Kedudukan Anggota DPRD yang Berhenti Antar Waktu karena Mengundurkan Diri dalam korelasinya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 39/PUU-XI/2013 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dalam Perspektif Penemuan Hukum (Rechtsvinding)
Kedudukan
Anggota DPRD yang Berhenti Antar Waktu karena Mengundurkan Diri dalam korelasinya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 39/PUU-XI/2013
dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
dalam Perspektif Penemuan Hukum (Rechtsvinding)
Oleh :
M. Rezha Fahlevie, SH
(Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Andalas ,
NIM :
1320112037)
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 ayat (1), dinyatakan
bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup didalam masyarakat” [1],
sedangkan Pasal 10, dinyatakan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya” [2]. Hal tersebut menunjukan bahwa seorang hakim diberikan keleluasaan
untuk melakukan “menemukan hukum” terlepas bahwa defenisi para ahli yang
menyatakan bahwa menemukan hukum juga berarti menciptakan hukum (law maker), disisi lain sebagian para
ahli mendefenisikan bahwa menemukan hukum tidak sama dengan menciptakan hukum
sebagaimana dikutip dari pendapat Prof. Dr.
Sudikno Mertokusumo, S.H. “. Yang dimaksud dengan penemuan hukum atau yang
dalam bahasa asing dikenal dengan rechtsvinding
dan law making adalah
menemukannya hukum karena hukum itu tidak lengkap atau tidak jelas”.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Penemuan
hukum tidak sama dengan penciptaan hukum. Menemukan hukum berarti menemukan
hukum yang sudah ada, sedangkan menciptakan hukum berarti menciptakan suatu
(hukum) yang sebelumnya tidak ada. Hakim pada dasarnya dilarang menciptakan
hukum (undang-undang), bahkan menilai undang-undang saja dilarang. Tugas hakim
adalah menerapkan menemukan hukumnya. Memang bukan wewenangnya sebagai lembaga
yudikatif untuk menciptakan atau membentuk undang-undang. Walaupun hakim itu
pada dasarnya dilarang atau tidak menciptakan hukum namun tidak tertutup
kemungkinan dalam menemukan hukum, hakim yang tugasnya sehari-hari menemukan
hukum dalam memecahkan masalah hukum konkret, menciptakan hukum juga “ [3].
Terlepas dari adanya multi pendapat mengenai “Penemuan Hukum”, Penulis
tidak ingin terjebak tentang defenisi penemuan hukum sebenarnya, namun dalam
tulisan ini penulis terlebih dahulu akan memberikan batasan tentang penemuan
hukum yang akan diperbandingkan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013
tentang Pengujian Pasal 16 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Penemuan hukum lazimnya merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim atau
aparat hukum lainnya yang untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa
hukum konkret, dimana dalam prosesnya memperbandingkan antara
peraturan hukum (das solein) dengan peristiwa hukum konkrit yang ada (das sein).
Berdasarkan hal tersebut maka ada 2 (dua ) unsur dalam penemuan hukum yakni :
1.
Hukum dan sumber hukum.
2.
Fakta Hukum.
Kewenangan
dan keleluasaan seorang hakim dalam menemukan hukum memang lazim kita jumpai
dalam memeriksa, mengadili sampai pada memutus perkara. Namun terkadang dalam
melaksanakan kewenangannya tersebut dihadapkan pada suatu permasalahan ataupun
persengketaan yang jika ditilik belum atau tidak ada dasar hukumnya. Hal ini
disebabkan peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif) belum mampu
mengatur setiap perilaku dan gejala-gejala yang hidup dimasyarakat baik pada
suatu waktu tertentu maupun waktu yang akan datang.
Meskipun para
hakim dianggap tahu hukum (ius curianovit), sebenarnya para hakim itu
tidak mengetahui semua hukum, sebab hukum itu berbagai macam ragamnya, ada yang
tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Tetapi Hakim harus mengadili dengan
benar terhadap perkara yang diajukan kepadanya, ia tidak boleh menolak suatu
perkara dengan alasan hukum tidak ada atau belum jelas, melainkan ia wajib
mengadilinya. Sebagai penegak hukum ia wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat [4].
Apabila kita
berkaca pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Hakim, Pasal 5
ayat (1), maka hakim dalam hal ini tidak hanya hakim pada peradilan umum tetapi
juga hakim konstitusi. Lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagaimana diamanatkan
didalam konstitusi kita Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945, bahwa “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”
Eksistensi
Mahkamah Konstitusi ini lebih lanjut menurut Prof.Dr. Jimly Asshidiqie
diuraikan : “ Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan
sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional
ditengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan
menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen Negara
secara konsisten dan bertanggung jawab. Di tengan kelemahan sistem konstitusi
yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi
selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat” [5].
Secara tegas
kewenangan Mahkamah Konstitusi terlihat
pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yakni sebagai berikut :
(1)
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
Negara, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
(2)
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/
atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Lebih lanjut Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur
didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dimana
salah satunya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.[6]
Dalam prakteknya Hakim Konstitusi dalam menjalankan
wewenangnya untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar kerap kali melakukan penafsiran dan
interprestasi hukum yang merupakan bagian dari metode penemuan hukum.
Berdasarkan berbagai literatur, maka terdapat
banyak dan macam-macam penafsiran dan interprestasi. Mengingat metode
penafsiran adalah alat bantu dalam menyimpulkan suatu hukum karenanya hakim
dalam putusannya tidak menjelaskan pertimbangan dan alasannya menggunakan suatu
metode hukum. Malahan terkadang hakim justru mencampuradukkan beberapa metode
penafsiran dalam putusannya.
Salah satu perkara pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar adalah perkara Nomor 39/PUU-XI/2013 tentang
permohonan uji materil (judicial review) terhadap Pasal 16 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Perkara dimaksud cukup menarik
untuk dianalisa mengingat Amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo
salah satunya memaknai frasa pada Pasal yang diuji yakni “Dalam hal anggota partai politik yang diberhentikan adalah anggota
lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan partai politik
diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, tidak mempunyai kekuatan
mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana dalam putusan perkara a quo.
Apabila diteliti maka Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Perkara a quo sedikit unik, sebab seyogyanya putusan Mahkamah Konstitusi
terdiri atas 3 (tiga) jenis, yakni tidak dapat menerima, mengabulkan atau
menolak.
Akibat lahirnya
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara a quo, maka tidak serta merta
pemberhentian sebagai anggota partai politik diikuti dengan pemberhentian
sebagai anggota dewan perwakilan rakyat, terutama yang disebabkan karena partai
politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu
atau kepengurusan partai politik tersebut sudah tidak ada lagi ; anggota DPR atau
DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik kembali oleh partai politik yang
mencalonkannya ; dan tidak terdapat lagi calon pengganti yang terdaftar dalam
daftar calon tetap dari partai yang mencalonkannya.
Sehubungan dengan keikusertaan beberapa anggota
DPRD Kabupaten Tanah Datar dalam pemilihan calon DPRD Kabupaten Tanah Datar
Tahun 2014-2019, dimana keikutsertaannya tersebut haruslah berasal partai politik peserta
pemilu legislatif serta wajib memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Perwakilan Rakyat Daerah. Maka
anggota DPRD yang bukan berasal dari partai politik peserta pemilu harus
mengundurkan diri sebagai anggota Partai politik dimana ia berasal untuk
kemudian pindah partai ke partai politik peserta pemilu legislatif tahun
2014-2019. Sehingga otomatis ia harus diberhentikan dari keanggotaan DPRD
Kabupaten Tanah Datar.
Pemberhentian seseorang dari keanggotaannya dari
partai politik diikuti dengan pemberhentiannya sebagai anggota DPRD harus
melalui mekanisme pemberhentian antar waktu sebagaimana ketentuan Pasal 383
ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Dimana menurut ketentuan Pasal 384 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun
2009, pemberhentian anggota DPRD diusulkan pimpinan partai politik kepada
pimpinan DPRD dengan tembusan kepada gubernur.
Terbitnya Surat Menteri Dalam Negeri Nomor :
161/3294/sj, tanggal 24 Juni 2013 perihal Pemberhentian Antarwaktu Anggota DPRD
karena menjadi Anggota Partai Politik lain atau Mengundurkan Diri, yang isinya
bahwa pemberhentian anggota DPRD karena mengundurkan diri diusulkan oleh partai
politik, namun apabila partai politik yang bersangkutan dalam waktu 14 (empat
belas) hari setelah disurati oleh Pimpinan DPRD enggan untuk mengusulkan
pemberhentian antarwaktu , maka Pimpinan DPRD mengusulkan kepada Gubernur
melalui Bupati, untuk selanjutnya diresmikan pemberhentiannya.
