PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN DIATAS HAK PENGELOLAAN PEMERINTAH
“PEMBANGUNAN RUMAH
SUSUN DIATAS HAK PENGELOLAAN PEMERINTAH”
A.
PENDAHULUAN
Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945, Pasal 28 H ayat (1), menegaskan bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera, lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tempat tinggal mempunyai peran strategis
dalam pembentukan watak dan kepribadian bangsa serta sebagai salah satu upaya
membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri dan produktif.
Oleh karena itu negara bertanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak akan
tempat tinggal dalam bentuk rumah yang layak dan terjangkau[1].
Tanggung
jawab negara yang dalam hal ini
dilaksanakan oleh pemerintah dalam pemenuhan hak akan tempat tinggal diwujudkan
dalam bentuk pembangunan perumahan sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan
dasar yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Pembangunan
perumahan dimaksud ditujukan dalam rangka agar masyarakat dapat menempati
hunian dan tempat tinggal yang layak, sehat, serasi dan teratur. Sehingga
persoalan penataan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukkannya dan terjadi
kantong-kantong kawasan kumuh dapat diantisipasi.
Pembangunan
rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan
perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya
meningkat, karena pembangunan rumah susun dapat mengurangi tanah, membuat
ruang-ruang terbuka kota lebih lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara
peremajaan kota bagi daerah kumuh.[2]
Dengan
pembangunan rumah susun, sebidang tanah dapat digunakan secara optimal untuk
menjadi tempat tinggal bertingkat yang dapat menampung sekian dan sebanyak
mungkin orang. Melalui pembangunan rumah susun, optimasi penggunaan tanah
secara vertikal sampai beberapa tingkat akan lebih efektif daripada optimasi
penggunaan tanah secara horizontal.[3]
Pembangunan
rumah susun di samping merupakan salah satu alternatif pemenuhan akan rumah
sebagai tempat tinggal atau hunian bagi warga kota yang padat penduduknya, juga
merupakan pengembangan wilayah kota secara vertikal. Pembangunan rumah susun
dapat dikonsumsikan untuk masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas,
menengah dan ke bawah. Pembangunan rumah susun dapat diselenggarakan oleh
pemerintah atau pengembang. Dari aspek penguasaannya , rumah susun dapat
dikuasai dengan cara pemilikan atau sewa menyewa.[4]
Saat ini di Indonesia di
kenal beberapa tipe tumah susun :
(1)
Rumah susun mewah, yang penghuninya
sebagian adalah tenaga kerja asing.
(2)
Rumah susun golongan menengah yang
dihuni oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.
(3)
Rumah susun sederhana yang dihuni
oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
(4)
Rumah susun murah yang dihuni oleh
masyarakat berpenghasilan rendah kebawah.[5]
Jika
pada awalnya pembangunan rumah susun dititik beratkan pada kawasan perkotaan
saja sebagai bagian antisipasi mengatasi persoalan “konflik
urban”, maka lahirnya Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2011 tentang Rumah Susun menggantikan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun yang dipandang tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum,
kebutuhan setiap orang, dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab negara
dalam penyelenggaraan rumah susun.
Hal
yang menarik dengan terbitnya Undang-Undang tentang Rumah Susun ini adalah
penyerahan tanggung jawab pengelolaan rumah susun juga dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dalam hal ini bupati/ walikota.
Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945, menyatakan bahwa pemerintahan daerah adalah
penyelenggara urusan pemerintah di daerah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini menjadi dasar
bagi seluruh pemerintahan daerah untuk dapat menjalankan roda pemerintahan
(termasuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya) secara lebih
leluasa dan bebas sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan karakteristik daerahnya
masing-masing, kecuali untuk urusan pemerintahan yang dinyatakan oleh
undang-undang sebagai urusan pemerintah pusat.
Dengan
penyerahan kewenangan dan tanggung jawab pembinaan penyelenggaraan rumah susun
yang meliputi perencanaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan kepada
daerah, maka daerah wajib melaksanakan arah kebijakan dan strategi nasional di
bidang rumah susun yang telah digariskan sesuai kewenangannya.
Pada
dasarnya lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun,
mengklasifikasi pembangunan rumah susun yakni, pembangunan rumah susun umum,
rumah susun khusus, rumah susun negara dan rumah susun komersial berdasarkan
kelompok sasaran, pelaku, dan sumber daya pembangunan.
