Analisa kasus tentang Kedudukan Dosen dalam Ketenagakerjaan dalam Perspektif Penemuan Hukum
Analisa
kasus tentang Kedudukan Dosen dalam Ketenagakerjaan
dalam
Perspektif Penemuan Hukum
Oleh :
M. Rezha Fahlevie, SH
(Mahasiswa Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas , NIM : 1320112037)
A.
PENDAHULUAN
Negara kesatuan
Republik Indonesia memiliki tujuan sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yakni “…melindungii segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial…”.
Untuk mewujudkan hal
tersebut, maka ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang diatur dalam undang-undang.[1]
Bahwa kemudian
konkritasi dan perwujudan cita-cita bangsa tersebut dilahirkan dalam suatu
sistem yang dinamakan Sistem Pendidikan Nasional. Dengan sistim pendidikan
nasional diharapkan seluruh komponen pendidikan dapat saling berkesinambungan
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Salah satu komponen
sistim pendidikan nasional tersebut
meliputi komponen kelembagaan dan pengelolaan pendidikan.
Untuk
menyelenggarakan Pendidikan Tinggi, maka komponen dasarnya adalah ketenagaan
perguruan tinggi yang terdiri atas : dosen dan tenaga pendidikan. Dimana dosen
dan tenaga kependidikan diangkat dan ditempatkan oleh Pemerintah atau badan penyelenggara.
Sementara itu satu
hal penting yang harus dicermati adalah dosen dan tenaga kependidikan yang
diangkat dan ditempatkan oleh badan penyelenggara dilakukan berdasarkan
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan hal
tersebut, maka antara dosen maupun tenaga kependidikan memiliki hubungan
keperdataan dengan badan penyelenggara akibatnya adanya perjanjian kerja atau
kesepakatan kerja sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1313 Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), yakni “Suatu persetujuan adalah suatu
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang
lain atau lebih”. Mengingat keduanya telah terikat dalam
suatu perjanjian maka kedua pihak secara suka rela wajib untuk melaksanakan
perjanjian dengan sungguh-sungguh dan itikad baik.
Kendati jika
dikemudian hari terjadi perselisihan
antara dosen maupun dengan badan penyelenggara, apabila dikaitkan hubungan
keperdataannya yang berada dalam ranah hukum privat, namun negara tidak serta
merta kemudian tidak melindungi hak-hak dari dosen maupun tenaga kependidikan.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan
beberapa syarat dan prosedural seorang
dosen dapat diberhentikan dari jabatannya sebagai seorang dosen[2].
Dalam perspektif ketenagakerjaan, adanya pendapat yang
menyatakan bahwa dosen maupun tenaga pendidikan yang diangkat oleh badan
penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta dilihat dalam hal perselisihan dan
pemutusan hubungan kerja adalah dalam ranah hubungan ketenagakerjaan yakni
antara pemberi kerja dengan pekerja (dosen) sebagaimana menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hal ini didasarkan pada pendapat dan presepsi bahwa secara substantif
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan menyatakan jenis usaha seperti yayasan dan lembaga
pendidikan masuk dalam pengertian perusahaan dan pengusaha.
Berkaca pada sebuah
kasus yang terjadi belakangan ini, yakni adanya pemecatan terhadap seorang
dosen pada Perguruan Tinggi Swasta oleh
yayasan yang menaunginya diluar jam kerja , maka Penulis tertarik untuk
melakukan analisa tentang kedudukan dosen yang diangkat oleh
badan penyelenggara yang berbentuk yayasan
dan penyelesaian perselisihan dalam hukum ketenagakerjaan dalam
perspektif penemuan hukum.
B.
PEMBAHASAN
1. Kedudukan hukum
antara Dosen dengan Yayasan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi, maka dosen merupakan ketenagaan perguruan tinggi yang
pengangkatan dan penempatannya oleh badan penyelenggara yang dilakukan
berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila kita lihat
secara sepintas, maka hubungan hukum antara dosen dengan badan penyelenggara
lahir akibat perjanjian kerja dan kesepakatan kerja. Pada hakikatnya setiap
orang bebas untuk membuat kontrak atau perjanjian yang berisi apapaun asal
tidak bertenangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum hal ini
dinamakan sebagai asas kebebasan berkontrak[3]. Asas Kebebasan
berkontrak tersebut diatur dalam Pasal 1320 BW yang berarti orang dapat
menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur sendiri dalam Buku ke-III
BW, tetapi diatur sendiri dalam perjanjian, sebab perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
Pada tulisan ini
Penulis tidak akan membahas lebih lanjut mengenai syarat sahnya suatu
perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 BW, melainkan pilihan hukum
yang dipakai bagi para pihak seandainya terjadi perbedaan penafsiran atas
perjanjian atau perselisihan. Pada dasarnya perjanjian berada dalam lingkup
keperdataan oleh karena setiap perselisihan dalam hubungan keperdataan harus
diselesaikan dalam ruang lingkup hukum acara perdata. Oleh karena itu sesuai
dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka Pengadilan
Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
pidana dan perdata di tingkat pertama.