Atas hal tersebut Pimpinan DPRD Kabupaten Tanah
Datar melalui Bupati Tanah Datar mengusulkan pemberhentian antarwaktu anggota
DPRD yang mengundurkan diri yang disebabkan karena pencalonan sebagai anggota
legislatif pada partai politik lain yang ikut serta dalam pemilihan legislatif
yang akan datang, sementara partai politiknya tidak lolos.
Berkenaan dengan hal tersebut maka Gubernur Sumatera
Barat meresmikan pemberhentian dimaksud, dengan Keputusan Gubernur Sumatera tertanggal
31 Juli 2013, bertepatan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
39/PUU-XI/2013 tentang permohonan uji materil (judicial review) terhadap Pasal
16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Berdasarkan hal tersebut Penulis tertarik untuk
melakukan Analisa tentang Kedudukan
Anggota DPRD yang Berhenti Antar Waktu karena Mengundurkan Diri sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
3/PUU-XI/2013 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik dalam Perspektif Penemuan Hukum (Rechtsvinding)
2.
RUMUSAN
PERMASALAHAN
Berdasarkan
latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan
sebagai berikut :
(1)
Apakah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
39/PUU-XI/2013 tentang permohonan uji materil (judicial review) terhadap Pasal
16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, merupakan penemuan hukum
dan bagaimana bentuk penemuan hukumnya?
(2)
Bagaimana kedudukan hukum anggota DPRD Kabupaten
Tanah Datar diberhentikan antarwaktu sebelum keluarnya putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013, tanggal 31 Juli 2013 ?
(3)
Apakah pengujian materil tersebut telah memberikan
keadilan substantif sebagai penegakan hukum yang progresif dan responsif ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sinopsis Pengujian
Pasal 16 Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011
Pengujian
Pasal 16 ayat (3)UU tentang Partai Politik, dilakukan oleh Rahmad Budiansyah
Ritonga, G. Mayanto, Robert Simanjuntak, Gusman Effendi, S.P , H. Ahmad Husin Situmorang,
Rudi I.R Saragih, S.P,M.Si , Drs. Sutan Napsan Nasution, Iwan Sakti , Effendi
Sirait, Renjo Siregar, Parlon Sianturi yang kesemuanya adalah anggota DPRD /
Kota di Propinsi Sumatera Utara yang partainya tidak ikut serta dalam Pemilu
legislatif 2014 yang selanjutnya disebut dengan Pemohon.
Bahwa alasan
diajukannya permohonan tersebut yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik khusus Pasal
16 ayat (3) janggal karena tidak mengakomodir keberlanjutan tugas, fungsi serta
wewenang para Pemohon sebagai anggota Legislatif yang tidak dapat ikut serta
dalam Pemilu Tahun 2014, karena Pemohon terpaksa pindah partai politik
disebabkan partai Pemohon yang lama bukan lagi sebagai peserta Pemilu
Legislatif tahun 2014.
Bahwa dalam
pokok permohonannya Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 16 ayat (3) UU Parpol telah
melanggar hak konstitusional para Pemohon yang dijamin Pasal 29 ayat (1), Pasal
27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) dan (3) UUD 1945, serta tidak mengakomodasi
keberlanjutan tugas, fungsi serta wewenang para Pemohon sebagai anggota
legislatif, karena Pemohon tidak dapat melaksanakan tugas pengabdian sebagai
wakil rakyat hingga akhir masa bakti tahun 2014. Pemohon terpaksa pindah partai
politik disebabkan partai politik Pemohon yang lama bukan lagi sebagai peserta
Pemilu legislatif tahun 2014, sementara para Pemohon masih ingin untuk menjadi
calon legislatif tahun 2014. Ketentuan Pasal 16 ayat (3) yang diberlakukan
secara umum tanpa memperhatikan latar belakang partai politik telah memperlakukan
secara sama terhadap hal yang berbeda. Menurut Pemohon seharusnya ketentuan
tersebut hanya dapat diberlakukan bagi anggota legislatif yang partai
politiknya sebagai peserta Pemilu tahun 2014, bukan kepada para Pemohon yang
partai politiknya tidak sebagai peserta Pemilu tahun 2014.
Berdasarkan hal tersebut, maka Mahkamah konstitusi
mempertimbangkan pokok permohonan sebagai berikut :
a)
Bahwa legitimasi politik dalam sebuah konfigurasi
harus dipertahankan, kecuali jika terjadi hal-hal yang menyebabkan harus
dilakukannya pergantian, karena pada prinsipnya tidak ada boleh kekosongan
keanggotaan DPR atau DPRD, karena kekosongan keanggotaan akan menghambat
terselenggara tugas negara.
Permasalahan hukum yang para Pemohon, yaitu
terjadinya perpindahan anggota partai politik yang juga merupakan anggota DPR
atau DPRD, untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR atau DPRD dari
partai politik lain pada periode Pemilu selanjutnya, yang berdasarkan ketentuan
Pasal 16 ayat (3) UU Parpol mengharuskan yang bersangkutan berhenti pula
sebagai anggota DPR atau DPRD, mengandung konsekuensi akan terjadinya
kekosongan sebagian anggota DPR atau DPRD.
b)
Prinsip pengisian kekosongan keanggotaan pada DPR
atau DPRD harus didasarkan pada partai politik sebagai peserta Pemilu
sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Pada dasarnya partai
politik adalah salah satu bentuk dan sarana bagi warga negara untuk
memperjuangkan haknya secara berkelompok demi kemajuan masyarakat, bangsa dan
negaranya. Setiap warga negara berhak mendirikan atau menjadi anggota suatu
partai politik dalam rangka memperjuangkan haknya. Hak konstitusional tersebut
dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945. Bahwa konstitusi
tidak memberikan suatu pembatasan bahwa seseorang tidak boleh pindah menjadi
anggota partai politik lain atau bahkan pada saat yang bersamaan seseorang
tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu partai politik. Oleh karena itu tidak
ada kewajiban konstitusional seorang warga negara untuk pindah menjadi anggota
partai politik lain atau memilih salah satu atau beberapa partai politik dalam
waktu bersamaan, sehingga tidak ada kewajiban konstitusional pula bagi seorang
warga negara untuk berhenti dari keanggotaan salah satu partai politik karena
menjadi anggota partai politik lain. Pada sisi lain, seseorang yang telah
masuk dan menyatakan kesediaan untuk menjadi anggota dari suatu partai politik
mempunyai kewajiban untuk tunduk dan mengikuti disiplin dan aturan internal
partai politik yang bersangkutan.
Menurut
Mahkamah Konstitusi meskipun peran partai politik dalam proses rekrutmen telah
selesai dengan dipilihnya calon anggota DPR atau DPRD oleh rakyat melalui
Pemilu, namun partai politik tetap memiliki hak dan kebebasan untuk melakukan
pemberhentian terhadap anggota sesuai dengan aturan internal partainya. Hak
demikian tidak dapat dipaksakan untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dalam
pemahaman yang demikianlah, makna Pasal 16 ayat (3) UU Parpol, dalam hal
seseorang telah diberhentikan dari anggota partai politiknya berhenti pula
keanggotaan yang bersangkutan mewakili partai tersebut di lembaga DPR atau
DPRD. Jika partai politik melakukan pemberhentian anggota karena yang bersangkutan
menjadi anggota partai politik lain, untuk selanjutnya partai politik yang
bersangkutan berhak melakukan penggantian antarwaktu sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 huruf g UU Parpol. Hal ini juga berlaku apabila ada anggota DPR atau
DPRD yang mengundurkan diri, atau mangkat, maka mekanisme penggantian
antarwaktu anggota DPR atau DPRD merupakan hak dari parta politik yang
bersangkutan.