Pembangunan
rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah susun negara adalah tanggung jawab
pemerintah, dimana dapat dibangun di atas tanah hak milik ; hak guna bangunan
atau hak pakai atas tanah negara ; serta
hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan. Selain itu lembaga
nirlaba dan badan usaha dapat melaksanakan pembangunan rumah susun khusus dan
rumah susun umum.
Mengingat
rumah susun rumah susun khusus, rumah susun negara dapat dibangun diatas hak
pengelolaan, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut berkenaan dengan
“ Pembangunan Rumah Susun diatas Hak Pengelolaan Pemerintah
“.
B.
PEMBAHASAN
Tanah merupakan karunia yang tidak terhingga dari Tuhan
Yang Maha Esa yang semestinya harus kita jaga secara bersama-sama. Bahwa
kemudian tanah dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan umat manusia adalah sesuatu yang semestinya tidak boleh kita
nafikan. Kemakmuran dan kesejahteraa n yang kita dambakan bersama tersebut,
dilaksanakan oleh negara sebagai pemegang amanah dari rakyat yang telah
melaksanakan kontrak sosial untuk menjadi sebuah negara kemakmuran dan
kesejahteraan.
Sebesar-besar
kemakmuran rakyat merupakan tujuan dari pengelolaan dan penggunaan sumber alam
nasional. Tujuan ini dipandang sebagai kepentingan yang tidak yang tidak dapat diabaikan, karena selain
sebagai amanat konstitusi, ia juga didambakan oleh warga negara dan menjadi
tanggungjawab negara sebagai konsekuensi dan hak menguasai negara itu sendiri [6].
Terbentuknya Hukum Tanah Nasional
ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai amanat dari Konsep dan
pemahaman Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, yang
menyatakan secara jelas bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terdapat
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Hal ini terlihat dari Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan
:
“Atas dasar
ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Dalam UUPA dimuat hak
menguasai dari negara atas tanah yang bersifat publik dan bersumber dari hak
bangsa Indonesia atas tanah. Hak menguasai negara atas tanah berisi wewenang
sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu[7] :
a.
Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
;
b.
Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa..
Pasal
4 ayat (1) UUPA menetapkan bahwa atas dasar hak menguasai negara ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri, maupun
besama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Pasal 4 ayat (1) UUPA
menjadi dasar hukum bagi lahirnya hak atas tanah yang bersumber dari hak
menguasai negara atas tanah. Hak-hak atas tanah ini dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh perseorangan warga negara Indonesia maupun warga negara asing
yang berkedudukan di Indonesia, beberapa orang secara bersama-sama, badan hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dan badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia dan badan hukum privat dan
publik[8].
Hak
atas tanah, berdasarkan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 53 UUPA, dapat
diklasifikasi atas :
1)
Hak atas tanah yang bersifat
tetap.
Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah dan Hak
Memungut Hasil Hutan.
2)
Hak atas tanah yang akan
ditetapkan dengan undang-undang.
3)
Hak atas tanah yang bersifat
sementara.
Hal Gadai, Hak Usaha
Bagi Hasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Apabila
kita menilik Pasal 17 huruf c Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah
Susun, dinyatakan bahwa rumah susun dapat dibangun diatas tanah hak guna
bangunan atau hak pakai atas hak pengelolaan.
Bahwa
menurut Urip Santoso eksistensi hak pengelolaan secara tersurat, tidak
ditemukan di dalam UUPA. Istilah pengelolaan disebutkan dalam penjelasan Umum
Angka II Nomor 2 UUPA, yaitu :
“Negara
dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum
dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atau memberikannya dalam pengelolaan
kepada suatu badan penguasa (departemen, jawatan atau daerah Swatantra) untuk
dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing:”.
Di
luar hak atas tanah terdapat tanah-tanah yang tidak termasuk dalam kategori hak
atas tanah, misalnya tanah (hak) ulayat dan tanah Hak Pengelolaan (HPL). Tanah
Hak Pengelolaan, yang semula sarat dengan penegrtian “fungsi” sebagai beheersrecht yang lebih cenderung mengandung aspek publik
yang bersifat “mengatur” sebab sejak semula dimaksudkan sebagai bagian dari hak
menguasai negara (HMN). Dalam perembangannya, kemudian mengalami pergeseran
cenderung menjadi “hak” disejajarkan dengan hak atas tanah lainnya yang
cenderung bersifat perdata.[9]
Menurut
Effendi Perangin, UUPA tidak mengatur atau menyatakan secara tersurat mengenai
Hak Pengelolaan. Tetapi dalam Penjelasan Umum UUPA ada istilah “pengelolaan”
(bukan hak Pengelolaan), yaitu dalam Angka II/2.[10]
Apabila
kita menilik, Hak Pengelolaan dapat
ditemukan mulai dalam Peraturan Menteri Agaria No.9 Tahun 1965 tentang
Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Kebijaksanaan dan
Selanjutnya hingga Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang
selanjutnya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah
Susun, maka hak pengelolaan mendapat tempat dan mempunyai kekuatan mengikat.
