, atau apabila public
access tidak dimungkin, maka cukup if
entire public could use the product of the facility.[16]
Roscou
Pound mengemukakan tentang social
interest (kepentingan masyarakat, menurutnya adalah suatu kepentingan yang
tumbuh alam masyarakat menurut keperluan masyarakat itu sendiri.Pound membagi
tiga kategori interst : Public interest (kepentingan
masyarakat), social interest (kepentingan
masyarakat) dan Private interest (kepentingan pribadi).
Gunanegara
menyatakan bahwa kepentingan umum tidak mudah untuk dirumuskan, karena
merupakan pengertian yang kabur (vage
begrif) sehingga tidak mungkin
diinstusionalkan kedalam norma hukum , yang apabila dipaksakan akibatnya
menjadi norma kabur (vage normen).
Dalam
ketentuan Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus
diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.
Lingkup
dan batasan tanah untuk kepentingan umum menurut undang-undang dimaksud adalah
untuk kepentingan pembangunan .[17]
Tidak
dapat disangkal bahwa tindakan pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan
umum, memperhatikan dan melindungi kepentingan orang banyak (kepentingan umum).
Memang, itulah tugas pemerintah sehingga kepentingan umum merupakan kepentingan
atau urusan pemerintah. Kalau kepentingan umum sama dengan kepentingan
pemerintah, apakah setiap kepentingan pemerintah adalah kepentingan umum ?.
Kalau kepentingan umum merupakan kepentingan
(urusan) pemerintah maka dari diatas dapat disimpulkan bahwa kepentingan
pemerintah belum tentu atau tida selalu merupakan kepentingan umum. Kepentingan
(urusan) pemerinta ada kalanya harus mengalah terhadap kepentingan lain
(kepentingan umum).[18]
Bahwa
kemudian rumusan kepentingan umum sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
dapat dijadikan rumusan bagi hakim dalam memutus sengketa yang berkaitan dengan
kepentingan umum dalam pengadaan tanah yang dinamis.
Tiap-tiap
kasus harus dilihat secara kasuistis. Sudahlah tepat kalau yang akhirnya
menetukan apa saja yang termasuk kepentingan umum adalah hakim atau
undang-undang berdasarkan rumusan yang umum tadi.[19]
2.
Perlindungan
Hukum bagi Masyarakat yang Terkena Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Kepentingan
Umum.
Kepemilikan
tanah merupakan hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum internasional
maupun hukum nasional. Dalam hukum
internasional dijabarkan melalui Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, yakni
a)
Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda
baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain.
b)
Tidak seorang pun dapat dirampas harta bendanya
secara sewenag-wenang
c)
Tidak ada satu ketentuan pun dalam deklarasi ini
yang dapat ditafsirkan sebagai memberikan hak pada suatu negara, kelompok atau
orang, untuk terlibat dalam aktivitas atau melakukan suatu tindakan yang
bertujuan untuk menghancurkan hak dan kebebasan apapun yang diatur dalam deklarasi ini.
Didalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, perlindungan hukum kepemilikan tanah diatur
dalam beberapa pasal, yakni :
1.
Pasal 2 tentang pengakuan dan perlindungan negara
terhadap HAM
2.
Pasal 6 ayat (1) dan (2) tentang pengakuan dan perlindungan
hak ulayat.
3.
Pasal 29 ayat (1) tentang perlindungan terhadap
hak milik.
4.
Pasal 36 ayat (1) dan (2) tentang hak milik
sebagai hak asasi dan jaminan tidak adanya perampasan secara sewenang-wenang
atas hak miliknya.
5.
Pasal 37 ayat (1) tentang syarat mencabut hak
milik adalah untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian dan harus
berdasarkna undang-undang.
Sebagaimana
yang telah diuraikan dalam bahasan sebelumnya, bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus
dijalankan secara seimbang, dalam artian memenuhi tuntutan pembangunan demi
kepentingan seluruh masyarakat tetapi tidak mencederai rasa keadilan bagi
orang-orang yang dicabut hak atas tanahnya dengan suatu pemberian ganti
kerugian.
