Analisa kasus tentang Kedudukan Dosen dalam Ketenagakerjaan dalam Perspektif Penemuan Hukum

Analisa kasus tentang Kedudukan Dosen dalam Ketenagakerjaan
dalam  Perspektif Penemuan Hukum
Oleh :
M. Rezha Fahlevie, SH
(Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas , NIM : 1320112037)

A.        PENDAHULUAN

Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki tujuan sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yakni “…melindungii segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang.[1]

Bahwa kemudian konkritasi dan perwujudan cita-cita bangsa tersebut dilahirkan dalam suatu sistem yang dinamakan Sistem Pendidikan Nasional. Dengan sistim pendidikan nasional diharapkan seluruh komponen pendidikan dapat saling berkesinambungan secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Salah satu komponen sistim pendidikan nasional  tersebut meliputi komponen kelembagaan dan pengelolaan pendidikan.

Penyelenggaraan Pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasionall  yang tidak lepas dari peran serta masyarakat terutama dalam pengelolaannya, dimana Perguruan Tinggi dapat didirikan oleh masyarakat  dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum yang berprinsip nirlaba. Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud  dapat berbentuk yayasan, perkumpulan dan bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi, maka komponen dasarnya adalah ketenagaan perguruan tinggi yang terdiri atas : dosen dan tenaga pendidikan. Dimana dosen dan tenaga kependidikan diangkat dan ditempatkan  oleh Pemerintah atau badan penyelenggara.

Sementara itu satu hal penting yang harus dicermati adalah dosen dan tenaga kependidikan yang diangkat dan ditempatkan oleh badan penyelenggara dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan hal tersebut, maka antara dosen maupun tenaga kependidikan memiliki hubungan keperdataan dengan badan penyelenggara akibatnya adanya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sebagaimana yang diatur dalam  Pasal 1313 Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), yakni  Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Mengingat keduanya telah terikat dalam suatu perjanjian maka kedua pihak secara suka rela wajib untuk melaksanakan perjanjian dengan sungguh-sungguh dan itikad baik.

Kendati jika dikemudian  hari terjadi perselisihan antara dosen maupun dengan badan penyelenggara, apabila dikaitkan hubungan keperdataannya yang berada dalam ranah hukum privat, namun negara tidak serta merta kemudian tidak melindungi hak-hak dari dosen maupun tenaga kependidikan. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan beberapa syarat  dan prosedural seorang dosen dapat diberhentikan dari jabatannya sebagai seorang dosen[2].

Dalam perspektif ketenagakerjaan, adanya pendapat yang menyatakan bahwa dosen maupun tenaga pendidikan yang diangkat oleh badan penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta dilihat dalam hal perselisihan dan pemutusan hubungan kerja adalah dalam ranah hubungan ketenagakerjaan yakni antara pemberi kerja dengan pekerja (dosen) sebagaimana menurut Undang-Undang  Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini didasarkan pada pendapat dan presepsi bahwa secara substantif Undang-Undang  Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan jenis usaha seperti yayasan dan lembaga pendidikan masuk dalam pengertian perusahaan dan pengusaha.

Berkaca pada sebuah kasus yang terjadi belakangan ini, yakni adanya pemecatan terhadap seorang dosen pada Perguruan Tinggi Swasta  oleh yayasan yang menaunginya diluar jam kerja , maka Penulis tertarik untuk melakukan analisa tentang kedudukan dosen yang diangkat oleh badan penyelenggara yang berbentuk yayasan  dan penyelesaian perselisihan dalam hukum ketenagakerjaan dalam perspektif penemuan hukum.


B.        PEMBAHASAN

1.    Kedudukan hukum antara Dosen dengan Yayasan.
Berdasarkan  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, maka dosen merupakan ketenagaan perguruan tinggi yang pengangkatan dan penempatannya oleh badan penyelenggara yang dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila kita lihat secara sepintas, maka hubungan hukum antara dosen dengan badan penyelenggara lahir akibat perjanjian kerja dan kesepakatan kerja. Pada hakikatnya setiap orang bebas untuk membuat kontrak atau perjanjian yang berisi apapaun asal tidak bertenangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum hal ini dinamakan sebagai asas kebebasan berkontrak[3]. Asas Kebebasan berkontrak tersebut diatur dalam Pasal 1320 BW yang berarti orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur sendiri dalam Buku ke-III BW, tetapi diatur sendiri dalam perjanjian, sebab perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

