Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 39/PUU-XI/2013 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang “Ultra Petita” dalam Penegakan Hukum yang Progresif dan Responsif dari aliran Positivisme kepada Legal Pluralisme
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 39/PUU-XI/2013 dalam perkara Pengujian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang “Ultra Petita”
dalam Penegakan Hukum yang Progresif dan Responsif dari aliran Positivisme
kepada Legal Pluralisme
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
|
Dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 ayat
(1), dinyatakan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup didalam masyarakat” [1],
sedangkan Pasal 10, dinyatakan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya” [2]. Hal tersebut menunjukan bahwa seorang hakim diberikan keleluasaan
untuk melakukan “menemukan hukum” terlepas bahwa defenisi para ahli yang
menyatakan bahwa menemukan hukum juga berarti menciptakan hukum (law maker), disisi lain sebagian para
ahli mendefenisikan bahwa menemukan hukum tidak sama dengan menciptakan hukum
sebagaimana dikutip dari pendapat Prof. Dr.
Sudikno Mertokusumo, S.H. “. Yang dimaksud dengan penemuan hukum atau yang
dalam bahasa asing dikenal dengan rechtsvinding
dan law making adalah
menemukannya hukum karena hukum itu tidak lengkap atau tidak jelas”.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Penemuan
hukum tidak sama dengan penciptaan hukum. Menemukan hukum berarti menemukan
hukum yang sudah ada, sedangkan menciptakan hukum berarti menciptakan suatu
(hukum) yang sebelumnya tidak ada. Hakim pada dasarnya dilarang menciptakan
hukum (undang-undang), bahkan menilai undang-undang saja dilarang. Tugas hakim
adalah menerapkan menemukan hukumnya. Memang bukan wewenangnya sebagai lembaga
yudikatif untuk menciptakan atau membentuk undang-undang. Walaupun hakim itu
pada dasarnya dilarang atau tidak menciptakan hukum namun tidak tertutup
kemungkinan dalam menemukan hukum, hakim yang tugasnya sehari-hari menemukan
hukum dalam memecahkan masalah hukum konkret, menciptakan hukum juga “ [3].
Kewenangan
dan keleluasaan seorang hakim dalam menemukan hukum memang lazim kita jumpai
dalam memeriksa, mengadili sampai pada memutus perkara. Namun terkadang dalam
melaksanakan kewenangannya tersebut dihadapkan pada suatu permasalahan ataupun
persengketaan yang jika ditilik belum atau tidak ada dasar hukumnya. Hal ini
disebabkan peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif) belum mampu
mengatur setiap perilaku dan gejala-gejala yang hidup dimasyarakat baik pada
suatu waktu tertentu maupun waktu yang akan datang.
Meskipun para
hakim dianggap tahu hukum (ius curianovit), sebenarnya para hakim itu
tidak mengetahui semua hukum, sebab hukum itu berbagai macam ragamnya, ada yang
tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Tetapi Hakim harus mengadili dengan
benar terhadap perkara yang diajukan kepadanya, ia tidak boleh menolak suatu
perkara dengan alasan hukum tidak ada atau belum jelas, melainkan ia wajib
mengadilinya. Sebagai penegak hukum ia wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat [4].
Apabila kita
berkaca pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Hakim, Pasal 5
ayat (1), maka hakim dalam hal ini tidak hanya hakim pada peradilan umum tetapi
juga hakim konstitusi. Lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagaimana diamanatkan
didalam konstitusi kita Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945, bahwa “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”
Eksistensi
Mahkamah Konstitusi ini lebih lanjut menurut Prof.Dr. Jimly Asshidiqie
diuraikan : “ Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan
sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional
ditengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan
menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen Negara
secara konsisten dan bertanggung jawab. Di tengan kelemahan sistem konstitusi
yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi
selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat” [5].
Secara tegas
kewenangan Mahkamah Konstitusi terlihat
pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yakni sebagai berikut :
(1)
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
Negara, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
(2)
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/
atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Lebih lanjut Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur
didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dimana
salah satunya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.[6]
Dalam prakteknya Hakim Konstitusi dalam
menjalankan wewenangnya untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar kerap kali melakukan
penafsiran dan interprestasi hukum yang merupakan bagian dari metode penemuan
hukum.
Berdasarkan berbagai literatur, maka terdapat
banyak dan macam-macam penafsiran dan interprestasi. Mengingat metode
penafsiran adalah alat bantu dalam menyimpulkan suatu hukum karenanya hakim
dalam putusannya tidak menjelaskan pertimbangan dan alasannya menggunakan suatu
metode hukum. Malahan terkadang hakim justru mencampuradukkan beberapa metode
penafsiran dalam putusannya.