Pemahaman
terhadap kepentingan umum yang sering dimaknai kabur, haruslah diperjelas dalam
hal pengadaan tanah. Hal ini merupakan penerapan kepastian hukum dan
menghindari praktek-praktek pemboncengan kepentingan
tertentu dalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum.
Bahwa
untuk penegasan tersebut diperlukan suatu undang-undang khusus yang mengatur
hal tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Undang-Undang dimaksud
Bahwa
produk hukum selama ini yang menjadi landasan yuridis pengadaan tanah adalah
UUPA sebagai produk hukum yang menurut
Mahfud M.D[20] yang berkarakter responsif, meskipun lahir
pada saat konfigurasi politik berjalan otoriter. Pertama, UUPA sudah dibahas jauh sebelum pemerintahan Orde Baru
yakni tahun 1948, dimana pada waktu itu semangatnya adalah semangat responsif
melawan watak penjajah. Kedua, Substansi
UUPA berisi pembalikan hukum pertanahan dari situasi negara kolonial ke negara
nasional sehingga lebih demokratis. Ketiga,
secara substantif cakupan UUPA itu bukan berisi hukum publik tetapi hukum
keperdataan.
Bahwa
kemudian UUPA , tidak dapat menampung dinamisasi pembangunan yang semain
komplek juga harus diaminkan. Sebab
banyak terdapat konflik pertanahan yang belum diatur dan ditampung dalam UUPA
ditambah dengan konflik vertical dan horizontal produk hukum yang satu dengan
produk hukum lainnya.
Selanjutnya
produk hukum yang tidak sesuai dengan kaidah dan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan juga menjadi permasalahan yang harus segera diselesaikan.
Bahwa
lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2012, harus disikapi secara positif, minimal mampu
menjawab persoalan yang terjadi hari ini. Salah satunya pelaksanaan dari
semangat Pasal 18 UUPA.
Kesadaran
filosofis subtansif sebenarnya sudah muncul dari Pasal 18 UUPA yang telah
memerintahkan bahwa penerbitan ganti rugi yang layak adalah dengan undang-undang
yang selama ini hanya diatur dalam peraturan/ keputusan presiden yang tidak
memadai.
Berdasarkan
substansi dan identifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pengadaan tanah,
maka penulis mengelompokkan tahap perlidungan hukum pada proses sebagai berikut
:
a)
Sosialisasi pengadaan tanah.
Dalam
tahap ini, pemerintah memberikan penjelasan atau penyuluhan dalam bentuk
konsultasi publik rencana pembangunan yang dilaksanakan kesepakatan lokasi
rencana pembangunan dari pihak yang berhak.
Konsultasi
sebagaimana dimaksud dilakukan dengan
melibatkan pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak serta
dilaksanakan di tempat rencana pembangunan kepentingan umum atau tempat yang
disepakati. Keterlibatan pihak yang berhak dapat dilakukan melalui perwakilan dengan
surat kuasa dari pihak yang berhak atas lokasi rencana pembangunan.
Pada
tahapan ini seringkali ditemukan permasalahan yakni tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya, dimana terkadang pemerintah ternyata tidak melaksanakan
musyawarah dengan pemilik lahan yang sah melainkan oknum tertentu yang berusaha
menarik keuntungan dengan pelaksanaan pengadaan tanah.
Hal
ini menjadi kendala lainnya adalah bahwa status kepemilikan lahan yang tidak
jelas dari pemilik lahan seperti tidak ada bukti sertifikat tanah dan hanya
didasarkan bukti pengusaan fisik saja. Ditambah adanya konflik internal dari
kepemilikan tanah yang menjadi objek pelaksanaan pengadaan tanah serta
kurangnya wawasan dan sulit berkomunikasi dari masyarakat.
