PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN DIATAS HAK PENGELOLAAN PEMERINTAH



“PEMBANGUNAN  RUMAH SUSUN DIATAS HAK PENGELOLAAN PEMERINTAH”



A.          PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Pasal 28 H ayat (1), menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tempat tinggal mempunyai peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian bangsa serta sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri dan produktif. Oleh karena itu negara bertanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak akan tempat tinggal dalam bentuk rumah yang layak dan terjangkau[1].
Tanggung jawab negara  yang dalam hal ini dilaksanakan oleh pemerintah dalam pemenuhan hak akan tempat tinggal diwujudkan dalam bentuk pembangunan perumahan sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan dasar yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pembangunan perumahan dimaksud ditujukan dalam rangka agar masyarakat dapat menempati hunian dan tempat tinggal yang layak, sehat, serasi dan teratur. Sehingga persoalan penataan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukkannya dan terjadi kantong-kantong kawasan kumuh dapat diantisipasi.
Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya meningkat, karena pembangunan rumah susun dapat mengurangi tanah, membuat ruang-ruang terbuka kota lebih lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara peremajaan kota bagi daerah kumuh.[2]
Dengan pembangunan rumah susun, sebidang tanah dapat digunakan secara optimal untuk menjadi tempat tinggal bertingkat yang dapat menampung sekian dan sebanyak mungkin orang. Melalui pembangunan rumah susun, optimasi penggunaan tanah secara vertikal sampai beberapa tingkat akan lebih efektif daripada optimasi penggunaan tanah secara horizontal.[3]
Pembangunan rumah susun di samping merupakan salah satu alternatif pemenuhan akan rumah sebagai tempat tinggal atau hunian bagi warga kota yang padat penduduknya, juga merupakan pengembangan wilayah kota secara vertikal. Pembangunan rumah susun dapat dikonsumsikan untuk masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas, menengah dan ke bawah. Pembangunan rumah susun dapat diselenggarakan oleh pemerintah atau pengembang. Dari aspek penguasaannya , rumah susun dapat dikuasai dengan cara pemilikan atau sewa menyewa.[4]
Saat ini di Indonesia di kenal beberapa tipe tumah susun :
(1)        Rumah susun mewah, yang penghuninya sebagian  adalah tenaga kerja asing.
(2)        Rumah susun golongan menengah yang dihuni oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.
(3)        Rumah susun sederhana yang dihuni oleh masyarakat berpenghasilan menengah  ke bawah.
(4)        Rumah susun murah yang dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah kebawah.[5]
Jika pada awalnya pembangunan rumah susun dititik beratkan pada kawasan perkotaan saja sebagai bagian antisipasi mengatasi persoalan “konflik urban”, maka lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun menggantikan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang dipandang tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang, dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan rumah susun.
Hal yang menarik dengan terbitnya Undang-Undang tentang Rumah Susun ini adalah penyerahan tanggung jawab pengelolaan rumah susun juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam hal ini bupati/ walikota.
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, menyatakan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggara urusan pemerintah di daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini menjadi dasar bagi seluruh pemerintahan daerah untuk dapat menjalankan roda pemerintahan (termasuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya) secara lebih leluasa dan bebas sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan karakteristik daerahnya masing-masing, kecuali untuk urusan pemerintahan yang dinyatakan oleh undang-undang sebagai urusan pemerintah pusat.
Dengan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab pembinaan penyelenggaraan rumah susun yang meliputi perencanaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan kepada daerah, maka daerah wajib melaksanakan arah kebijakan dan strategi nasional di bidang rumah susun yang telah digariskan sesuai kewenangannya.
Pada dasarnya lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, mengklasifikasi pembangunan rumah susun yakni, pembangunan rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah susun negara dan rumah susun komersial berdasarkan kelompok sasaran, pelaku, dan sumber daya pembangunan.
Pembangunan rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah susun negara adalah tanggung jawab pemerintah, dimana dapat dibangun di atas tanah hak milik ; hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara  ; serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan. Selain itu lembaga nirlaba dan badan usaha dapat melaksanakan pembangunan rumah susun khusus dan rumah susun umum.
Mengingat rumah susun rumah susun khusus, rumah susun negara dapat dibangun diatas hak pengelolaan, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut berkenaan dengan “ Pembangunan  Rumah Susun diatas Hak Pengelolaan Pemerintah “.