Ada pendapat bahwa
tidak semua hubungan keperdataan dalam penyelesaian perselisihannya harus
dilaksanakan melalui peradilan umum, namun juga diselesaikan oleh suatu badan
peradilan atau yang dipersamakan lainnya. Keberadaan peradilan umum (baca:
peradilan perdata) bertujuan menyelesaikan sengketa yang
timbul di antara anggota masyarakat dengan berbagai macam ragam persoalan mulai
dari perceraian, pailit, penyalahgunaan wewenang, hak milik, wanprestasi hingga
perbuatan melawan hukum. Timbulnya keragaman persoalan dimasyarakat menimbulkan
permasalahan mengenai kewenangan dalam mengadili perkara-perkara dimaksud (yuridiction)
atau kompetensi.
Sesuai dengan asas
yang berlaku maka setiap penyelesaian sengketa harus dimulai dari tingkat yang
lebih rendah sampai pada tingkat yang lebih tinggi. Hal ini tentu tidak menjadi
persoalan karena begitula hakikatnya. Namun persoalannya terletak pada faktor
pembagian yuridiksi yang melahirkan kewenangan absolutnya. Selain itu juga ada
pula faktor kewenangan khusus yang diberikan undang-undang kepada badan extra
judicial, seperti
abritase
dan penyelesaian hubungan industrial.
Terkait hubungan
keperdataan antara dosen dengan yayasan, maka terlebih dahul kita menguraikan
kedudukan keduanya. Menurut Pasal 63 ayat (3) Undang-Undang tentang Guru dan
Dosen jo Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tenrtang Pendidikan Tinggi dinyatakan bahwa pengangkatan
dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan
masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan
tinggi yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan bersama.
Berdasarkan hal tersebut kendati hubungan hukum antara para
pihak yakni dosen dengan penyelenggara pendidikan dalam bentuk perjanjian kerja
yang pada hakikatnya memiliki kedudukan yang sama dalam perikatan, namun yang
membedakan adalah hak dan kewajiaban masing-masing pihak. Terkait berkenaan
dengan frasa” pengangkatan dan penempatan” apabila ditafsirkan secara
gramatikal, maka terdapat unsur “perintah” didalamnya atau dengan kata lain
bentuk pelimpahan kewenangan. Berdasarkan hal tersebut maka kedudukan dosen
terkesan tidak setara dengan badan penyelenggara dimana hubungan hukum yang
dilahirkannya dalam bentuk “pemberian pekerjaan”. Dalam lingkup pemberian
pekerjaan maka akan muncul istilah pemberi kerja dan penerima kerja (baca:
pekerja).
Berdasarkan hal
tersebut antara dosen dengan badan penyelenggara pendidikan jika dihubungkan
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat
hubungan kerja yakni antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan
perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah sebagaimana
dimaksud pada Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi dan Pasal 63 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Dalam hal ini dosen yang berkerja menerima upah dari
pemberi kerja adalah pekerja sebagaimana Pasal 70 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Dalam hal kedudukan
yayasan, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, maka yayasan
merupakan suatu badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Pemberi kerja adalah
perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang
memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Dimana yayasan dapat dikategorikan sebagai pemberi kerja atau dengan kata
lain adalah Perusahaan sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6
huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yakni :
Perusahaan
adalah Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan bentuk lain.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka kedudukan dosen dengan yayasan merupakan ranah hukum
privat (keperdataan) yang seyogyanya dalam aspek yuridis memiliki kedudukan
hukum yang sama, namun dalam aspek sosiologis hukum ternyata kedudukan dosen
tidak sederajat. Oleh karenanya adalah kewajiban pemerintah untuk campurtangan
dalam mengatur dan melindungi pekerja (dosen swasta) dari tindakan semena-mena
yayasan dalam pelaksanaan perjanjian kerja maupun pemutusan hubungan kerja.
