PENGESAHAN UNDANG-UNDANG TANPA TANDA TANGAN PRESIDEN
“PENGESAHAN UNDANG-UNDANG TANPA TANDA TANGAN PRESIDEN“
Oleh :
M. REZHA FAHLEVIE
(Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas
Hukum Univ. Andalas, NIM. 1320112037)
A.
PENDAHULUAN
Amandemen Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 (UUD 1945) pada Pasal 5 dan
Pasal 20 telah merubah tatanan kekuasaan lembaga negara di Indonesia, terutama
lembaga eksekutif dan legislatif.
Sebelumnya Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945, tindakan dan fungsi
legislatif didominasi oleh Presiden sebagai representasi dari kekuasaan
eksekutif. Dimana presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang,
sedangkan DPR sebagai representasi kekuasaan legislatif justru hanya berfungsi
sebagai lembaga yang memberikan persetujuan atas pembentukan undang-undang.
Namun pasca perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, meneguhkan kedudukan dan
peranan DPRD sebagai lembaga legislatif yang memegang kekuasan legislatif
(membentuk undang-undang) sebagaimana tercantum pada pasal 20 ayat (1) hasil
perubahan pertama, dan presiden yang memegang kekuasaan eksekutif (menjalankan
undang-undang) tetap diberi hak untuk mengajukan rancangan undang-undang (RUU)
kepada DPR.[1]
Perubahan ini memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang
semula berada ditangan presiden, beralih ke tangan DPR. Pemberdayaan DPR tidak
menyebabkan DPR lebih kuat dibandingkan presiden karena kedua lembaga tersebut
berada dalam kedudukan yang seimbang/ setara.[2]
Menurut Saldi Isra, perubahan UUD 1945 yang berlangsung pada tahun 1999,
sebagai upaya memurnikan sistem pemerintahan presidensial, dimana perubahan
dimaksud tidak hanya berhenti pada
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, tetapi juga
pada pasal 20 ayat (1), dimana ”DPR memegang kekuasan membentuk undang-undang”.[3]
Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang, yang sebelumnya ditangan
presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah konstitsuional untuk
meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya
masing-masing, yakni DPR sebagai pembentuk undang-undang (kekuasaan legislatif)
dan presiden sebagai pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif). Namun, UUD
1945 juga mengatur kekuasaan presiden di bidang legislatif, antara lain
ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan undang-undang (RUU) oleh DPR
dilakukan secara bersama-sama dengan presiden.
Besarnya kekuasaan legislasi yang bergeser ketangan DPR, ternyata tidak
sepenuhnya dominan, sebab hadirnya Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk
mendapat persetujaan bersama”. Selanjutnya Pasal 20 ayat (3) UUD 1945
ditegaskan, “jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan
bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan pada masa itu”, seolah-olah kekuasaan legislasi juga dijalankan oleh
presiden secara semu.
Makna persetujuan bersama diatas, merupakan bentuk keterlibatan presiden
dalam membentuk undang-undang. Lebih lanjut Bagir Manan mengemukakan bentuk
keterlibatan presiden dalam proses pembentukan undang-undang yakni :[4]
1)
Perancangan ;
2)
Pembahasan di DPR ;
3)
Pengesahan rancangan undang-undang ;
4)
Pemuatan dalam Lembaran Negara dan
Tambahan Lembaga Negara.
Menurut Saldi Isra, frasa “persetujuan bersama” yang terdapat dalam Pasal
20 ayat (2) UUD 1945 memberikan otoritas ganda dalam pembentukan undang-undang.
Otoritas ganda tersebut memunculkan tiga hal pokok, yaitu : (1) tidak akan
pernah ada undang-undang tanpa perstujuan bersama antara presiden dan DPR ; (2)
jika salah satu pihak (presiden dan DPR) tidak menyetujui, maka rancangan
undang-undang tersebut tidak dibolehkan lagi diajukan dalam masa persidangan
DPR saat itu ; dan (3) kewenangan persetujuan rancangan undang-undang menjadi
undang-undang merupakan otoritas bersama antara DPR dan Presiden.[5]
Berkaitan dengan hal di atas, fenomena yang menarik adalah persoalan
pembentukan undang-undang yang merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi
legislasi yakni lahirnya undang-undang yang telah melewati pembahasan bersama
antara DPR dan Presiden, namun tidak mendapat pengesahan oleh presiden.