c)
Menimbang bahwa menurut Mahkamah mekanisme
penggantianantarwaktu memungkinkan dilakukan jika partai politik yang
bersangkutan masih memiliki calon anggota DPR atau DPRD dari partai politik
peserta Pemilu yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap sebagai pengganti. Jika
partai politik tersebut tidak lagi memiliki calon anggota DPR atau DPRD dalam
Daftar Calon Tetap sebagai pengganti, sedangkan anggota DPR atau DPRD yang
mewakili partai politik tersebut keluar dari DPR atau DPRD dan partai politik
tersebut tidak melakukan penggantian antarwaktu, maka akan terjadi kekosongan
anggota DPR atau DPRD. Kekosongan keanggotaan juga mungkin terjadi jika
kepengurusan partai politik di tingkat regional sudah tidak ada lagi, akibat
anggotanya sudah bergabung dengan partai politik lain atau partai politiknya
sudah bergabung dengan partai politik lain, atau sebab lainnya yang terkait
dengan daerah pemilihan yang bersangkutan. Dalam
hal demikian, penggantian antarwaktu tidak mungkin dilakukan, sehingga
menimbulkan masalah hukum yaitu kekosongan keanggotaan DPR atau DPRD;
d)
Menimbang bahwa Mahkamah akan mempertimbangkan
apakah seseorang yang pindah menjadi anggota partai politik lain serta merta
berhenti menjadi anggota legislatif yang sedang didudukinya. Dalam hal partai
politik yang mencalonkannya sebagai anggota DPR atau DPRD telah
memberhentikannya sebagai anggota partai politik, maka adalah hak konstitusional partai politik yang
mencalonkannya untuk menariknya menjadi anggota DPR atau DPRD dan menjadi
kewajiban pula bagi anggota partai politik yang bersangkutan untuk berhenti
dari anggota DPR atau DPRD. Dalam kerangka pemahaman yang demikianlah, menurut
Mahkamah ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol adalah konstitusional. Akan
tetapi, apabila partai politik yang
mencalonkan yang bersangkutan tidak memberhentikannya sebagai anggota partai
dan tidak juga menariknya sebagai anggota DPR atau DPRD, walaupun yang
bersangkutan telah menjadi anggota partai politik lain, tidak serta merta
berhenti pula menjadi anggota DPR atau DPRD. Hal demikian harus dilihat secara spesifik kasus per kasus, sehingga
tidak menimbulkan problem hukum dan problem konstitusional yang baru. Hal
utama yang harus dipertimbangkan adalah mengapa partai politik yang mencalonkan
yang bersangkutan tidak menarik anggotanya yang pindah menjadi anggota partai
politik lain, dan dengan alasan apa yang bersangkutan pindah partai politik.
Dalam kasus yang dipersoalkan oleh para Pemohon, para Pemohon pindah menjadi
anggota partai politik lain, oleh karena partai politik yang semula
mencalonkannya sebagai anggota DPR atau DPRD tidak lagi sebagai peserta Pemilu.
Di
beberapa daerah di mana keanggotaan DPRD mayoritas diisi oleh partai yang tidak
lagi ikut dalam Pemilu tahun berikutnya, maka anggota DPRD secara massal juga
akan melakukan perpindahan ke partai politik lain yang menjadi peserta pada
Pemilu berikutnya. Dalam jumlah yang signifikan, perpindahan anggota DPRD ini
akan menimbulkan permasalahan dalam penggantian anggota yang mengakibatkan DPRD
tidak akan dapat melaksanakan tugas konstitusionalnya, padahal pada tingkat
daerah, DPRD merupakan bagian penting sebagai unsur dari pemerintah daerah bersama
dengan kepala daerah. Kekosongan keanggotaan, apalagi dalam jumlah yang
signifikan, akan menimbulkan persoalan legitimasi dan legalitas pengambilan
keputusan sehingga mengakibatkan kepincangan dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Menurut
Mahkamah, dalam kasus demikian terdapat dua masalah konstitusional yang harus
dipecahkan, yaitu pertama, tidak berfungsinya DPRD menjalankan tugas
konstitusionalnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan kedua,
terabaikannya hak konstitusional warga negara yang telah memilih para wakilnya.
Oleh karena itu, untuk menjamin tetap tegaknya hak-hak konstitusional tersebut,
Mahkamah harus menafsirkan secara konstitusional bersyarat tentang Pasal 16
ayat (3) UU Parpol, sehingga tidak menimbulkan persoalan konstitusional baru
sebagai akibat terjadinya kekosongan anggota DPR dan DPRD;
Berdasarkan hal tersebut, sampailah Mahkamah
Konstitusinya pada kesimpulan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
mengadili permohonan Pemohon dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan.
Amar Putusan tersebut sebagai berikut :
1.
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian;
(1)
Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai, “dikecualikan bagi anggota DPR atau DPRD jika:
a. partai
politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu
atau kepengurusan partai poitik tersebut sudah tidak ada lagi,
b. anggota DPR
atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai politik yang
mencalonkannya,
c. tidak lagi
terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap dari partai
yang mencalonkannya”;
(2)
Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi anggota DPR atau DPRD
jika:
a. partai
politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu
atau kepengurusan partai poitik tersebut sudah tidak ada lagi,
b. anggota DPR
atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai politik yang
mencalonkannya,
c. tidak lagi
terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap dari partai
yang mencalonkannya”;
2.
Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan
selebihnya;
3.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
2.
Pemberhentian
antarwaktu Anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar A.n Sasmita Syafnur.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi di atas adalah
dalam rangka upaya untuk mengisi “celah” pada Pasal 16 ayat (3) UU Parpol,
meskipun Mahkamah Konstitusi berpendapat
persoalan ini harus dilihat secara spesifik kasus per kasus (case by case).
Dimana dalam hal anggota partai politik yang diberhentikan adalah anggota
lembaga perwakilan rakyat, maka diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan
di lembaga perwakilan rakyat.
Bahwa dengan terbitnya keputusan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang Penetapan Partai Politik Peserta
Pemilihan Umum Tahun 2014, menimbulkan persoalan tersendiri bagi anggota partai
politik yang notabene masih berstatus anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
namun masih memiliki keinginan untuk ikut “bertarung” dalam Pemilihan
Legislatif Tahun 2014 yang akan datang.
Persoalan tersebut juga dipicu dengan persyaratan
sebagaimana yang tertera didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dimana bakal calon anggota DPRD harus memenuhi
persyaratan antara lain “menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu”. Hal
ini juga diperkeruh dengan Formulir Komisi Pemilihan Umum yang mensyaratkan untuk melampirkan Surat
Keputusan Pemberhentian atau Surat Persetujuan pengunduran diri dari pejabat yang berwenang bagi anggota DPRD
Kabupaten.
Atas dasar itulah dan ditambah keinginan yang kuat
untuk kembali ikut serta dalam Pemilihan Legislatif Tahun 2014, maka anggota
DPRD yang Partai Politiknya tidak ikut serta dalam Pemilihan Legislatif 2014
“terpaksa” mengundurkan diri dari keanggotaan Partai Politiknya yang lama.
Bahwa kemudian pengunduran diri tersebut tidak
mendapat respon dari Partai Politiknya yang lama, sebab rata-rata mereka adalah
Pengurus Partai Politik tersebut. Hal ini merupakan salah satu bentuk untuk
mangantisipasi tidak terjadi pemberhentian antarwaktu anggota DPRD yang berhenti
karena mengundurkan diri.
Bahwa berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata
Tertib DPRD, disebutkan bahwa pemberhentian anggota DPRD diusulkan oleh partai
politik kepada Pimpinan DPRD Kabupaten dengan tembusan kepada Gubernur. Oleh
karena secara jelas tanpa usulan dari pimpinan Partai Politik tidak bisa
dilakukan pemberhentian antar waktu.
Mengingat jadwal dan agenda pelaksanaan Pemilu
Legislatif telah disusun dan mulai dilaksanakan, maka yang bersangkutan harus
sesegera mungkin untuk memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan sebagaimana
telah diterangkan di atas.
Dengan adanya pengunduran diri yang diajukan ke
Pimpinan DPRD Kabupaten, maka kemudian Pimpinan DPRD Kabupaten harus sesegera
mungkin pula untuk merespon situasi yang sedang berlangsung. Dimana timbul
persoalan pengunduran diri yang diajukan oleh yang bersangkutan dilakukan
secara “sporadik” tanpa adanya surat pemberhentian dari partai politik yang
lama. Hal ini kemudian menjadi persoalan yang rumit bagi Pimpinan DPRD untuk
melakukan atau tidak melakukan pemberhentian antarwaktu sebab secara
administrasi yang bersangkutan telah mengajukan pengunduran diri, namun
faktanya yang bersangkutan masih tetap hadir dan melaksanakan tugas rutinitas
sehari-hari dalam jabatannya sebagai anggota DPRD. Peliknya yang bersangkutan
ikut ambil bagian pada Sidang Paripurna DPRD.
Bahwa pada hakikatnya tidak ada kewenangan dari
DPRD terhadap persoalan tentang pindahnya keanggotaan Partai Politik seseorang
sebab hal ini merupakan murni domainnya internal partai politik itu sendiri.