Tindakan pemerintah dalam
perkembangannya tidak lagi semata-mata dalam ruang lingkup (privaterechtelijke)
namun juga menjadi bagian ruang lingkup publik (publikrechtelijke).[4]
Oleh karena campur
tangan pemerintah didalam ranah hukum privat, maka dalam hal prosedural
pembentukan hubungan kerja antara kedua belah pihak juga berpedoman kepada
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2004 , Undang-Undang Nomor 14 Tahun Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta
peraturan perundang-undang lainnya, walaupun didalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW) Pasal 1320 menjelaskan
bahwa para pihak diberikan kebebasan untuk membuat perjanjian sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.
2. Penyelesaian
Perselisihan antara Dosen dengan Yayasan
Telah diuraikan
sebelumnya bahwa kedudukan Dosen dengan Yayasan dalam hubungan kerja atas
perjanjian kerja yang dilahirkan merupakan ranah hukum privat, namun apabila
ditelaah lebih lanjut dengan mempersandingkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka hubungan kerja yang dilahirkan antara dosen dengan yayasan berada
dalam lingkup ketenagakerjaan. Hal ini ditandai adanya unsur pemberian kerja,
upah dan bentuk yayasan yang berupa badan hukum yang memiliki ciri-ciri sebagai
suatu perusahaan. Sehingga hubungan kerja antara dosen dan yayasan dalam
pelaksanaan pekerjaan tunduk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Bahwa pemutusan
hubungan kerja (pemecatan) yang dilakukan oleh Yayasan terhadap Dosen sebagai
pekerjanya, jika dikaitkan dengan UU tentang Guru dan Dosen harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 67 dan 75. Dimana didalam undang-undang
ini Pemerintah memberikan perlindungan terhadap dosen dalam pelaksanaan tugas
yang meliputi salah satunya perlindungan Dosen. Pelaksanaan tugas dosen sebagai
tenaga profesional harus dilindungi meliputi pemutusan hubungan kerja yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak
wajar dan hal lainnya.
UU tentang Ketenagakerjaan
pun,memberikan batasan perusahaan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja,
dimana pemutusan hubungan kerja adalah upaya terakhir bagi perusahaan untuk
mengakhiri hubungan kerja yang terlebih dahulu harus melewati perundingan
antara pekerja dengan pengusaha. Dalam hal perundingan tersebut tidak tercapai
atau menghasilkan persetujuan, maka pengusaha hanya dapat memutus hubunga kerja
setelah mendapat penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Pemutusan hubungan
kerja apabila bila dilihat dari Undang-Undang tentang Tenaga Kerja adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/ buruh dan pengusaha[5]. Dari defenisi yang
diberikan undang-undang tersebut, maka pemutusan hubungan kerja ada apabila
diawali dengan adanya hubungan kerja sehingga pemutusan hubungan kerja (PHK)
tidak mungkin dilakukan tanpa adanya hubungan kerja. Hubungan kerja adalah
hubungan pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah dan perintah.
Dengan demikian pada
hakikatnya pemutusan hubungan kerja antara dosen dan karyawan jika dilihat
sudut pandang keperdataan, mirip dengan pembatalan perjanjian sebagaimana yang
diatur kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Pengertian pembatalan disini
bukanlah pembatalan karena tidak memenuhi syarat subjektif dalam perjanjian
akan tetapi karena salah satu pihak telah melakukan wanprestasi. Jadi
pembatalan tersebut adalah pembatalan
sebagai salah satu kemungkinan yang dituntut oleh salah satu pihak dalam
perjanjian kerja kepada pihak lain sebagai konsekuensi adanya wanprestasi. Hal
ini menurut sebagaian ahli diistilahkan dengan “pemutusan perjanjian”.
Pembatalan perjanjian atau pemutusan perjanjian sebagaiman
dimaksud dalam perkembangannya dituangkan dalam bentuk asas syarat batal
seperti yang tercantum dalam Pasal 1266 BW[6]. Dimana syarat batal
dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian , mana kala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajiban. Pembatalan tersebut dimintakan kepada hakim[7].
Sebagaimana yang
telah diuraikan diatas sebelumnya maka dalam melakukan pemutusan hubungan kerja
harus melewati prosedural dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang yang berlaku berkenaan dengan ketenagakerjaan. Oleh karena itu
maka perselisihan antara dosen dengan yayasan wajib diselesaikan oleh Lembaga
Perselisihan Perburuhan yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrila (PPHI). Dimana salah satu bentuk
perselisihan tersebut dalam bentuk perselisihan pemutusan hubungan kerja .
C.
PENUTUP
Berdasarkan
pembahasan diatas, maka dapat disimpulukan sebagai berikut :
1.