Dari praktek yang terjadi paling tidak ada 4 (empat) undang-undang yang
lahir tanpa pengesahan presiden yakni pada masa Presiden Megawati Soekarno
Putri. Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang Nomo 25 Tahun Tahun 2002
tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan Riau, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokad dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran[6].
Kiranya menarik persoalan tersebut untuk dibahas, apakah praktik
ketatanegaraan kita membenarkan hal tersebut atau hal tersebut hanya merupakan fatsun politik saja serta bagaimana hak
presiden untuk menolak pengesahan undang-undang meskipun telah diadakan
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam hal ini oleh Menteri yang
telah diserahi tugas untuk membahas suatu rancangan undang-undang.
Berdasarkan
hal tersebut Penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut berkenaan “PENGESAHAN UNDANG-UNDANG TANPA TANDA
TANGAN PRESIDEN”
B.
PEMBAHASAN
1.
Pembentukan Undang-Undang
Secara umum untuk membahas persoalan diatas, kiranya terlebih dahulu kita
menilik bagaimana proses pembentukan undang-undang sesuai dengan amanat dan
ketentuan UUD 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan serta Tata Tertib DPR berkenaan dengan tata cara pembentukan
undang-undang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 UUD 1945
yang telah diamandemen, dinyatakan sebagai berikut :
(1)
Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang.
(2)
Setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama.
(3)
Jika rancangan undang-undang itu
tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4)
Presiden mengesahkan rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
(5)
Dalam hal rancangan undang-undang
yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu
30 hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Proses sebagaimana dimaksud merupakan
rangkaian dalam pembentukan undang-undang, dimana secara kontekstual kekuasaan
pembentukan undang-undang kearah legislatif
heavy. Sedangkan presiden dalam hal ini merupakan “mitra” DPR dalam rangka check and balance antara lembaga- lembaga negara, sebagaimana dianut
dalam paham Trias Politica ala
Monsteqiu kendati tidak sepenuhnya diadopsi.
Munculnya ide-ide konstitusionalisme, gagasan negara hukum (rechstaat dan
rule of law) pada dasarnya membatasi kekuasaan
pemerintah supaya tidak terlalu dominan.[7] Oleh
karenanya amandemen Pasal 20 UUD RI Tahun 1945 sebagaimana dimaksud di atas
dimaksudkan untun memberdayakan DPR sebagai lembaga legislatif.
Meskipun kekuasaan pembentukan berada
ditangan DPR, namun peran presiden setelah amandemen UUD 1945 tidak dapat
dikesampingkan, sebab setiap rancangan undang-undang yang dibahas oleh DPR
harus mendapat persetujuan bersama dari Presiden. Jika
rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka rancangan undang-undang itu tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan pada masa itu.
Selanjutnya Presiden mengesahkan
rancangan undang-undang yang telah mendapat “persetujuan bersama” untuk
kemudian disahkan menjadi undang-undang. Apabila Presiden tidak mengesahkan
rancangan undang-undang tersebut, maka rancangan undang-undang sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan.
Bahwa secara
normatif, UUD 1945 tidak memberikan kewajiban bagi presiden untuk mengesahkan
rancangan undang-undang menjadi undang-undang sebab dalam Pasal 20 ayat (5) UUD
1945 memberikan makna bahwa presiden diberikan kewenangan konstitusi untuk
tidak mengesahkan suatu rancangan undang-undang tersebut meskipun telah
disetujui bersama dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak disetujui bersama,
melainkan ada kewajiban untuk diundangkan.
Berdasarkan hal tersebut, kiranya paling tidak ada 2 (dua) elemen dalam
pembentukan suatu undang-undang, yakni sebagai berikut :
a)
Persetujuan bersama
b)
Mengesahkan atau tidak mengesahkan
dan pengundangan.
2.
Makna Persetujuan Bersama
Telah diuraikan sebelumnya bahwa paling tidak ada 2 (dua) elemen dalam
pembentukan undang-undang, dimana Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan, Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.
Bahwa pada dasarnya “persetujuan bersama” merupakan muara dari
pembentukan undang-undang, sebab persetujuan bersama tersebut lahir dari proses
pembahasan suatu rancangan undang-undang yang melibatkan DPR dengan Presiden
ataupun menteri yang ditugasi oleh presiden.