Namun adanya persyaratan Komisi Pemilihan Umum tentang persyaratan bakal calon
anggota DPRD yang menghendaki adanya surat persetujuan pengunduran diri dari
pejabat yang berwenang bagi anggota DPRD, maka mau tidak mau Pimpinan DPRD
harus menyikapi pesoalan ini.
Bahwa kemudian keluarnya Surat Menteri Dalam
Negeri RI Nomor 160/3294/SJ, tanggal 24 Juni 2013 perihal Penjelasan Hak-hak
Anggota DPRD yang mengundurkan diri, dimana dijelaskan “apabila pimpinan partai
politik yang bersangkutan enggan untuk mengusulkan pemberhentian antarwaktu,
maka Pimpinan DPRD menyurati Pimpinan Partai Politik yang bersangkutan untuk
segera diusulkan pemberhentian antarwaktu. Akan tetapi apabila dalam kurun
waktu 14 (empat belas) hari pimpinan partai politik yang bersangkutan tidak
kunjung mengusulkan pemberhentian antarwaktu, maka Pimpinan DPRD Kabupaten
mengusulkan kepada Gubernur, untuk selanjutnya diresmikan pemberhentian
antarwaktu”. Selanjutnya diterangkan pula bahwa pereSmian anggota DPRD dimaksud
berlaku sejak ditetapkan.
Bahwa surat Menteri Dalam Negeri RI dimaksud terbit
adalah dalam rangka merespon adanya persyaratan bagi anggota DPRD yang secara
pribadi telah mengundurkan diri, namun belum diresmikan pemberhentian
antarwaktunya. Substansi surat Mendagri dimaksud, pada prinsip memberikan
interprestasi dan penafsiran terhadap persoalan yang dihadapi oleh Pimpinan
DPR/DPRD seluruh Indonesia mengingat sebagian anggotanya “terpaksa”
mengundurkan diri karena keikutsertaannya dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014
yang secara instan telah memberikan solusi terhadap proses pemberhentian
antarwaktu anggota DPRD. Namun disisi lain penjelasan Menteri Dalam Negeri
tersebut cenderung inskontitusional sebab didalam Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 2010, bahwa pemberhentian anggota DPRD yang mengundurkan diri diusulkan
oleh Partai Politik.
Memang apabila dipandang dalam kerangka
menjalankan tugasnya untuk menyelenggarakan kepentingan umum, terkadang
Mendagri dalam hal ini Pemerintah cenderung untuk turut campur dalam kewenangan lembaga negara
lain. Hal ini merupakan bagian dari “freies Ermessen”. Tercakup pula dalam
pengertian freies Ermessen membuat
peraturan tentang hal-hl yang belum ada pengaturannya atau mengimplementasikan
peraturan yang ada sesuai dengan kenyataan. Pencakupan demikian disebut
“discretionary power”.[7]
Menurut Jimly Asshidiqie, pada pokoknya Pejabat
Pemerintah hanya sebagai aparat pelaksana peraturan perundang-undangan produk
DPR. Memang benar adanya bahwa setiap pemerintah perlu diberikan hak untuk
mengatur (povouir reglementair) yaitu melalui apa yang disebut dengan
“beleidsregels” atau “policy rules” di luar bentuk undang-undang yang
dihasilkan parlemen. Namun “policy rules” itu hendaknya dibuat atas dasar
perintah ataupun kuasa undang-undang. Karena itu perlu dibedakan antara materi
“policy rules” seperti ini dengan materi yang seharusnya dibentuk dalam
undang-undang, tetapi karena keadaan tertentu harus dibuat dalam bentuk
peraturan di bawah tingkat undang-undang.[8]
Bahwa Surat Mendagri dimaksud cenderung sebagai
legislasi semu (pseudo wetgeving), yang merupakan kebijakan bukan peraturan
perundang-undangan yang dibuat dalam keadaan mendesak yang mengharuskan
diterbitkannya mengeluarkan legislasi.
Pimpinan DPRD selanjutnya memproses pemberhentian
antarwaktu anggota DPRD yang mengundurkan diri, meskipun tanpa atau dengan
usulan pimpinan partai politik setelah melewati tenggang waktu 14 (empat belas)
hari sejak disuratinya pimpinan partai politik.
Sesuai dengan mekanisme pemberhentian antarwaktu
anggota DPRD, maka paling lama 7 (tujuh)
hari sejak diterimanya usul pemberhentian[9],
pimpinan DPRD menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD kepada
gubernur melalui bupati untuk memperoleh peresmian. Selanjutnya paling lama 7
(tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian, bupati menyampaikan usul
tersebut kepada gubernur.
Apabila bupati tidak menyampaikan usul tersebut,
maka pimpinan DPRD dapat langsung menyampaikannya kepada gubernur. Gubernur meresmikan pemberhentian anggota DPRD paling
lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian.
Bahwa untuk kasus yang dialami oleh Sasmita
Syafnur anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar, yang mengajukan diri pada tanggal
11 Mei 2013 dan kemudian diproses oleh Pimpinan DPRD Kabupaten Tanah Datar yang
ditujukan kepada Bupati Tanah Datar melalui Surat Nomor 172/325/DPRD-TD/2013
tanggal 22 Juli 2013 perihal Peresmian
Pemberhentian Antarwaktu Anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar. Bahwa Bupati Tanah
Datar selanjutnya menyampaikan usulan dimaksud kepada Gubernur Sumatera Barat
melalui Surat Nomor 130/973/PUM-2013, tanggal 25 Juli 2013 perihal Penyampaian
Usulan Pemberhentian Antarwaktu Anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar Masa Jabatan
2009-2014 dari Partai Bintang Reformasi.
Memenuhi maksud tersebut, selanjutnya Gubernur
Sumatera Barat meresmikan pemberhentian Sdr. Sasmita Syafnur dari anggota DPRD
Kabupaten Tanah Datar dengan Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor
171-650-2013 tentang Peresmian Pemberhentian Anggota DPRD Kabupaten Tanah
Datar, tanggal 31 Juli 2013. Keputusan Gubernur Sumatera Barat tersebut
bersamaan dengan hari ditetapkannya Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor
39/PUU-XI/2013.
3.
Metoda dan
Prosedur Penemuan Hukum
Dalam
prakteknya seorang hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya
harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang ada dalam
perkara tersebut. Oleh karena itu, Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusannya
terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap di
pengadilan baik dari pihak-pihak yang berperkara. Di dalam Undang-undang
tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa adanya perkara di Mahkamah
Konstitusi disebabkan oleh adanya permohonan yang pihak-pihak sebagaimana telah
dikualifikasi dalam Pasal 51 Undang-Undang tentang Mahkamah Kontitusi yakni,
perorangan, lembaga Negara, badan hukum publik atau privat dan masyarakat hukum
adat yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang
dalam hal ini Undang-undang tentang Partai Politik.
Dalam hal
pemeriksaan tersebut dilakukan, maka hakim wajib berusaha menemukan hukumnya
secara tepat terhadap peristiwa tersebut yakni bersumber dari Undang-Undang
Dasar dan peraturan perundang-undangan lainnya ; Yurisprudensi peradilan,
konvensi ketatanegaraan ; Hukum Internasional tertentu ; doktrin ahli hukum
tertentu.
Dalam perkara
a quo, apabila kita menilik sumber hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim akan
terlihat pada pertimbangan hukum putusan, yakni sebagai berikut :
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebagai Penguji Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 termasuk
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai hukum
formilnya yang dijabarkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara Pengujian Undang-Undang Negara RI Tahun 1945.
2.
Yurisprudensi (Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008,
tanggal 23 Desember 2008;
Dalam hal terjadi kekosongan hukum, dimana
undang-undang tidak dapat menjangkau sebuah permasalahan hukum, maka dilakukan
penemuan hukum sehingga putusan yang dijatuhkan hakim dapat mengisi celah ruang
kosong yang ditinggalkan undang-undang atau peraturan perundang-undangan
tertulis.
Meskipun penemuan hukum terutama dilakukan oleh
hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, setiap orang yang
berkepentingan dalam suatu perkara dapat melakukan penemuan hukum. Selain
hakim, penemuan hukum juga dilakukan oleh pengacara atau advokat beracara di
pengadilan dan oleh ilmuwan hukum melalui doktrin hukum yang dikemukakannya.
Pada dasarnya, setiap sarjana yang berkecimpung di dunia hukum senantiasa
berhadapan dengan peristiwa hukum konkrit yang ditemukan dasar hukumnya dan
dipecahkan secara hukum. Namun, penemuan hukum yang dinilai dan diakui memiliki
wibawa hukum adalah penemuan hukum yang dihasilkan oleh hakim karena mempunyai
kekuatan mengikat sebagai hukum melalui putusan[10].