Bahwa hubungan kerja yang dilahirkan
dari perjanjian antara dosen dengan yayasan tidak hanya berada dalam ranah hukum
privat (privat rechtelijke) tetapi juga berada dalam ranah hukum publik. Hal
ini disebabkan kedudukan hukum yayasan sebagai badan hukum penyelengara
pendidikan mirip dengan organ perusahaan.
2.
Bahwa hubungan kerja antara dosen dan
yayasan juga mengandung prinsip pemberian pekerjaan dan perintah sebagaimana
konsep yang dianut dalam hubungan kerja dalam ketenagakerjaan.
3.
Mengingat hubungan kerja tersebut
berada dalam ranah hukum publik (publik rechtelijke) dalam hukum
ketenagakerjaan, maka penyelesaiannya dilaksanakan menurut ketentuan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yakni
melalui mekanisme Bipartit, Mediasi atau Arbitrase dan Pengadilan Hubungan
Industrial.
4.
Bahwa dalam perspektif penemuan hukum,
maka terdapat interprestasi mengenai perikatan yang dilahirkan sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yakni melalui perjanjian
yang sebelumnya dalam ranah hukum privat diselesaikan dalam kompetensi atau
yuridiksi peradilan umum (perdata) namun bergeser dalam lapangan hukum publik
(ketenagakerjaan) yakni kompetensi atau yuridiksi peradilan hubungan
industrial.
5.
Bahwa penafsiran konsep organ yayasan
sebagai badan hukum privat dengan keluarnya Undang-Undang tentang Yayasan
dipersamakan dengan perusahaan dalam hukum ketenagakerjaan.
D.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-Buku
Prof.
Subekti, SH, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979.
R. Setiawan. SH, Pokok-pokok Hukum
Perikatan, Bina Cipta, 1977.
Riduan
Syahrani,SH, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bndung, 1982.
M.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005
2. Perundang-undangan
___________,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan .
___________, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
___________,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
___________,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
___________,
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.
3. Putusan
Putusan Mahkamah
Agung Nomor : 222 K/PDT.SUS/2009 antara Adang Supria (Pemohon Kasasi) dengan
Yayasan Bina Mandiri (Termohon Kasasi)
Dosen dapat diberhentikan
tidak dengan hormat karena : a) melanggar sumpah dan janji jabatan. b)
melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. 3) melalaikan
kewajiban dalama menjalankan tigas selama 1 bulan atau lebih secara terus-menerus.
Pasal 68 ayat (1) : Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
67 ayat (2) dapat dilakukan setelah dosen yang berngkutan diberi kesempatan untuk
membela diri.
[4] Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor :
222 K/PDT.SUS/2009 antara Adang Supria (Pemohon Kasasi) dengan Yayasan Bina
Mandiri (Termohon Kasasi)
[6] R.
Setiawan. SH, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, 1977, p.5
ulasan sangat bagus mas, saya suka. pertanyaannya adalah bagaimana jika kedudukan pemberi adalah antara dosen dengan Perguruan Tinggi (bukan yayasan). Apakah penyelesaian perselisihan terjadi PHK tetap mengacu UU Ketenagakerjaan ataukah UU Guru dan dosen?
ReplyDeletetrims
terima kasih, mas...pada prinsipnya sebagaimana dalam penelitian singkat dan sederhana yag saya lakukan, konteks hubungan hukum antara dosen dengan badan penyelenggara perguruan tinggi awalnya diikat dan dibentuk berdasarkan perjanjian kerja yang masuk dalam ranah hukum privat, namun kemudian bergeser pada hukum publik yang oleh karenanya Peradilan Hubungan Industrial memiliki kompetensi mengadili perselisihan yang terjadi diantara keduanya (pemutusan hubungan kerja)...namun pada suatu kasus ternyata ada pula lemabaga peradilan lain yang ternyata memiliki kompetensi untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi dan ini saya temukan dalam berbagai putusan pengadilan, dimana Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kewenangan untuk memutus perkara terkait Keputusan Rektor tentang pemberhentian dosen.. dalam salah satu pertimbangannya kurang lebih : kendati pada prinsip perjanjian kerja dibuat seharusnya oleh badan penyelenggara (yayasan) namun sepanjang yayasan telah mendelegasikan wewenangnya kepada pimpinan perguruan tinggi (rektor) , dimana rektor dianggap perpanjangan tangan dari pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab dalam penyelenggaran perguruan tinggi. Rektor diangkat berdasarkan persetujuan menteri sehingga dianggap sebagai pejabat tata usaha negara...Oleh karenanya kompetensi peradilan juga tergantung dari formalitas dan substasi yang diperselisihkan...demikian terima kasih
Delete