Istilah
Hak Pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkannya Peraturan Menteri
Agaria No.9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah
Negara dan Kebijaksanaan dan Selanjutnya, dimana pada Pasal 2 dinyatakan :
“Jika tanah
negara yang diberikan kepada departemen-departemen, direktorat-direktorat dan
daerah-daerah swatantra, selain digunakan untuk kepentingan instansi-instansi
itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada
pihak ketiga, maka hak atas tanah negara tersebut dikonversi menjadi Hak Pengelolan”.
Eksistensi
Hak Pengelolaan mendapatkan pengukuhan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun[11].
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun sudah tidak
sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang, dan partisipasi
masyarakat serta tanggung jawab dan kewajiban negara dalam penyelenggaraan
rumah susun sehingga diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun (UU Rumah Susun).
Bahwa
dalam Pasal 18 UU Rumah Susun dinyatakan
pembangunan rumah susun dapat dibangun di atas tanah sebagai
berikut : hak milik; hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara; dan
hak guna bangunan atau hak pakai di atas
hak pengelolaan.
Selanjutnya
dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nmor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah jo Pasal 1 angka 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan Hak
Pengelolaan adalah hak
menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan
kepada pemegangnya.
Pengeritna
lebih lengkap tentang Hak Pengelolaan disebutkan dalam Pasal 2 ayat (5)
Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan jo. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 36
Tahun 1997 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena
Pemberian Hak Pengelolaan, yang menyatakan :
“Hak
menguasai dari negara atas tanah yang kewenangan pelaksanaan sebagian
dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukaan dan
penggunaan tanah, menggunkan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya,
menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut
kepada pihak ketiga dan/atau bekerjasama dengan pihak ketiga”.
Tujuan utama pemberian Hak Pengelolaan
kepada hak sebetulnya bukan menggunakan tanah yang bersangkutan bagi keperluan
usaha atau pelaksanaan tugasnya, melainkan tanah Hak Pengelolaan yang
bersangkutan disediakan bagi penggunaan oleh pihak-pihak lain yang memerlukan.
Dalam penyeraha dan pemberian bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan untuk
melakukan suatu kegiatan merupakan sebagian kewenangan negara atas tanah
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.[12]
Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud di
atas dilaksanakan oleh suatu departemen, direktorat, daerah swatantra,
badan-badan hukum yang ditunjuk pemerintah, perusahaan pembangunan yang selutuh
modalnya berasal pemerintah dan atau pemerintah daerah, badan-badan hukum yang
ditunjuk oleh pemerintah (milik pemerintah).
Hak pengelolaan tidak dapat diberikan
kepada perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Hak
Pengelolaan hanya dapat diberikan kepada badan hukum tertentu. Badan-badan
hukum yang tidak dapat mempunyai Hak Pengelolaan adalah badan hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia,
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, badan keagaman, badan
sosial, perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional. Permen
agaria Nomor 9 Tahun 1999 menetapkan bahwa tidak setiap badan hukum Pemerintah
dapat diberikan Hak Pengelolaan, hanya badan hukum yang mepunyai tugas dan
fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah yang dapat diberikan Hak
Pengelolaan.[13]
Pemegang Hak Pengelolaan berkewajiban
mendaftarkan tanahnya ke Kantor Pertanahan , sebagai tanda bukti pendaftaran
Hak Pengelolaan diterbitkan Sertifikat Hak Pengelolaan. Atas sertifikat
tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi Pemegang Hak Pengelolaan untuk
menggunakan tanah untuk pelaksanaan tugasnya dan menyerahkan bagian-bagian
tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga, bukan menyewakan bagian tanah Hak
Pengelolaan kepada Pihak Ketiga.