Dari persoalan yang terjadi, maka “ruh” dari
persoalan diatas adalah 1) apakah pemberhentian anggota DPRD harus dilaksanakan
berdasarkan usulan partai politik. 2) apakah pemberhentian seorang anggota
partai politik yang pindah partai harus diikuti dengan pemberhentiannya sebagai
anggota DPRD. Persoalan tersebut kemudian dilakukan melalui gagasan dan praktik
penemuan hukum. Dalam fakta kasus tersebut, ternyata terdapat 2 (dua) institusi
yang melakukan interprestasi dan penafsiran yang bermuara pada penemuan hukum
yakni Menteri Dalam Negeri RI dengan
Surat Nomor 161/3294/Sj, tanggal 24 Juni 2013 perihal Pemberhentian
Antarwaktu Anggota DPRD karena Menjadi Anggota Partai Politik Lain atau karena
Mengundurkan Diri. Selanjutnya Penemuan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi sebagaimana yang terlihat dalam putusan aquo.
Bahwa terbitnya Surat Mendagri dimaksud, merupakan
suatu terobosan terhadap Pasal 102 ayat (2) dan Pasal 103 ayat (1) PP Nomor 16
Tahun 2010, dimana terdapat kekosongan hukum (recht vakuum) dari pasal
dimaksud, apabila kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian anggota parpol
tidak digunakan ataupun enggan digunakan oleh pimpinan partai politik. Disadari
keengganan dimaksud diakibatkan anggota parpol yang pindah partai tersebut,
merupakan pengurus partai politik dimana partai politiknya pun dalam masa kevakuman
politik mengingat tidak lolos verifikasi partai politik yang ikut serta dalam
Pemilu Legislatif 2014. Umumnya pelaksanaan tugas kepartaian pun hanya
dilaksanakan oleh 2 (dua) orang saja yakni Ketua Umum dan Bendahara Partai.
Sedangkan pengurus lain sebagian besar yang tidak menjadi anggota DPRD pada masa itu banyak yang berhenti
karena pindah partai untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon anggota DPRD
ataupun memang secara faktual benar-benar berhenti dari kegiatan dan urusan
partai (non aktif).
Surat Mendagri ini pula sebagai antisipasi atas
hak keuangan anggota DPRD yang telah mengundurkan diri, dimana terkait dengan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 160/3385/SJ,
Tanggal 27 Juni 2013 perihal Penjelasan Hak-hak Anggota DPRD yang mengundurkan
diri, menegaskan bahwa pemberhentian hak protokoler dan keuangan Anggota DPRD
berlaku sejak ditetapkan keputusan peresmian pemberhantian oleh Gubernur.
Bahwa kedudukan Sdr. Sasmita Syanur yang secara
faktual masih aktif menjalankan tugasnya sebagai anggota DPRD, karena belum
resmi diberhentikan oleh Gubernur Sumatera Barat sebab persyaratan proses
pemberhentian sebagai anggota DPRD nya tidak lengkap, sementara yang
bersangkutan telah menjadi anggota partai politik lain dan telah mengundurkan
diri yang suratnya ditembuskan kepada Pimpinan DPRD Kabupaten Tanah Datar.
Bahwa langkah antisipasi yang dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri ini terkait pemberhentian dimaksud, seharusnya dipahami
secara spesifik dan kasus per kasus. Sebab menurut Penulis, pemahaman Menteri
Dalam Negeri yang demikian hanyalah merupakan pengkontruksian hukum atas
penafsiran dan interprestasi Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 103 ayat (3) dalam
kerangka adanya persyaratan Komisi Pemilihan Umum yang meminta surat
persetujuan pengunduran diri sebagai anggota DPRD yang oleh karenanya secara
prosedural juga harus ditindaklanjuti dengan peresmian pemberhentian
antarwaktunya.
Konstruksi hukum yang semacam inilah kemudian
hanya mampu menjawab persoalan hanya pada periode waktu dan ruang masa itu,
namun tidak memberikan solusi yang tepat untuk menjawab persoalan yang akan
timbul dimasa yang akan datang.
Pada sisi lain pengujian UU Parpol, yang pada
hakikatnya disebabkan persoalan yang sama dengan yang dialami oleh Sdr. Sasmita
Syafur dari perspektif penemuan hukum
adalah dalam kerangka yang lebih konkrit untuk menentukan kedudukan hukum si
Pemohon.
Pendapat Mahkamah Konstitusi tentang 2 (dua) hal
yang harus dipecahkan yakni pertama,
tidak berfungsinya DPRD dalam menjalankan tugas, tentu dapat dipahami sebab
jika pemberhentian Sdr. Sasmita Syafnur tanpa usulan partai politik
dilaksanakan tentu konsekuensinya harus ada penggantian antarwaktu oleh
Pimpinan DPRD. Dimana Pasal 107 ayat (1)
PP 16 Tahun 2010, dinyatakan “Pimpinan DPRD menyampaikan nama anggota DPRD yang
diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu dengan
melampirkan fotokopi daftar calon tetap dan daftar peringkat perolehan suara
partai politik yang bersangkutan yang telah dilegalisir, kepada KPU dengan
tembusan kepada Pimpinan Partai politik yang bersangkutan. Oleh karenanya sejak
usulan pemberhentian antarwaktu tersebut telah ada nama usulan penggantian
antar waktu yang akan diresmikan oleh Gubernur. Faktanya hal tersebut telah
melangkahi proses yang telah ditentukan. Kedua, terabaikannya hak konstitusi
warga yang telah memilih para wakilnya. Hal ini jelas akan menghilangkan peran
anggota DPRD yang terpilih di daerah konstituennya. Sebab yang bersangkutan
terpilih adalah dalam rangka sebagai representasi para pemilihnya di daerah
pemilihan.
Bahwa
menurut Mahkamah Konstitusi, konstitusi tidak memberikan suatu
pembatasan bahwa seseorang tidak boleh menjadi anggota partai poltik, bahkan
pada saat yang bersamaan seseorang tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu
partai politik. Oleh karena itu tidak ada kewajiban konstitusional seseorang
warga negara untuk pindah menjadi anggota partai politik lain atau memilih
salah satu partai politik karena menjadi anggota partai politik lain.
Oleh karenanya terdapat pertentangan antara
pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi dengan penjelasan Menteri Dalam
Negeri. Mengutip pendapat Sudikno, maka penemuan hukum yang dilakukan oleh
hakim lebih dinilai dan diakui memiliki wibawa hukum.
Berdasarkan
beberapa literatur diantaranya pendapat Achmad Ali, SH, MH, metode penemuan
hukum oleh hakim dalam praktiknya dapat dibedakan atas 2 (dua) yakni :
a)
Metode Penafsiran yakni metode penafsiran terhadap
teks undang-undang dengan tetap berpegang pada bunyi teks tersebut ; sedangkan
b)
Metode Konstruksi yakni hakim mempergunakan
penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang,
dimana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks itu tetapi dengan syarat
hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.
Beraneka bentuk metode penafsiran atau
interprestasi hukum yang ada, maka Penulis akan membatasi metode yang dipakai
dalam menganalisa perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
di Mahkamah Konstitusi. Metode penafsiran atau interprestasi tersebut antara
lain :
a)
Metode Gramatikal
b)
Metode Sistematis atau logis
c)
Metode Komparatif atau perbandingan
d)
Metode Doktrinal
Jika kita
melihat unsur dari penemuan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konsitusi
tersebut adalah kepastian hukum, keadilan dan manfaat dimana unsur tersebut
memilki nilai peranan yang sama dan saling mengisi. Dalam perkara a quo, maka jelas terlihat pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa,
mengadili dan memutuskan perkara ini adalah untuk mengisi kekosongan hukum
seandainya terdapat pemberhentian anggota DPRD yang pindah partai dan tidak ada
penggantinya. Oleh karenanya terlebih dahulu memberikan kepastian hukum atas
celah yang ditinggalkan hukum itu sendiri. Dalam konteks penemuan hukum, maka
seorang hakim terlebih dahulu penafsiran hukum atas peraturan perundang-undangan tertulis baru
kemudian dilanjutkan dengan konstruksi hukum, namun adakalanya proses yang
dilakukan dapat terbalik.
Dalam konteks
penemuan hukum oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo, maka penemuan
hukum penting bagi hakim karena dalam mengadili suatu perkara hakim lebih
mementingkan fakta atau peristiwa daripada hukumnya. Bagi Hakim, bunyi
ketentuan hukum adalah hanyalah alat, sedangkan fakta atau peristiwa lebih
menentukan daripada ketentuan hukum[11].