Pada tulisan ini Penulis tidak akan membahas lebih lanjut mengenai syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 BW, melainkan pilihan hukum yang dipakai bagi para pihak seandainya terjadi perbedaan penafsiran atas perjanjian atau perselisihan. Pada dasarnya perjanjian berada dalam lingkup keperdataan oleh karena setiap perselisihan dalam hubungan keperdataan harus diselesaikan dalam ruang lingkup hukum acara perdata. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.
Ada pendapat bahwa tidak semua hubungan keperdataan dalam penyelesaian perselisihannya harus dilaksanakan melalui peradilan umum, namun juga diselesaikan oleh suatu badan peradilan atau yang dipersamakan lainnya. Keberadaan peradilan umum (baca: peradilan perdata) bertujuan menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat dengan berbagai macam ragam persoalan mulai dari perceraian, pailit, penyalahgunaan wewenang, hak milik, wanprestasi hingga perbuatan melawan hukum. Timbulnya keragaman persoalan dimasyarakat menimbulkan permasalahan mengenai kewenangan dalam mengadili perkara-perkara dimaksud (yuridiction) atau kompetensi.

Sesuai dengan asas yang berlaku maka setiap penyelesaian sengketa harus dimulai dari tingkat yang lebih rendah sampai pada tingkat yang lebih tinggi. Hal ini tentu tidak menjadi persoalan karena begitula hakikatnya. Namun persoalannya terletak pada faktor pembagian yuridiksi yang melahirkan kewenangan absolutnya. Selain itu juga ada pula faktor kewenangan khusus yang diberikan undang-undang kepada badan extra judicial, seperti abritase dan penyelesaian hubungan industrial.

Terkait hubungan keperdataan antara dosen dengan yayasan, maka terlebih dahul kita menguraikan kedudukan keduanya. Menurut Pasal 63 ayat (3) Undang-Undang tentang Guru dan Dosen jo Pasal 69 ayat (2)  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tenrtang Pendidikan Tinggi dinyatakan bahwa pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan bersama.

Berdasarkan hal tersebut kendati hubungan hukum antara para pihak yakni dosen dengan penyelenggara pendidikan dalam bentuk perjanjian kerja yang pada hakikatnya memiliki kedudukan yang sama dalam perikatan, namun yang membedakan adalah hak dan kewajiaban masing-masing pihak. Terkait berkenaan dengan frasa” pengangkatan dan penempatan” apabila ditafsirkan secara gramatikal, maka terdapat unsur “perintah” didalamnya atau dengan kata lain bentuk pelimpahan kewenangan. Berdasarkan hal tersebut maka kedudukan dosen terkesan tidak setara dengan badan penyelenggara dimana hubungan hukum yang dilahirkannya dalam bentuk “pemberian pekerjaan”. Dalam lingkup pemberian pekerjaan maka akan muncul istilah pemberi kerja dan penerima kerja (baca: pekerja).
Berdasarkan hal tersebut antara dosen dengan badan penyelenggara pendidikan jika dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat hubungan kerja yakni antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah sebagaimana dimaksud pada Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Pasal 63 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam hal ini dosen yang berkerja menerima upah dari pemberi kerja adalah pekerja sebagaimana Pasal 70 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Dalam hal kedudukan yayasan, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, maka yayasan merupakan suatu badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.

Menurut  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemberi kerja  adalah perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dimana yayasan dapat dikategorikan sebagai pemberi kerja atau dengan kata lain adalah Perusahaan sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yakni :
Perusahaan adalah Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan bentuk lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kedudukan dosen dengan yayasan merupakan ranah hukum privat (keperdataan) yang seyogyanya dalam aspek yuridis memiliki kedudukan hukum yang sama, namun dalam aspek sosiologis hukum ternyata kedudukan dosen tidak sederajat. Oleh karenanya adalah kewajiban pemerintah untuk campurtangan dalam mengatur dan melindungi pekerja (dosen swasta) dari tindakan semena-mena yayasan dalam pelaksanaan perjanjian kerja maupun pemutusan hubungan kerja. Tindakan pemerintah  dalam perkembangannya tidak lagi semata-mata dalam ruang lingkup (privaterechtelijke) namun juga menjadi bagian ruang lingkup publik (publikrechtelijke).[4]

Oleh karena campur tangan pemerintah didalam ranah hukum privat, maka dalam hal prosedural pembentukan hubungan kerja antara kedua belah pihak juga berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 , Undang-Undang Nomor 14 Tahun Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta peraturan perundang-undang lainnya, walaupun didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Pasal 1320  menjelaskan bahwa para pihak diberikan kebebasan untuk membuat perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.