Terkait dengan pembangunan rumah susun,
maka maka pihak ketiga dapat memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Hak
Pengelolaan yakni berupa Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dilakuka
berdasarkan perjanjian penggunaan tanah tersebut.[14]
Jangka waktu Hak Guna Bangunan atas tanah
yang berasal dari Hak Pengelolaan adalah 30 tahun, dan dapat diperpanjang
selama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
Sedangkan jangka waktu Hak Pakai atas tanah yang berasal dari Hak Pengelolaan
adalah 25 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun dan dapat diperbaharui
untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.
Oleh karenanya pembangunan rumah susun
diatas tanah hak pengelolaan baru dapat dilaksanakan setelah diatas tanah Hak
Pengelolaan telah berikan hak konvensional atas tanah seperti Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai terlebih dahulu. Pemberian Hak diatas Hak Pengelolaan tidak
memutus hubungan hukum atara pemegang hak pengelolaan dengan hak
pengelolaannya, dimana hak pengelolaan tidak memilki jangka waktu sepanjang
tanah tersebut digunakan sesuai dengan peruntukkannya.
C.
PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas,
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Pembangunan rumah susun negara dapat
dilaksanakan di atas tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak
Pengelolaan.
2.
Hak Pengelolaan dimaksud didasarkan pada
ketentuan sebagai berikut :
a)
hanya dapat dipunyai oleh badan hukum yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi berkaitan pengelolaan tanah ;
b)
Tanah Hak Pengelolaan dapat digunakan
sendiri oleh pemegang haknya dan atau diserahkan bagian-bagian tanah Hak
Pengelolaan kepada pihak lain dengan perjanjian penggunaan tanah dari Pemegang
Hak Pengelolaan.
c)
.Hak Pengelolaan tidak memiliki janga
waktu, sepanjang digunakan untuk pelaksanaan tugas atau usahanya.
3.
Pembangunan Rumah Susun baru dapat
dilaksanakan setelah atas Hak Pengelolaan tersebut telah diberikan hak atas
tanah berupa Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang memiliki jangka waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Ari S Hutagalung, Condominium dan
Permasalahannya, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 1998.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta,
2003.
Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari
Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1989.
Komarudin, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Pemukiman, Jakarta, Yayasan REI-Rakasindo, 1990.
Maria S.W Sumardjono, Eksistensi dan Prospek Hak atas Tanah, Makalah Seminar Nasional, Prospek Pembangunan
Perumahan dalam Kerangka Otonomi Daerah, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia dengan DPD Real Estate, D.I Yogyakarta, 4 Oktober 2003.
Mukmin Zakie, SH, Kewenangan Negara dakam Pengadaan Tanah bagi
Kepentingan Umum di Indonesia dan Malaysia, Buku Litera, Yogyakarta, Cetakan-2,
November 2013.
Ridwan Halim, Hak Milik, Kondominium dan Rumah Susun, Jakarta Punca Karma, 1990.
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Jakarta, Edisi 1, Kencana, 2010.
[1]
Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
[2] Ari S Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1998, Halaman 2.
[3] Ridwan Halim, Hak Milik, Kondominium dan Rumah Susun, Jakarta Punca Karma, 1990, Halaman
299.
[4] Urip
Santoso, Pendaftaran
dan Peralihan Hak atas Tanah, Jakarta, Edisi 1, Kencana, 2010, Halaman 77
[5] Komarudin, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan
Pemukiman, Jakarta,
Yayasan REI-Rakasindo, 1990,Halaman 165.
[6] Mukmin Zakie, SH, Kewenangan Negara dakam
Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum di Indonesia dan Malaysia, Buku Litera,
Yogyakarta, Cetakan-2, November 2013, Halaman 69.
[7] Op.cit,
Urip Santoso., Halaman 110.
[8] Ibid,.
Halaman 110.
[9] Maria S.W Sumardjono, Eksistensi dan Prospek Hak atas Tanah, Makalah Seminar Nasional, Prospek Pembangunan
Perumahan dalam Kerangka Otonomi Daerah, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia dengan DPD Real Estate, D.I Yogyakarta, 4 Oktober 2003, Halaman
2.
[10] Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum,
Rajawali, Jakarta, 1989, Halaman 311.
[11] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, Halaman 279.
[12] Op. cit., Urip Santoso, Halaman 117.
[13] Ibid., Urip
Santoso, Halaman 125.
[14] Lihat Pasal 4 ayat (2) Permen Agraria No. 9
Tahun 1999, “Dalam hal tanah yang dimohon merupakan hak pengelolaan, pemohon
harus terlebih dahulu memperoleh penunjukan berupa perjanjian penggunaan tanah
dari pemegang hak pengelolaan”.
Comments
Post a Comment