Pada
tahapan ini, maka perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum adalah hal
penting bagi masyarakat yang menjadi objek pengadaan tanah. Salah satunya
adalah pendampingan bagi masyarakat kecil yang kurang wawasan dan sulit
berkomunikasi oleh suatu lembaga independen seperti dengan memberdayakan LSM
dan mahasiswa.
Bahwa
selanjutnya dalam konsultasi publik dimaksud menghasilkan kesepakatan para
pihak yang dapat berbentuk persetujuan ataupun keberatan. Dalam hal terdapat
keberatan tentang pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan umum, maka
dilaksanakan konsultasi publik ulang dalam jangka waktu 90 (Sembilan puluh)
hari.
Apabila
ternyata masih juga terdapat keberatan, maka pemerintah akan mengkaji ulang
atas keberatan dimaksud untuk kemudian menetapkan diterima atau ditolaknya
keberatan. Dalam hal keberatan tersebut diterima, maka tidak persoalan sebab
pengadaan tanah bagi kepentingan umum pada lokasi tertentu akan dialihkan
penempatannya. Namun dalam hal keberatan tersebut ditolak, maka pihak yang berhak
dapat mengajukan keberatan dengan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Jika
dilihat proses yang terjadi di Pengadilan Tata Usaha Negara, maka terdapat
hukum acara yang berbeda dengan gugatan atas sengketa tata usaha Negara pada
umumnya. Hal ini dilihat dari jangka waktu penyelesaian sengketa yang singkat
dalam sengketa pertanahan ini.
Singkatnya
proses penyelesaian sengketa pertanahan di peradilan tata usaha Negara ini,
jelas perlu mendapat apresiasi sebab penyelesaian sengketata tata usaha Negara
pada prakteknya sangat lamban mengikuti proses beracara pada umumnya kendati
tiap hukum acara menjunjung asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya murah.
Sehingga proses penyelesaian sengketa yang singkat akan memberikan kepastian
hukum yang cepat bagi para pihak. Pemerintah sebagai lembaga yang memerlukan
tanah tidak akan dihadapkan pada kegiatan yang terbengkalai, sedangkan bagi
masyarakat yang berhak dapat mendapatkan status hukum yang jelas dalam
pengadaan tanah ini.
b)
Penilaian ganti kerugian
Dalam
melakukan pembayaran ganti kerugian dalam hal pelepasan hak atas tanah,
pemerintah perlu memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut, yakni aspek
kesebandingan, aspek layak dan perhitungan cermat [21].
UU
tentang Pengadaan Tanah mengamanatkan bahwa untuk melaksanakan penilaian ganti
kerugian dilaksanakan oleh Tim Penilai oleh Lembaga Pertanahan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dalam hal ini.
Tim
Penilai sebagaimana dimaksud wajib bertanggungjawab dalam pelaksanaan tugasnya,
dimana apabila Tim Penilai tidak bekerja sesuai dengan ketentuan maka akan
dikenakan sanksi administrasi dan atau pidana.
Penilaian
ganti kerugian oleh Tim Penilai dilakukan bidang per tanah, meliputi :
1)
Tanah
2)
Ruang atas tanah dan bawah tanah
3)
Bangunan
4)
Tanaman
5)
Benda yang berkaitan dengan tanah
6)
Kerugian lainnya yang dapat dinilai.
Dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum pemilik tanah atau pemegang hak atas
tanah harus mendapatkan apa yang menjadi haknya yaitu ganti rugi yang adil
tatkala melepaskan hak atas tanahnya. Maria Sumardjono mengatakan, ganti
kerugian dapat disebut adil apabila keadaan setelah pengambilalihan tanah
paling tidak kondisi social ekonominya
setara dengan keadaan sebelumnya, di samping itu ada jaminan terhadap
kelangsungan hidup mereka yang tergusur. Dengan kata lain asa keadilan harus
dikonkritkan dalam pemberin ganti rugi, artinya dapat memulihkan kondisi social
ekonomi kan tanah dan masyarakat yang tanahnya diersebelumnya.[22]
Dalam
kegiatan pengadaan tanah tersangkut kepentingan dua pihak, yaitu instansi
pemerintah yang memerlukan tanah dan masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk
kegiatan pembangunan dimaksud. Oleh karena itu pengadaan tanah haruslah
dilakukan melalui proses yang menjamin tidak adanya pemaksaan kehendak dari
satu pihak terhadap pihak lain, pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan
tersebut harus dilakukan dengan mengindahkan asas keadilan.[23]
Dengan
asas kedilan dimaksudkan bahwa kepada masyarakat yang terkena dampak diberikan
ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi social ekonominya, minimal setara
dengan keadaan semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap factor fisik
maupun non fisik. [24]
Ditempatkannnya
asas keadilan di dalam peraturan
pengadaan tanah berarti mencerminkan keadilan distributive sebagaimana keadilan
yang dikemukan oleh Aristoteles.[25]
c)
Musyawarah ganti kerugian
Ganti
kerugian dilaksanakan dengan jalan musyawarah oleh Lembaga Pertanahan
berdasarkan hasil penilaian Tim Penilai. Hasil musyawarah sebagaimana dimaksud
menghasilkan kesepakatan atau keberatan. Dalam hal hasil musyawarah
menghasilkan kesepakatan maka tidak terdapat persoalan, namun apabila tidak
terjadi kesepakatan, maka pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan melalui
gugatan ke pengadilan negeri. Dimana prosesnya juga berjalan singkat
dibandingkan dengan sengketa keperdataan lainnya di pengadilan negeri.
Bahwa
hasil Putusan Pengadilan Negeri/ Mahkamah Agung dijadikan dasar pemberian ganti
kerugian, dimana ganti kerugian dimaksud dititipkan di pengadilan negeri
setempat.
Berdasarkan
tahapan pelaksanaan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud, maka perlindungan
hukum bagi pemegang hak perlu menjadi perhatian pemerintah. Sebab pengadaan
tanah demi kepentingan umum jangan sampai meninggalkan konflik, karena pada
hakikatnya tujuan dari pembangunan adalah kesejahteraan. Oleh karenanya tujuan
untuk mensejahterakan rakyat harus dimulai dengan cara-cara yang beradab.
C.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1.
Konsep dan pemahaman Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, yang menyatakan secara jelas bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terdapat didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat tidak dipahami sama oleh
Pemerintah dan masyarakat dalam posisi minoritas. Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum seyogyanya bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara dan
masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang menjadi objek
pengadaan tanah yang dengan ganti kerugian yang layak.
2.
Perlindungan Hukum bagi Masyarakat yang Terkena
Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum tidak hanya dilihat dari perspektif ganti kerugian yang layak saja
melainkan harus dilihat aspek lainnya seperti adanya musyawarah yang
mencerminkan penghormatan HAM dengan masyarakat dan partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaan pengadaan tanah.
D.
REKOMENDASI
1.
Bahwa harus ada kesepahaman konsep kepentingan
umum oleh Pemerintah dengan masyarakat yang menjadi objek pengadaan tanah,
sehingga pelaksanaan pengadaan tanah memang benar-benar dilaksanakan dalam
rangka menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara dan masyarakat dengan tetap
menjamin kepentingan hukum pihak yang menjadi objek pengadaan tanah.
2.
Harus ada politik hukum pertanahan dalam kerangka
pengadaan tanah yang kuat dari lembaga tinggi negara, dalam rangka menjamin
kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah. Sehingga mampu
menghadirkan rasa keadilan masyarakat (sense
of justice) dan pemerintah tidak lagi arogan dan keliru menafsikan regulasi
terutama dalam dalam sikap memaksakan kehendak dalam penetapan ganti kerugian.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak
Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Edisi Revisi, Citra aditya Bakti,
Bandung, 1991
_____________, Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Cetakan ke-1, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 1994
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum, 2001, Cetakan Pertama, Bayumedia Publishing
Adrian
Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum di dalam Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan, Edisi 1, Jakarta, Sinar Grafika, 2007.
Ahmad
Sodiki, Politik Hukum Agraria, Cetakan 1, Jakarta, Konstitusi Press, Juni 2003.