2.    Penyelesaian Perselisihan antara Dosen dengan Yayasan

Telah diuraikan sebelumnya bahwa kedudukan Dosen dengan Yayasan dalam hubungan kerja atas perjanjian kerja yang dilahirkan merupakan ranah hukum privat, namun apabila ditelaah lebih lanjut dengan mempersandingkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka hubungan kerja yang dilahirkan antara dosen dengan yayasan berada dalam lingkup ketenagakerjaan. Hal ini ditandai adanya unsur pemberian kerja, upah dan bentuk yayasan yang berupa badan hukum yang memiliki ciri-ciri sebagai suatu perusahaan. Sehingga hubungan kerja antara dosen dan yayasan dalam pelaksanaan pekerjaan tunduk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Bahwa pemutusan hubungan kerja (pemecatan) yang dilakukan oleh Yayasan terhadap Dosen sebagai pekerjanya, jika dikaitkan dengan UU tentang Guru dan Dosen harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 67 dan 75. Dimana didalam undang-undang ini Pemerintah memberikan perlindungan terhadap dosen dalam pelaksanaan tugas yang meliputi salah satunya perlindungan Dosen. Pelaksanaan tugas dosen sebagai tenaga profesional harus dilindungi meliputi pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar dan hal lainnya.

UU tentang Ketenagakerjaan pun,memberikan batasan perusahaan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja, dimana pemutusan hubungan kerja adalah upaya terakhir bagi perusahaan untuk mengakhiri hubungan kerja yang terlebih dahulu harus melewati perundingan antara pekerja dengan pengusaha. Dalam hal perundingan tersebut tidak tercapai atau menghasilkan persetujuan, maka pengusaha hanya dapat memutus hubunga kerja setelah mendapat penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pemutusan hubungan kerja apabila bila dilihat dari Undang-Undang tentang Tenaga Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/ buruh dan pengusaha[5]. Dari defenisi yang diberikan undang-undang tersebut, maka pemutusan hubungan kerja ada apabila diawali dengan adanya hubungan kerja sehingga pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak mungkin dilakukan tanpa adanya hubungan kerja. Hubungan kerja adalah hubungan pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.

Dengan demikian pada hakikatnya pemutusan hubungan kerja antara dosen dan karyawan jika dilihat sudut pandang keperdataan, mirip dengan pembatalan perjanjian sebagaimana yang diatur kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Pengertian pembatalan disini bukanlah pembatalan karena tidak memenuhi syarat subjektif dalam perjanjian akan tetapi karena salah satu pihak telah melakukan wanprestasi. Jadi pembatalan tersebut  adalah pembatalan sebagai salah satu kemungkinan yang dituntut oleh salah satu pihak dalam perjanjian kerja kepada pihak lain sebagai konsekuensi adanya wanprestasi. Hal ini menurut sebagaian ahli diistilahkan dengan “pemutusan perjanjian”.

Pembatalan perjanjian atau pemutusan perjanjian sebagaiman dimaksud dalam perkembangannya dituangkan dalam bentuk asas syarat batal seperti yang tercantum dalam Pasal 1266 BW[6]. Dimana syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian , mana kala salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban. Pembatalan tersebut dimintakan kepada hakim[7].

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas sebelumnya maka dalam melakukan pemutusan hubungan kerja harus melewati prosedural dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang yang berlaku berkenaan dengan ketenagakerjaan. Oleh karena itu maka perselisihan antara dosen dengan yayasan wajib diselesaikan oleh Lembaga Perselisihan Perburuhan yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrila (PPHI). Dimana salah satu bentuk perselisihan tersebut dalam bentuk perselisihan pemutusan hubungan kerja .


C.        PENUTUP

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulukan sebagai berikut :
1.         Bahwa hubungan kerja yang dilahirkan dari perjanjian antara dosen dengan yayasan tidak hanya berada dalam ranah hukum privat (privat rechtelijke) tetapi juga berada dalam ranah hukum publik. Hal ini disebabkan kedudukan hukum yayasan sebagai badan hukum penyelengara pendidikan mirip dengan organ perusahaan.