Menurut
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, penemuan hukum dilakukan melalui
dua teknik, yaitu interprestasi dan teknik konstruksi hukum yang mencakup :
analogi, penghalusan atau penyempitan hukum (rechtsvernijning) dan argumentum a
contrario[12]
Ada perbedaan
pandangan tentang metode atau penemuan hukum oleh hakim antara yuris Eropa
Kontinental dengan yuris Anglo Saxon. Pada umumnya, yuris Eropa Kontinental
tidak memisahkan secara tegas antara metode interprestasi dengn metode
konstruksi. Sebaliknya, pemikir si Anglo Saxon, L.B Curzon (Ahmad Ali, Menguak
Tabir Hukum, suatu kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta,
1996. Hal.154), membuat pemisahan yang tegas antara Metode interprestasi dengan
konstruksi. Perbedaan prinsip antara interprestasi dan konstruksi yaitu
interprestasi atau penafsiran terhadap teks UU masih tetap berpegang pada bunyi
teks itu, sedangkan pada konstruksi, hakim menggunakan penalaran logis untuk
mengembangkan lebih lanjut suatu teks UU, dimana hakim sangat mungkin tidak
lagi berpegang pada bunyi teks atau bahkan mengabaikan hukum sebagai suatu
sistem.
Dalam perkara
ini ada kecenderungan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan konstruksi hukum, hal
ini terlihat dalam putusannya yang konstitusional bersyarat sebagaimana
dinyatakan dalam pertimbangannya. Pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
lahir atas pemeriksaan perkara yang kemudian diterapkn secara umum terhadap
Pasal yang dilakukan pengujian.
Pemaknaan
tersebut adalah dalam rangka memenuhi
lebih diarahkan untuk memenuhi prinsip keadilan dibandingkan apakah
pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana kewenangan dari
Mahkamah Konstitusi.
Bahwa
Mahkamah Konstitusi dalam perjalanannya
tidak bisa untuk tidak melaksanakan kewenangannya hanya dalam rangka menguji
hal-hal tekstual dalam UUD 1945. Sebab seorang hakim dihadapkan pada 3 (tiga)
kondisi yang harus dipenuhi yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
4.
Bentuk dan Kekuatan Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam
suatu peradilan adalah merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara yang
berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara
tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya.
Terhadap putusan lah seseorang menggantungkan kepentingan hukumnya dalam suatu
perkara dan tentang kepastian hukum.
Penemuan
hukum yang dilakukan oleh hakim pada prinsipnya dikonkritisasikan dalam sebuah
amar putusan. Oleh karenanya tidak ada penemuan hakim apabila tidak putusan
dalam sebuah perkara.
Berdasarkan
Pasal 56 UU MK, maka diterangkan bentuk putusan Mahkamah Konstitusi, yakni : pertama, tidak dapat menerima ; kedua, mengabulkan dan ketiga, menolak. Meskipun pada kenyataannya Mahkamah Konstitusi
tidak secara kaku menerapkan hal tersebut, dimana pada kasus dimaksud, Mahkamah
Kontitusi yang mengadili dan memutus perkara telah menjatuhkan putusan bahwa UU
Parpol tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ,
dikecualikan pada hal-hal tertentu yang dinyatakan dalam putusan tersebut. Hal
ini secara teori yang dikemukakan para ahli merupakan bentuk putusan bersyarat
(conditionally constitusional).
Menurut
Harjono, conditional constitusional dapat digunakan untuk 2 (dua) tujuan, pertama, dipakai untuk mempersoalkan
konstitusional sebuah pasal. Kedua, dapat digunakan mengajukan gugatan ke
peradilan biasa oleh mereka yang dirugikan oleh peraturan yang ditafsirkan
berbeda[13].
Putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi yang berdimensi penemuan hhukum menyulut pendapat pro dan
kontra. Kalangan yang pro terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang
berdimensi hukum berargumen bahwa menafsirkan konstitusi tidak hanya bersandar
pada penafsiran tekstual, fleksibel dan ekstensif demi mewujudkan kepastian
hukum dan keadilan. Sementara kalangan yang kontra berargumen putusan MK
menunjukan putusan yang melampaui kewenangannya.
Sejak awal
keberadaanya, MK didesain untuk mengawal konstitusi dalam arti menjaga agar UU
konsisten, sejalan dan tidak bertentangan dengan UUD. Dalam hal ini, ada
semacam sekat konstitusionalisme yang membatasi secara tegas MK sebagai
peradilan konstitusi tidak mencampuri kekuasaan legislatif. [14]
Dalam tugas dan
kewenangan yang demikian, seharusnya MK tidak boleh membuat putusan yang
bersifat yang mengatur, tidak boleh membatalkan UU atau isi UU yang oleh UUD
dinyatakan terbuka (diserahkan pengaturannya kepada legislatif)dan tidak boleh
pula membuat putusan yang ultra petita, apalagi
ultra petita yang bersifat positive legislature. Dengan kata lain
pelanggaran terhadap asas ini bisa dikatakan sebagai pencideraan terhadap
prinsip pemisahan kekuasaan dan checks
and balances yang dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia[15].
Dalam konteks
peradilan konstitusi oleh MK, menurut hakim konstitusi , larangan ultra petita
tidak dapat diterapkan karena hukum acara peradilan konstitusi berbeda dengan
hukum acara perdata. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada 5 (lima) pertimbangan hukum
mengapa MK menjatuhkan putusan Ultra
Petita. Pertama, sengketa MK bukanlah sengketa orang-perorangan seperti
dalam peradilan perdata, tetapi mengenai persolan hukum tata negara yang
prinsipnya sangat berbeda dengan peradilan perdata. Lagipula petitum Pemohon sering menyertakan
permohonan putusan yang seadil-adilnya (et
aequo et bono) yang member kewenangan mengabulkan putusan yang tidak
diminta Pemohon. Kedua, Pengujian UU
adalah menyangkut kepentingan umum, meskipun yang mengajukan adalah orang-perorang.
Sehingga akibat hukum dari putusan MK bersifat erga omnes, yaitu berlaku
untuk seluruh masyarakat atau pihak. Oleh karena itu, jika kepentingan umum
menghendaki maka Hakim Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan
atau Petitum yang diajukan. Ketiga, pasal undang-undang yang
dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya merupakan “jantung” undang-undang
sehingga pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
artinya seluruh pasal undang-undang tersebut tidak dapat dilaksanakan. Keempat, putusan Ultra
Petita juga lazim dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi di negara lain. Kelima, tidak ada aturan dalam Undang-Undang Dasar
1945 yang melarang atau membolehkan
putusan Ultra Petita.[16]
Putusan Ultra Petita oleh MK sebetulnya tidak
perlu sama sekali dilarang. Dalam kasus dan kondisi tertentu, putusan Ultra Petita boleh sangat jadi
diperlukan sebaga solusi ketika menemui impase konstitusional atau jalan buntu
hukum. Lagipula, karakter peradilan konstitsuional di MK berbeda dengn karakter
peradilan perdata yang melarang putusan Ultra
Petita. Pelarangan sama sekali atas MK manjatuhkan Ultra Petita akan berpotensi menyurutkan kreasi hakim konstitusi
melakukan penemuan hukum. Akan tetapi, pada sisi lain, MK sebaliknya tidak
boleh menjatuhkan putusan Ultra Petita tanpa batas dengan dalih atas nama kebebasan
hakim.
Bahwa putusan
MK dalam perkara tersebut mengandung makna bahwa Mahkamah Konstitusi mencoba
memberikan jawaban atas persoalan atas perkara yang sedang diujikan. Persolan
tersebut dijawab dengan sebuah putusan yang melebihi dari apa yang dimintakan
oleh Pemohon. Pemaknaan atas pasal undang-undang yang diujikan merupakan
putusan yang Ultra Petita. Meskipun
dari awal Mahkamah Konstitusi berpendapat hal ini harus dipandang secara
spesifik dan kasus per kasus, namun implikasinya tentu berakibat secara umum
pada pasal yang diujikan. Bentuk konstruksi hukum dari putusan yang Ultra Petita, merupakan sarana untuk
menjawab persoalan-persoalan yang tidak bisa dijawab oleh hukum positif
semata.
Bahwa akibat
hukum yang timbul putusan MK terhadap perkara a quo, diatur dalam Pasal 58 UU
MK yakni :
“Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi
tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa Undang-undang tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945”.