Pasal 66 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan bahwa pembahasan rancangan undang-undang
dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan yakni
(1)
Pembicaraan Tingkat I yang dilaksanakan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi,
rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus dengan
kegiatan : pengantar
musyawarah ; pembahasan daftar
inventarisasi masalah; dan penyampaian pendapat mini.
(2)
Pembicaraan
Tingkat II yang dilaksanakan dalam Rapat Paripurna dengan kegiatan penyampaian
laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil
pembicaraan tingkat I; pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi
dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.
Bahwa dalam hal Rancangan Undang-Undang dari
Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. Surat Presiden
sebagaimana dimaksud memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden
dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR.
Pertanyaannya
persetujuan bersama manakah yang dikehendaki antara DPR dan Presiden dalam
pembentukan suatu undang-undang dalam proses sebagaimana dimaksud di atas?.
Apabila dilihat dari tahapan pembicaraan, maka pada prinsipnya persetujuan
bersama atau tidak tercapai persetujuan bersama sudah terlihat pada Pembicaraan
Tingkat I di DPR, dimana fraksi dan
presiden menyampaikan pendapat mininya berkenaan dengan rancangan undang-undang
yang dibahas.
Pada
Pembicaraan Tingkat II, menurut hemat penulis bagian formalitas acara
pengesahan proses pembicaraan Tingkat I saja, sebab dilaksanakan dihadapan
seluruh anggota DPR, berbeda halnya pada Pembicaraan Tk I yang dibahas hanya
pada rapat komisi atau pansus.
Jika
dilihat dari proses pada Pembicaraan Tingkat II, kiranya ada 2 (dua) unsur yang perlu dicermati : Pertama, adanya pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap
fraksi dan anggota secara lisan, dimana dalam hal tidak dicapai secara
musyawarah untuk mufakat maka dilaksanakan
pengambilan keputusan dengan suara terbanyak. Kedua, penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh
menteri yang ditugasi.
Oleh
karenanya ada beberapa kemungkinan yang terjadi pada proses dimaksud, yakni pertama, DPR memberikan persetujuan
lewat proses musyawarah, dan Presiden setuju. Kedua, DPR memberikan persetujuan lewat proses lewat suara
terbanyak dan Presiden setuju. Ketiga, DPR
menolak, sedangkan Presiden setuju. Keempat,
DPR setuju, namun Presiden menolak.
Kemungkinan
Ketiga dan Keempat, seharusnya sudah dapat terlihat pada Pembicaraan Tingkat
I, dimana seharusnya tidak perlu lagi ada pembicaraan Tingkat II. Oleh
karenanya rancangan undang-undang yang
diajukan tidak bisa diajukan lagi dalam persidangan masa itu sejak Pembicaraan
Tingkat I.
Namun
Pasal 69 UU Nomor 12 Tahun 2011, seakan-akan tidak memberikan penjelasan lebih
lanjut adanya persetujuan atau penolakan dari Presiden atas pembahasan
rancangan undang-undang. Kendati dalam ayat (3) dinyatakan adanya Rancangan Undang-Undang yang tidak
mendapat persetujuan bersama pada tahap Pembicaraan Tingkat II.
Suatu
rancangan undang-undang yang tidak mendapat persetujuan bersama, maka sudah
barang tentu tidak disahkan oleh presiden menjadi undang-undang.
Oleh
karenanya “persetujuan bersama” DPR dan
Presiden adalah mutlak bagi suatu rancangan undang-undang untuk menjadi
undang-undang.
3.
Pengesahan atau tidak Mengesahkan
Undang-Undang
Bahwa UUD 1945, tidak memberikan penjelasan proses
pengesahan rancangan undang-undang oleh presiden, meskipun konstitusi secara
eksplisit bahwa pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang oleh
Presiden bukanlah kewajiban konstitusional, melainkan hak konstitusional.
Lahirnya Pasal 20 ayat (5) dirumuskan karena adanya
kebutuhan untuk mencari solusi konstitusional apabila tidak dilakukan pengesahan
presiden atas sebuah rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
antara DPR dan Presiden sehingga tidak menentunya pengundangan RUU.[8]
Lebih lanjut Pasal 73 UU Nomor 12 Tahun 2011, mengatur
lebih lanjut bahwa pengesahan rancangan undang-undang tersebut adalah dengan
membubuhkan tanda tangan presiden dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
persetujuan bersama.