2.         Bahwa hubungan kerja antara dosen dan yayasan juga mengandung prinsip pemberian pekerjaan dan perintah sebagaimana konsep yang dianut dalam hubungan kerja dalam ketenagakerjaan.

3.         Mengingat hubungan kerja tersebut berada dalam ranah hukum publik (publik rechtelijke) dalam hukum ketenagakerjaan, maka penyelesaiannya dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yakni melalui mekanisme Bipartit, Mediasi atau Arbitrase dan Pengadilan Hubungan Industrial.

4.         Bahwa dalam perspektif penemuan hukum, maka terdapat interprestasi mengenai perikatan yang dilahirkan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yakni melalui perjanjian yang sebelumnya dalam ranah hukum privat diselesaikan dalam kompetensi atau yuridiksi peradilan umum (perdata) namun bergeser dalam lapangan hukum publik (ketenagakerjaan) yakni kompetensi atau yuridiksi peradilan hubungan industrial.

5.        Bahwa penafsiran konsep organ yayasan sebagai badan hukum privat dengan keluarnya Undang-Undang tentang Yayasan dipersamakan dengan perusahaan dalam hukum ketenagakerjaan.


D.           DAFTAR PUSTAKA

1.     Buku-Buku
       Prof. Subekti, SH, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979.
       R. Setiawan. SH, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, 1977.
Riduan Syahrani,SH, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bndung, 1982.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005


2.      Perundang-undangan
___________, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan .
___________, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
___________, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
___________, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
___________, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.

3.      Putusan
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 222 K/PDT.SUS/2009 antara Adang Supria (Pemohon Kasasi) dengan Yayasan Bina Mandiri (Termohon Kasasi)


[1] 1Lihat penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20012 tentang Pendidikan Tinggi.
[2]   lihat Pasal 67 ayat (2) Undang-undang 15 Tahun 2005 tentang Dosen.
 Dosen dapat diberhentikan tidak dengan hormat karena : a) melanggar sumpah dan janji jabatan. b) melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. 3) melalaikan kewajiban dalama menjalankan tigas selama 1 bulan atau lebih secara terus-menerus.
Pasal 68 ayat (1) : Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dapat dilakukan setelah dosen yang berngkutan diberi kesempatan untuk membela diri.

[3] Prof. Subekti, SH, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979, hal 13

[4] Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor : 222 K/PDT.SUS/2009 antara Adang Supria (Pemohon Kasasi) dengan Yayasan Bina Mandiri (Termohon Kasasi)


[5] Lihat Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Ketenagakerjaan
[6] R. Setiawan. SH, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, 1977, p.5
[7] Bandingkan dengan  Pasal 152 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Comments

  1. ulasan sangat bagus mas, saya suka. pertanyaannya adalah bagaimana jika kedudukan pemberi adalah antara dosen dengan Perguruan Tinggi (bukan yayasan). Apakah penyelesaian perselisihan terjadi PHK tetap mengacu UU Ketenagakerjaan ataukah UU Guru dan dosen?
    trims

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih, mas...pada prinsipnya sebagaimana dalam penelitian singkat dan sederhana yag saya lakukan, konteks hubungan hukum antara dosen dengan badan penyelenggara perguruan tinggi awalnya diikat dan dibentuk berdasarkan perjanjian kerja yang masuk dalam ranah hukum privat, namun kemudian bergeser pada hukum publik yang oleh karenanya Peradilan Hubungan Industrial memiliki kompetensi mengadili perselisihan yang terjadi diantara keduanya (pemutusan hubungan kerja)...namun pada suatu kasus ternyata ada pula lemabaga peradilan lain yang ternyata memiliki kompetensi untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi dan ini saya temukan dalam berbagai putusan pengadilan, dimana Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kewenangan untuk memutus perkara terkait Keputusan Rektor tentang pemberhentian dosen.. dalam salah satu pertimbangannya kurang lebih : kendati pada prinsip perjanjian kerja dibuat seharusnya oleh badan penyelenggara (yayasan) namun sepanjang yayasan telah mendelegasikan wewenangnya kepada pimpinan perguruan tinggi (rektor) , dimana rektor dianggap perpanjangan tangan dari pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab dalam penyelenggaran perguruan tinggi. Rektor diangkat berdasarkan persetujuan menteri sehingga dianggap sebagai pejabat tata usaha negara...Oleh karenanya kompetensi peradilan juga tergantung dari formalitas dan substasi yang diperselisihkan...demikian terima kasih

      Delete

Post a Comment

Popular Posts