B.          PEMBAHASAN
Tanah merupakan karunia yang tidak terhingga dari Tuhan Yang Maha Esa yang semestinya harus kita jaga secara bersama-sama. Bahwa kemudian tanah dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia adalah sesuatu yang semestinya tidak boleh kita nafikan. Kemakmuran dan kesejahteraa n yang kita dambakan bersama tersebut, dilaksanakan oleh negara sebagai pemegang amanah dari rakyat yang telah melaksanakan kontrak sosial untuk menjadi sebuah negara kemakmuran dan kesejahteraan.
Sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan tujuan dari pengelolaan dan penggunaan sumber alam nasional. Tujuan ini dipandang sebagai kepentingan yang tidak  yang tidak dapat diabaikan, karena selain sebagai amanat konstitusi, ia juga didambakan oleh warga negara dan menjadi tanggungjawab negara sebagai konsekuensi dan hak menguasai negara itu sendiri [6].
Terbentuknya Hukum Tanah Nasional ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai amanat dari Konsep dan pemahaman Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, yang menyatakan secara jelas bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terdapat didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini terlihat dari Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan :
“Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.

Dalam UUPA dimuat hak menguasai dari negara atas tanah yang bersifat publik dan bersumber dari hak bangsa Indonesia atas tanah. Hak menguasai negara atas tanah berisi wewenang sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu[7] :
a.           Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa ;
b.          Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c.        Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa..
Pasal 4 ayat (1) UUPA menetapkan bahwa atas dasar hak menguasai negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri, maupun besama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Pasal 4 ayat (1) UUPA menjadi dasar hukum bagi lahirnya hak atas tanah yang bersumber dari hak menguasai negara atas tanah. Hak-hak atas tanah ini dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh perseorangan warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, beberapa orang secara bersama-sama, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia dan badan hukum privat dan publik[8].
Hak atas tanah, berdasarkan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 53 UUPA, dapat diklasifikasi atas :
1)          Hak atas tanah yang bersifat tetap.
Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2)          Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
3)          Hak atas tanah yang bersifat sementara.
Hal Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Apabila kita menilik Pasal 17 huruf c Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, dinyatakan bahwa rumah susun dapat dibangun diatas tanah hak guna bangunan atau hak pakai atas hak pengelolaan.
Bahwa menurut Urip Santoso eksistensi hak pengelolaan secara tersurat, tidak ditemukan di dalam UUPA. Istilah pengelolaan disebutkan dalam penjelasan Umum Angka II Nomor 2 UUPA, yaitu :
“Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa (departemen, jawatan atau daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing:”.