B. Arif Sidharta, Kajian Kefilsafatan
tentang Negara Hukum, dalam Jentera (Jurnal Hukum), Rule of Law, Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, Edisi 3 Tahun II, November 2004
Bernhard
Limbong, Pengadan Tanah untuk Pembangunan : Regulasi, Kompensasi, Penegakan
Hukum,Jakarta, Margareth Pustaka, 2011.
G.
Kartasapoetra, Hukum Tanah : Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah, Cetakan Kedua, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1991.
I Wayan
Suandra, Hukum Pertanahan Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta, PT. Rineka Cipta,Oktober 1994.
Mahfud MD,
Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Edisi Revisi Cetakan-5,
2012.
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI,
Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan Ayat, Sekretariat Jenderal MPR RI,
Jakarta, Cetakan Ketiga : Juni 2007.
Mukmin Zakie, SH, Kewenangan Negara
dakam Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum di Indonesia dan Malaysia, Buku Litera,
Yogyakarta, Cetakan-2 : November 2013.
Pataniari Siahaan, Politik Hukum
Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta,
Oktober 2012.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum
suatu Pengantar, Yogyakarta, Revisi
Ketiga, Liberty,2007.
[1] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,
“Negara Indonesia adalah negara hukum”.
[2] Majelis Permusyawaratan
Rakyat RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan Ayat, Sekretariat Jenderal MPR
RI, Jakarta, Cetakan Ketiga : Juni 2007, Halaman 46.
[4] B. Arif Sidharta, Kajian Kefilsafatan tentang
Negara Hukum, dalam Jentera (Jurnal Hukum), Rule of Law, Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan (PSHK), Jakarta, Edisi 3 Tahun II, November 2004, Halaman 124-125.
[5] Kata Pengantar Ketua
Mahkamah Konstitusi RI Oleh Prof. Dr.Mahfud MD, SH pada buku Pataniari Siahaan,
Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Konstitusi
Press, Jakarta, Oktober
2012.
[6] Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak
Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Edisi Revisi, Citra aditya Bakti,
Bandung, 1991, Halaman 9.
[7] Mahfud MD, Politik Hukum di
Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Edisi Revisi Cetakan-5, 2012, Halaman 5.
[8] Mukmin Zakie, SH, Kewenangan Negara dakam Pengadaan Tanah
bagi Kepentingan Umum di Indonesia dan Malaysia, Buku Litera, Yogyakarta,
Cetakan-2, November 2013, Halaman 69.
[11] Bernhard Limbong, Pengadan Tanah untuk Pembangunan : Regulasi,
Kompensasi, Penegakan Hukum,Jakarta, Margareth Pustaka, 2011, Halaman 4.
[12] Adrian
Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum di dalam Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan, Edisi 1, Jakarta, Sinar Grafika, 2007.
[13] Ibid,. Halaman 27
[14] Op.cit, Adrian Sutedi, 2007, Halaman 139.
[15] Abdurrahman,
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Cetakan
ke-1, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994, Halaman 36.
[16] Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan Pertanahan
antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Buku Kompas, 2005, Halaman 200.
[17] Lihat Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk kepentingan Umum.
[18] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu
Pengantar, Yogyakarta, Revisi Ketiga,
Liberty, 2007, Halaman 45.
[19] Ibid., Halaman
46.
[20] Lihat Pengantar Ketua
mahkamah Konstitusi Prof. Mahfud M.D , Kompleksitas dalam Politik Hukum dalam
buku Ahmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, Cetakan 1,
Jakarta, Konstitusi Press, Juni 2003.
[21] Op. cit,. Bernhard Limbong, 2011, Halaman 178
[22] Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum, 2001, Cetakan Pertama, Bayumedia Publishing, Halaman 31.
[23] Op. Cit,. Maria S.W, 2001, Halaman 282
[24] Ibid,. Halaman 282.
[25] Op. cit,. Bernhard Limbong, 2011, Halaman 185
Comments
Post a Comment