Bahwa dalam
presiden tidak berkenan untuk mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama menjadi undang-undang, maka kalimat pengesahannya berbunyi :
Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Psal 20 ayat (5) UUD
Negara RI Tahun 1945.
Bahwa fenomena adanya undang-undang tanpa tanda tangan
presiden bukan merupakan suatu hal yang konstitusional, sebab tidak ada
kewajiban atau keharusan presiden untuk mengesahkan rancangan undang-undang
menjadi undang-undang. Sebab rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama dengan serta merta secara resmi menjadi undang-undang setelah 30 (tiga
puluh) hari sejak disetujui bersama
menjadi sah menurut hukum dan menjadi hukum yang berlaku setelah diundangkan.
Oleh karenanya tidak ada keharusan presiden untuk mengesahkan rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama dengan cara menolak untuk tidak mengesahkan
karena UUD 1945 memungkin suatu rancangan undang-undang otomatis menjadi
undang-undang semenjak 30 hari persetujuan bersama, maka persoalan ini dapat
dibenarkan secara hukum dan bukan persolaan konstitusional atau
inskonstitusional, melainkan berada dalam tataran tata krama (fatsun) politik.
Hal tersebut ditandai dengan lahirnya persoalan suatu
rancangan undang-undang yang telah dietujui bersama, tetapi adanya keinginan
presiden menolak dengan cara tidak mengesahkan rancangan undang-undang.
Bahwa pada prinsipnya, kendati proses pembahasan rancangan
undang-undang tidak dihadiri secara langsung oleh Presiden, tetapi Presiden
telah menunjuk memberikan mandat kepada menterinya untuk mewakili pemerintah
dalam hal ini presiden untuk melakukan pembahasan. Bahwa kehadirin menteri
tersebut, haruslah dianggap mewakili seorang presiden selayaknya kepala negara.
Oleh karenanya sudah sepantasnya menjadi kewajiban moral presiden untuk
melaksanakan komitmen yang telah dibuatnya.
Adanya pembelaan oleh Presiden seakan-akan menghindari
tanggungjawabnya secara moral jika kelak terjadi persoalan dikemudian dari pelaksanaan undang-undang tersebut adalah
sikap yang egosentris oleh seorang kepala negara untuk lepas dari
tanggungjawabnya.
C.
KESIMPULAN
Berdasarkan Pembahasan diatas, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Bahwa dalam
rangka memberikan kepastian hukum bagi rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama, maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak disetujui
bersama, maka secara serta merta dapat menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan.
2.
Bahwa secara
ekplisit pengesahan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh
presiden bukan kewajiban konstitusi melainkan hak konstitusi untuk tidak
mengesahkan.
3.
Bahwa adanya
adanya undang-undang tanpa tanda tangan presiden dalam kerangka tata krama
(fatsun) politik seorang presiden yang menunjukkan ketidakkonsistenan presiden dalam pembentukan undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta, Gama
Media, 1999
Fajar Laksono, UU Tanpa Pengesahan Presiden, Jakarta,
Jurnal Konstitusi vol.3, Mahkamah Konstitusi RI, 2006
Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar
Demokrasi, Jakarta, Sinar Grafika, 2012
Majelis Permusyawaratan Rakyat
RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan
Ayat, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, Cetakan Ketiga : Juni 2007
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguatnya Model Legislasi Parlementer
Presidensial Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2010
.
[1]
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan
Ayat, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, Cetakan Ketiga : Juni 2007, halaman
53.
[2] Ibid,. Halaman 53.
[3]
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi
Legislasi : Menguatnya Model Legislasi Parlementer Presidensial Indonesia, Jakarta,
Rajawali Pers, 2010, Halaman 4.
[4]
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan,
Yogyakarta, Gama Media, 1999, Halaman 136-150.
[5]
Saldi Isra, Op.cit., Halaman
6.
[6] Fajar Laksono, UU Tanpa Pengesahan Presiden, Jakarta, Jurnal Konstitusi vol.3,
Mahkamah Konstitusi RI, 2006, Halaman 149
[7] Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, Sinar
Grafika, 2012, Halaman 4.
[8] Majelis MPR RI,. Op.cit, Halaman 88.
Comments
Post a Comment