Di luar hak atas tanah terdapat tanah-tanah yang tidak termasuk dalam kategori hak atas tanah, misalnya tanah (hak) ulayat dan tanah Hak Pengelolaan (HPL). Tanah Hak Pengelolaan, yang semula sarat dengan penegrtian “fungsi” sebagai beheersrecht  yang lebih cenderung mengandung aspek publik yang bersifat “mengatur” sebab sejak semula dimaksudkan sebagai bagian dari hak menguasai negara (HMN). Dalam perembangannya, kemudian mengalami pergeseran cenderung menjadi “hak” disejajarkan dengan hak atas tanah lainnya yang cenderung bersifat perdata.[9]
Menurut Effendi Perangin, UUPA tidak mengatur atau menyatakan secara tersurat mengenai Hak Pengelolaan. Tetapi dalam Penjelasan Umum UUPA ada istilah “pengelolaan” (bukan hak Pengelolaan), yaitu dalam Angka II/2.[10]
Apabila kita menilik, Hak Pengelolaan  dapat ditemukan mulai dalam Peraturan Menteri Agaria No.9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Kebijaksanaan dan Selanjutnya hingga Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang selanjutnya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, maka hak pengelolaan mendapat tempat dan mempunyai kekuatan mengikat.
Istilah Hak Pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkannya Peraturan Menteri Agaria No.9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Kebijaksanaan dan Selanjutnya, dimana pada Pasal 2 dinyatakan :
“Jika tanah negara yang diberikan kepada departemen-departemen, direktorat-direktorat dan daerah-daerah swatantra, selain digunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak atas tanah negara tersebut dikonversi menjadi Hak Pengelolan”.

Eksistensi Hak Pengelolaan mendapatkan pengukuhan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun[11]. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang, dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab dan kewajiban negara dalam penyelenggaraan rumah susun sehingga diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rumah Susun).
Bahwa dalam  Pasal 18 UU Rumah Susun dinyatakan pembangunan rumah susun dapat dibangun di atas tanah sebagai berikut : hak milik; hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara; dan hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nmor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah jo Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Pengeritna lebih lengkap tentang Hak Pengelolaan disebutkan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan jo. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1997 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak Pengelolaan, yang menyatakan :
“Hak menguasai dari negara atas tanah yang kewenangan pelaksanaan sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukaan dan penggunaan tanah, menggunkan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan  bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau bekerjasama dengan pihak ketiga”.

Tujuan utama pemberian Hak Pengelolaan kepada hak sebetulnya bukan menggunakan tanah yang bersangkutan bagi keperluan usaha atau pelaksanaan tugasnya, melainkan tanah Hak Pengelolaan yang bersangkutan disediakan bagi penggunaan oleh pihak-pihak lain yang memerlukan. Dalam penyeraha dan pemberian bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan untuk melakukan suatu kegiatan merupakan sebagian kewenangan negara atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.[12]
Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan oleh suatu departemen, direktorat, daerah swatantra, badan-badan hukum yang ditunjuk pemerintah, perusahaan pembangunan yang selutuh modalnya berasal pemerintah dan atau pemerintah daerah, badan-badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah (milik pemerintah).
Hak pengelolaan tidak dapat diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Hak Pengelolaan hanya dapat diberikan kepada badan hukum tertentu. Badan-badan hukum yang tidak dapat mempunyai Hak Pengelolaan adalah badan  hukum  yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, badan keagaman, badan sosial, perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional. Permen agaria Nomor 9 Tahun 1999 menetapkan bahwa tidak setiap badan hukum Pemerintah dapat diberikan Hak Pengelolaan, hanya badan hukum yang mepunyai tugas dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah yang dapat diberikan Hak Pengelolaan.[13]
Pemegang Hak Pengelolaan berkewajiban mendaftarkan tanahnya ke Kantor Pertanahan , sebagai tanda bukti pendaftaran Hak Pengelolaan diterbitkan Sertifikat Hak Pengelolaan. Atas sertifikat tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi Pemegang Hak Pengelolaan untuk menggunakan tanah untuk pelaksanaan tugasnya dan menyerahkan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga, bukan menyewakan bagian tanah Hak Pengelolaan kepada Pihak Ketiga.
Terkait dengan pembangunan rumah susun, maka maka pihak ketiga dapat memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Hak Pengelolaan yakni berupa Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dilakuka berdasarkan perjanjian penggunaan tanah tersebut.[14]
Jangka waktu Hak Guna Bangunan atas tanah yang berasal dari Hak Pengelolaan adalah 30 tahun, dan dapat diperpanjang selama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. Sedangkan jangka waktu Hak Pakai atas tanah yang berasal dari Hak Pengelolaan adalah 25 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.
Oleh karenanya pembangunan rumah susun diatas tanah hak pengelolaan baru dapat dilaksanakan setelah diatas tanah Hak Pengelolaan telah berikan hak konvensional atas tanah seperti Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai terlebih dahulu. Pemberian Hak diatas Hak Pengelolaan tidak memutus hubungan hukum atara pemegang hak pengelolaan dengan hak pengelolaannya, dimana hak pengelolaan tidak memilki jangka waktu sepanjang tanah tersebut digunakan sesuai dengan peruntukkannya.