Salah satu perkara pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar adalah perkara Nomor 39/PUU-XI/2013 tentang
permohonan uji materil (judicial review) terhadap Pasal 16 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Perkara dimaksud cukup menarik
untuk dianalisa mengingat Amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo
salah satunya memaknai frasa pada Pasal yang diuji yakni “Dalam hal anggota partai politik yang diberhentikan adalah anggota
lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan partai politik
diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, tidak mempunyai kekuatan
mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana dalam putusan perkara a quo.
Apabila diteliti maka Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Perkara a quo sedikit unik, sebab seyogyanya putusan Mahkamah Konstitusi
terdiri atas 3 (tiga) jenis, yakni tidak dapat menerima, mengabulkan atau
menolak.
Akibat lahirnya
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara a quo, maka tidak serta merta
pemberhentian sebagai anggota partai politik diikuti dengan pemberhentian
sebagai anggota dewan perwakilan rakyat, terutama yang disebabkan karena partai
politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu
atau kepengurusan partai politik tersebut sudah tidak ada lagi ; anggota DPR
atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik kembali oleh partai politik
yang mencalonkannya ; dan tidak terdapat lagi calon pengganti yang terdaftar
dalam daftar calon tetap dari partai yang mencalonkannya.
Sehubungan dengan keikusertaan beberapa anggota
DPRD dalam pemilihan calon DPRD Tahun 2014-2019, dimana keikutsertaannya tersebut haruslah berasal partai politik
peserta pemilu legislatif serta wajib memenuhi persyaratan sebagaimana
ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Perwakilan Rakyat Daerah. Maka
anggota DPRD yang bukan berasal dari partai politik peserta pemilu harus
mengundurkan diri sebagai anggota Partai politik dimana ia berasal untuk
kemudian pindah partai ke partai politik peserta pemilu legislatif tahun
2014-2019. Sehingga otomatis ia harus diberhentikan dari keanggotaan DPRD .
Pemberhentian seseorang dari keanggotaannya dari
partai politik diikuti dengan pemberhentiannya sebagai anggota DPRD harus
melalui mekanisme pemberhentian antar waktu sebagaimana ketentuan Pasal 383
ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Dimana menurut ketentuan Pasal 384 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009,
pemberhentian anggota DPRD diusulkan pimpinan partai politik kepada pimpinan
DPRD dengan tembusan kepada gubernur.
Kontroversi atas putusan Mahkamah Konstitusi
antara lain mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita, yaitu memberikan putusan
yang melebihi atau di luar permohonan yang diajukan oleh Pemohon [7].
Kontroversi dimaksud bukanlah tanpa sebab, mengigat tentunya Mahkamah
Konstitusi kemudian diperbolehkan untuk memutuskan pengujian pasal dari sebuah
Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya padahal pasal tersebut tidak
dipersoalkan oleh Pemohon.
Dalam perkara yang demikian Mahkamah Konstitusi
mencoba untuk mencari ruang hukum sebagai penerapan kepastian hukum sekaligus
pula memberikan keadilan yang substantif yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Hukum dalam kerangka kepastian hukum bukanlah sesuatu yang utama melainkan juga
harus mengkedepankan nilai-nilai keadilan. Oleh karenanya dalam pengujian konstitusionalitas
suatu undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi tidak hanya terpaku pada
pertimbangan konstitusional yang bersifat sempit, yaitu hanya memeriksa
pertentangan undang-undang dengan Undang-Undang Dasar 1945. Lebih dari itu,
Mahkamah Konstitusi juga harus merujuk pada pertimbangan konstitusional yang
bersifat luas, yaitu mempertimbangkan aspek lain yang relevan yang berada di
luar Undang-Undang Dasar 1945[8].
RUMUSAN
PERMASALAHAN
Berdasarkan
latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan
sebagai berikut :
(1)
Bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi yang “ultra
petita” dalam penegakan hukum yang progresif dan responsif ?
(2)
Bagaimana pergeseran paradigma pendekatan
positivistik menjadi legal pluralism ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sinopsis Pengujian
Pasal 16 Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011[9]
Pengujian
Pasal 16 ayat (3)UU tentang Partai Politik, dilakukan oleh Rahmad Budiansyah
Ritonga, G. Mayanto, Robert Simanjuntak, Gusman Effendi, S.P , H. Ahmad Husin
Situmorang, Rudi I.R Saragih, S.P,M.Si , Drs. Sutan Napsan Nasution, Iwan Sakti
, Effendi Sirait, Renjo Siregar, Parlon Sianturi yang kesemuanya adalah anggota
DPRD / Kota di Propinsi Sumatera Utara yang partainya tidak ikut serta dalam
Pemilu legislatif 2014 yang selanjutnya disebut dengan Pemohon.
Bahwa alasan
diajukannya permohonan tersebut yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik khusus Pasal
16 ayat (3) janggal karena tidak mengakomodir keberlanjutan tugas, fungsi serta
wewenang para Pemohon sebagai anggota Legislatif yang tidak dapat ikut serta
dalam Pemilu Tahun 2014, karena Pemohon terpaksa pindah partai politik disebabkan
partai Pemohon yang lama bukan lagi sebagai peserta Pemilu Legislatif tahun
2014.