Ini berarti
bahwa putusan hakim MK yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak boleh
berlaku surut. Akibat hukum yang timbul dari putusan itu dihitung sejak putusan
tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Oleh karenanya, akibat
hukum yang timbul berlakunya suatu undang-undang sejak diundangkannya sampai
diucapkannya putusan yang menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, tetap sah dan mengikat.[17]
Bertalian
dengan Pasal 47 UU MK, dimana dinyatakan : Putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum. Oleh karenanya penerapan Putusan dalam perkara pengujian UU
Parpol tidak berlaku surut dimana putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum
tetap sejak dibacakan dalam sidang pleno terbuka pada tanggal 31 juli 2013,
Pukul 14.05 WIB.
Dalam
pertimbangannya Putusan MK dimaksud tidak pernah membahas satupun t implikasi
hukum yang telah terjadi terkait dengan status hukum para Pemohon yang telah
berhenti sebagai anggota DPRD karena pindah partai politik. Oleh karenanya
Putusan MK tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengakomodir akibat pasal yang
diujikan sebelum lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa
sehubungan dengan terbitnya Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor
171-649-2013 tentang Persemian Pemberhentian Anggota DPRD Kabupaten Tanah
Datar, tanggal 31 Juli 2013 A.n Sdr. Sasmita Syafnur, maka timbul persoalan
tentang bagaimana kedudukan hukum Sdr. Sasmita Syafnur pasca Keputusan Gubernur
Sumatera Barat dan putusan MK ?
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka putusan MK mempunyai kekuatan hukum sejak pukul 14.05
WIB, tanggal 31 Juli 2013. Sehingga perlu dilihat waktu terbitnya Keputusan
Gubernur Sumatera Barat, sebab apabila keputusan Gubernur Sumatera barat dikeluarkan
sebelum Putusan MK, maka putusan MK tidak bisa memulihkan keadaan hukum yang
sudah ada.
Bahwa kemudian
telah dilakukan klarifikasi ke Gubernur berkenaan implikasi Putusan MK terhadap keputusan Gubernur
Sumatera Barat melalui Surat Bupati Tanah Datar Nomor 130/1065/PUM-2013,
tanggal 21 Agustus 2013 perihal Mohon Penjelasan, yang intinya meminta penjelasan
dengan status hukum Sdr. Sasmita Syanur sebagai anggota DPRD Kabupaten Tanah
Datar. Namun dari hasil penjelasan Gubernur Sumatera Barat tidak memberikan
penjelasan yang terang dan lengkap sebab hanya menjawab hal-hal yang umum saja,
dimana diterangkan Putusan MK berlaku sejak dibacakan dalam sidang pleno
terbuka sebagaimana dalam putusan. Padahal seharusnya Gubernur Sumatera Barat
wajib memberikan penjelasan terkait penetapan Keputusan Gubernur Sumatera Barat
yang sama tanggal dan harinya dengan putusan Mahkamah Konstistusi tersebut.
Oleh karena
sampai saat tulisan ini dibuat, belum ada klarifikasi yang jelas dan terang,
maka Sdr. Sasmita Syafnur masih menjalankan tugasnya sebagai anggota DPRD. Oleh
karenanya Putusan MK yang ternyata Ultra
Petita tersebut, ternyata belum bisa menjawab persoalan yang dialami oleh
sebagian anggota DPRD yang telah mengundurkan diri sebelum putusan MK.
Disamping itu timbul persoalan hukum baru terhadap proses yang dilaksanakan oleh
Pimpinan DPRD yang melakukan proses pemberhentian antarwaktu tanpa usulan dari
pimpinan partai politik. Oleh karenanya ada indikasi Keputusan Gubernur
Sumatera Barat cacat hukum, karena tidak melalui prosedural sebagaimana yang
telah diamanatkan dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 jo PP 16 Tahun 2010 sehingga
terbuka untuk diajukan pada Peradilan Tata Usaha Negara.
5.
Putusan
Mahkamah Konstitusi yang Ultra Petita dalam
Penegakan hukum yang progresif dan Responsif
Penyebaran gagasan hukum progresif diawali oleh
Satjipto Raharjo, guru besar Emiritus pada Fakultas Hukum Diponegoro. Menurut
Satjipto, hukum progresif pada prinsipnya bertolak dari 2 (dua) komponen dasar
dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rule and behavior). Landasan hukum
progresif didasarkan pada 2 (dua) asumsi pokok. Pertama, hukum adalah untuk
manusia, bukan sebaliknya. Berangkat dari asumsi ini, maka kehadirannjau dan
hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan
besar. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan dalam hukum, maka hukumlah
yang harus ditinjau dan diperbaiki bukannya manusianya yang dipaksa untuk
dimasukkan ke dalam skema hukum. Kedua, hukum bukan institusi yang mutlak serta
final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus-menerus membangun
dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik.
Kualitas kesempurnaan di sini bisa direfleksi ke dalam faktor keadilan,
kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah yang oleh
Satjipto Raharko dikatakan hakikat “ hukum yang selalu dalam proses menjadi
(las as process lAw in the making) [18].
Pembentukan hukum oleh hakim dalam konsep hukum
responsive dari Jhon Merryman menyatakan bahwa seorang hakim sering berpikir
bahwa perundang-undangan sebagai salah satu bentuk pelayanan fungsi tambahan
yang sering akurat.[19]
Sebelum munculnya gagasan hukum progresif, Nonet
dan Selznick telah pula mengemukakan gagasan tentang hukum responsif. Hukum
responsif menempatkan hukum sebagai sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan
sosial dan aspirasi publik[20].
Keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan hukum,
diharapkan menjadi kekuatan control (agent of sosial control) dan kekuatan
penyeimbang antara kepentingan pemerintah dan masyarakat. Pada suatu kesempatan
terdapatnya hukum yang responsif, membuka ruang partisipatif masyarakat dalam
pembentukan hukum yang lebih substantif menjawab persoalan sosial di
masyarakat. Oleh karenannya hukum yang responsif cenderung mengedepankan
moralitas dan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya dalam konteks yang demikian
adanya penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim sebagaimana yang dikemukan oleh
Sudikno merupakan salah satu bentuk perwujudan nilai keadilan dan perlindungan
hak asasi manusia yang tidak melulu berpijak pada hukum positif yang sudah ada
yang akan mengakibatkan hukum sebagai robot pengatur hubungan sosial di
masyarakat. Demikian pula putusan hakim yang Ultra Petita merupkan salah satu bentuk peruntuhan dominasi hukum
yang dipandang secara tekstual saja, melainkan untuk merespon kepentingan
masyarakat sehingga terdapat keadilan substantif bukan dalam rangka “due
process of law” semata.
Oleh karenanya penerapan hukum yang progresif dan
responsif tidak dapat dilakukan “setengah-setengah”,
sebab mengakibat hukum juga tidak berjalan dan cenderung “kebablasan”. Hal ini tentu kan menimbulkan
ketidakpastian hukum sebagaimana yang diharapkan oleh semua orang.
Dalam perkara yang diujikan tersebut, hakim
mencoba untuk merespon gejala-gejala yang sedang dihadapi oleh masyarakat,
dimana masyarakat menghendaki perubahan paradigma mengenai hak seseorang dalam
statusnya sebagai anggota Partai Politik sekaligus anggota DPRD. Paradigma yang
ada dalam UU Partai Politik tidak memberikan keadilan yang substantif bagi
mereka, sehingga jika diterapkan maka mengakibatkan pelanggaran hak bagi
mereka.
Kendati kemudian telah keluar putusan yang
memberikan makna terhadap pasal yang diujikan, memang telah memberikan secerca
harapan bagi pemohon. Sebab hak mereka sebagai representasi wakil rakyat tidak
terabaikan dengan pemberlakuan pasal 16 ayat (3) UU Partai Politik. Namun
adanya Pasal 47 dan 58 UU MK, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi baru mempunyai
kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam sidang pleno terbuka untuk umum,
kemudian seolah-olah meniadakan harapan itu. Mengingat kondisi yang telah
terjadi tidak bisa pulihkan dengan tidak bisa berlaku surutnya putusan Mahkamah
Konstitusi.
Keadilan yang substantif dapat dikatakan sebagai
sebenar keadilan (true justice) yang pencariannya, penegakannya dibutuhkan
substansi, pemikiran dan tindakan progresif serta sebuah keberanian untuk
keluar dari kungkungan kotak sistem (out of the box). Karakter-karakter
tersebut terpenuhi dalam Teori Hukum Progresif. Satjipto Raharjo sebagai
penggagas hukum progresif mengatakan bahwa rule
breaking sangat penting dalam sistem penegakan hukum.[21]
Menurut Satjipto Raharjo, ada 3 cara untuk
melakukan rule breaking, yaitu : [22]
1.