C.         PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.           Pembangunan rumah susun negara dapat dilaksanakan di atas tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan.
2.           Hak Pengelolaan dimaksud  didasarkan pada ketentuan sebagai berikut :
a)           hanya dapat dipunyai oleh badan hukum yang mempunyai tugas pokok dan fungsi berkaitan pengelolaan tanah ;
b)          Tanah Hak Pengelolaan dapat digunakan sendiri oleh pemegang haknya dan atau diserahkan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan kepada pihak lain dengan perjanjian penggunaan tanah dari Pemegang Hak Pengelolaan.
c)           .Hak Pengelolaan tidak memiliki janga waktu, sepanjang digunakan untuk pelaksanaan tugas atau usahanya.
3.           Pembangunan Rumah Susun baru dapat dilaksanakan setelah atas Hak Pengelolaan tersebut telah diberikan hak atas tanah berupa Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang memiliki jangka waktu.















DAFTAR PUSTAKA

Ari S Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003.
Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1989.
Komarudin, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Pemukiman, Jakarta, Yayasan REI-Rakasindo, 1990.
Maria S.W Sumardjono, Eksistensi dan Prospek Hak atas Tanah,  Makalah Seminar Nasional, Prospek Pembangunan Perumahan dalam Kerangka Otonomi Daerah, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dengan DPD Real Estate, D.I Yogyakarta, 4 Oktober 2003.
Mukmin Zakie, SH, Kewenangan Negara dakam Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum di Indonesia dan Malaysia, Buku Litera, Yogyakarta, Cetakan-2, November 2013.
Ridwan Halim,  Hak Milik, Kondominium dan Rumah Susun, Jakarta Punca Karma, 1990.
Urip  Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Jakarta, Edisi 1, Kencana, 2010.



[1]  Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
[2] Ari S Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998, Halaman 2.

[3] Ridwan Halim,  Hak Milik, Kondominium dan Rumah Susun, Jakarta Punca Karma, 1990, Halaman 299.

[4] Urip  Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Jakarta, Edisi 1, Kencana, 2010, Halaman 77
[5] Komarudin, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Pemukiman, Jakarta, Yayasan REI-Rakasindo, 1990,Halaman 165.

[6]      Mukmin Zakie, SH, Kewenangan Negara dakam Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum di Indonesia dan Malaysia, Buku Litera, Yogyakarta, Cetakan-2, November 2013, Halaman 69.

[7]     Op.cit, Urip Santoso., Halaman 110.
[8]     Ibid,. Halaman 110.
[9]  Maria S.W Sumardjono, Eksistensi dan Prospek Hak atas Tanah,  Makalah Seminar Nasional, Prospek Pembangunan Perumahan dalam Kerangka Otonomi Daerah, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dengan DPD Real Estate, D.I Yogyakarta, 4 Oktober 2003, Halaman 2.

[10]  Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1989, Halaman 311.
[11]   Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, Halaman 279.
[12] Op. cit., Urip Santoso, Halaman 117.

[13]   Ibid., Urip Santoso, Halaman 125.
[14]  Lihat Pasal 4 ayat (2) Permen Agraria No. 9 Tahun 1999, “Dalam hal tanah yang dimohon merupakan hak pengelolaan, pemohon harus terlebih dahulu memperoleh penunjukan berupa perjanjian penggunaan tanah dari pemegang hak pengelolaan”.

Comments

Popular Posts