Mempergunakan kecerdasan sprituil untuk bangun
dari keterpurukan hukum dan tidak membiarkan diri terkekang cara lama ;
2.
Pencarian makna lebih dalam hendanya menjadi
ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum ;
3.
Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip
logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian dan keterlibatan (compassion)
kepada kelompok yang lemah.
Beranjak dari hal tersebut, maka Mahfud M.D
berpendapat bahwa terkait dengan soal keadilan substantif, dalam beberapa
kesempatan, banyak kalangan mempersoalkan bahwa upaya untuk mencapai keadilan
substantif sulit dilakukan karena sulit diukur dan tidak ada kriteria baku
untuk menentukan apa itu keadilan substantif. Keadilan itu bersifat nisbi atau
relative karena tergantung pandangan subyektif, berbeda dengan bunyi
undang-undang yang isinya menekankan unsur kepastian[23].
Selain itu , untuk menghindari kesan MK suka dan
sering melampaui ketentuan prosedural, perlu dipahami bahwa upaya MK mewujudkan
keadilan substantif sebagaimana yang selama ini digelorakan, harus dibaca
sebagai upaya MK menegakkan keadilan dengan tidak semata-mata mengedepankan
keadilan prosedural tetapi juga juga keadilan substantif. Artinya, MK tak bisa
lantas seenaknya mengabaikan ketentuan prosedural atau menerobos undang-undang.
Dalam hal undang-undang sudah mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim
wajib berpegang pada undang-undang tersebut. Apalagi berdasarkan sistem UUD 945, MK diperbolehkan atau
dimungkinkan membuat putusan yang keluar dari undang-undang hanya jika
undang-undang itu “mengerangkeng” keyakinan MK untuk menegakkan keadilan.[24]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 39/
PUU-XI/2013 tentang Permohonan Uji Materil Pasal 16 ayat (3) UU tentang Partai
Politik telah melakukan pengujian konstitsuonalitas undang-undang, dimana
Mahkamah Konstitusi tidak hanya memeriksa pertentangan terhadap Undang-Undang
Dasar 1945 semata, namun mempertimbangkan hal lain yang relevan yang berada di
luar UUD 1945. Hal ini dalam rangka untuk memberikan keadilan dan perwujudan perlindungan
hak asasi manusia. Oleh karena itu Mahkamah Kontusi dalam perkara ini telah
melakukan penemuan hukum.
b.
Bahwa meski putusan Mahkamah Konstitusi dalam
perkara a quo merupakan putusan yang Ultra
Petita. Namun penerapan hukum acaranya tidak memberikan kedudukan hukum
terhadap Pemohon yang telah mengundurkan diri sebelum putusan Mahkamah
Konstitusi. Hal ini disebabkan putusan MK tidak berlaku surut “retro-aktif”.
c.
Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerapkan hukum
yang progresif dan responsif terhadap perkara dimaksud dengan tidak hanya
menilai hal yang tekstual saja melainkan juga secara kontekstual. Hal ini
merupakan ciri dalam upaya memberikan keadilan yang substantif. Namun ternyata
keadilan subsantif yang diharapkan tersebut tidak lantas memberikan “keadilan
yang tertinggi” sesuai harapan pemohon dikarenakan Mahkamah Konstitusi tidak
melakukan upaya peruntuhan penerapan Pasal 47 dan Pasal 58 UU MK secara kasus
per kasus.
2.
Saran
a.
Bahwa diharapkan kedepan Mahkamah Konstitusi dalam
memutus perkara mempertimbangkan daya laku putusan serta akibat yang diharapkan
terhadap penerapan putusan.
b.
Bahwa dalam putusan saja Mahkamah Konstitusi telah
mampu menerapkan putusan Ultra Petita, kedepan juga kiranya Mahkamah Konstitusi
dapat menerapkan asas retro aktif
pada kasus-kasus tertentu.
c.
Bahwa sesungguhnya perlu dilakukan penerapan teori
hukum progresif dan responsif demi mewujudkan keadilan substantif yang tidak
terbatas hanya pada hal tekstual tapi secara kontekstual.
A.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Buku-buku
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. Jakarta ; Gunung Agung, 2002
Jhon Henry Merryman, The Civil Law Tradition an Introduction to the
Legal System Western and Latin Amaerca, Secon Edition, Stanford University
Press, California, 1985, p.34 sebagaimana dikutip oleh Dr. Martitah, M.Hum
dalam Buku Mahkamah Konstitusi : Dari Negative
Legislature ke Positive Legislature, Konstitusi Press, hal 38
Bernard L. Tanya dkk. Teori Hukum.
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya,
2006 hlm.170
Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Pengawal
Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi
RI, 2004.
Jimly Asshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran kekuasaan
dalam UUD 1945, Yogyakarta, FH-UII Press, 2005, hal. 191
Jimly Assidiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh
Negara, Setjen dan Kepaniteraan MK-RI, Jakarta, 2006
Manan,Abdul. Makalah Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum
Acara di Peradilan Agama, disampaikan pada acara Rakernas Mahkamah Agung RI,
tgl 10 s/d 14 Oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Martitah, Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive
Legislature, Konstitusi Press, Jakarta 2013
Munafrizal Manan, Penemuan Hukum oleh Mahkaman Konstitusi, CV. Mandar
Maju, Jakarta, 2012
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta 2007
Philipus M.
Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta :
Gajah Mada University Press, 2005, hal 1
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005
Suteki,
Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum :
Budaya Oriental dan Implikasinya terhadap cara berhukum dalam perspektif Hukum
Progresif, Jakarta, Setjen Komisi Yudisial RI, Juli 2012
Satjipto
Rahardjo, Hukum Progresif : Hukum yang membebaskan, Jurnal Hukum Progresif,
Vol.1/No.1/April 2005, PDIH UNDIP Semarang
SF. Marbun
& Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta,
Liberty, 2004 hal.45
Taufiqurahman Syahnuri, Mengenal MK- Tanya Jawab tentang MK di Dunia
Maya, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2004,
2.
Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
________ , Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
________ , Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPD, DPD, DPRD
________ , Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman
________ , Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011
________ , Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
________ , Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD
3.
Website Internet
http://www.mahkamah konstitusi.
go.id
http://www.adedidikirawan.wordpress.com/teori negara hukum
http://www.bowolampard8.blogspot.com/ metode penafsiran hukum
http://www.sudikno.blogspot.com/ Penemuan Hukum
[1] Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076
[4] Prof.Dr.H. Abdul
Manan, SH, S.IP, M.Hum, makalah Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum
Acara di Peradilan Agama, disampaikan pada acara Rakernas Mahkamah Agung RI,
tgl 10 s/d 14 Oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur
[5] Cetak Biru,
Membangun Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Pengawal Konstitusi yang
Modern dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2004, Hal
iv
[6] Lihat Pasal
10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[7] SF. Marbun
& Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta,
Liberty, 2004 hal.45
[8] Jimly
Asshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran kekuasaan dalam UUD 1945,
Yogyakarta, FH-UII Press, 2005, hal. 191
[9] Lihat Pasal 384 ayat (3) dan (4) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD
[10] Sudikno
Mertokusumo, penemuan hukum, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
2010 hal. 49
[12] Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi
Hukum, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2005, hal 1
[13] Munafrizal Manan, Penemuan Hukum oleh MK, CV. Mandar Maju, tahun 2012,
hal. 85
[14] Martitah, Mahkamah
Konstitusi : Dari Negative Legislature ke
Positive Legislature, Konstitusi Press, hal 174.
[17] Maruarar
Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI, Konstitusi Press, Jakarta, 2005,
hal. 213
[19] Jhon Henry Merryman,
The Civil Law Tradition an Introduction to the Legal System Western and Latin
Amaerca, Secon Edition, Stanford University Press, California, 1985, p.34
sebagaimana dikutip oleh Dr. Martitah, M.Hum dalam Buku Mahkamah Konstitusi :
Dari Negative Legislature ke Positive
Legislature, Konstitusi Press, hal 38
[20] Bernard L. Tanya
dkk. Teori Hukum. Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2006 hlm.170
[21] Suteki, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum : Budaya Oriental dan Implikasinya terhadap
cara berhukum dalam perspektif Hukum Progresif, Jakarta, Setjen Komisi Yudisial
RI, Juli 2012, hal 277.
[22] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Hukum yang
membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol.1/No.1/April 2005, PDIH UNDIP
Semarang, Hal 5
[23] Dr. Martitah, M.Hum,. op.cit hal xvi
[24] Ibid
hal. xvii
Comments
Post a Comment