Bahwa dalam
pokok permohonannya Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 16 ayat (3) UU Parpol telah
melanggar hak konstitusional para Pemohon yang dijamin Pasal 29 ayat (1), Pasal
27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) dan (3) UUD 1945, serta tidak mengakomodasi
keberlanjutan tugas, fungsi serta wewenang para Pemohon sebagai anggota
legislatif, karena Pemohon tidak dapat melaksanakan tugas pengabdian sebagai
wakil rakyat hingga akhir masa bakti tahun 2014. Pemohon terpaksa pindah partai
politik disebabkan partai politik Pemohon yang lama bukan lagi sebagai peserta
Pemilu legislatif tahun 2014, sementara para Pemohon masih ingin untuk menjadi
calon legislatif tahun 2014. Ketentuan Pasal 16 ayat (3) yang diberlakukan
secara umum tanpa memperhatikan latar belakang partai politik telah memperlakukan
secara sama terhadap hal yang berbeda. Menurut Pemohon seharusnya ketentuan
tersebut hanya dapat diberlakukan bagi anggota legislatif yang partai
politiknya sebagai peserta Pemilu tahun 2014, bukan kepada para Pemohon yang
partai politiknya tidak sebagai peserta Pemilu tahun 2014.
Berdasarkan hal tersebut, maka Mahkamah konstitusi
mempertimbangkan pokok permohonan sebagai berikut :
a)
Bahwa legitimasi politik dalam sebuah konfigurasi
harus dipertahankan, kecuali jika terjadi hal-hal yang menyebabkan harus
dilakukannya pergantian, karena pada prinsipnya tidak ada boleh kekosongan
keanggotaan DPR atau DPRD, karena kekosongan keanggotaan akan menghambat
terselenggara tugas negara.
Permasalahan hukum yang para Pemohon, yaitu
terjadinya perpindahan anggota partai politik yang juga merupakan anggota DPR
atau DPRD, untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR atau DPRD dari
partai politik lain pada periode Pemilu selanjutnya, yang berdasarkan ketentuan
Pasal 16 ayat (3) UU Parpol mengharuskan yang bersangkutan berhenti pula
sebagai anggota DPR atau DPRD, mengandung konsekuensi akan terjadinya
kekosongan sebagian anggota DPR atau DPRD.
b)
Prinsip pengisian kekosongan keanggotaan pada DPR
atau DPRD harus didasarkan pada partai politik sebagai peserta Pemilu
sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Pada dasarnya partai
politik adalah salah satu bentuk dan sarana bagi warga negara untuk memperjuangkan
haknya secara berkelompok demi kemajuan masyarakat, bangsa dan negaranya.
Setiap warga negara berhak mendirikan atau menjadi anggota suatu partai politik
dalam rangka memperjuangkan haknya. Hak konstitusional tersebut dijamin oleh
Pasal 28 UUD 1945. Bahwa konstitusi tidak
memberikan suatu pembatasan bahwa seseorang tidak boleh pindah menjadi anggota
partai politik lain atau bahkan pada saat yang bersamaan seseorang tidak boleh
menjadi anggota lebih dari satu partai politik. Oleh karena itu tidak ada kewajiban
konstitusional seorang warga negara untuk pindah menjadi anggota partai politik
lain atau memilih salah satu atau beberapa partai politik dalam waktu
bersamaan, sehingga tidak ada kewajiban konstitusional pula bagi seorang warga
negara untuk berhenti dari keanggotaan salah satu partai politik karena menjadi
anggota partai politik lain. Pada sisi lain, seseorang yang telah masuk dan
menyatakan kesediaan untuk menjadi anggota dari suatu partai politik mempunyai
kewajiban untuk tunduk dan mengikuti disiplin dan aturan internal partai
politik yang bersangkutan.
Menurut
Mahkamah Konstitusi meskipun peran partai politik dalam proses rekrutmen telah
selesai dengan dipilihnya calon anggota DPR atau DPRD oleh rakyat melalui
Pemilu, namun partai politik tetap memiliki hak dan kebebasan untuk melakukan
pemberhentian terhadap anggota sesuai dengan aturan internal partainya. Hak
demikian tidak dapat dipaksakan untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dalam
pemahaman yang demikianlah, makna Pasal 16 ayat (3) UU Parpol, dalam hal
seseorang telah diberhentikan dari anggota partai politiknya berhenti pula
keanggotaan yang bersangkutan mewakili partai tersebut di lembaga DPR atau
DPRD. Jika partai politik melakukan pemberhentian anggota karena yang
bersangkutan menjadi anggota partai politik lain, untuk selanjutnya partai
politik yang bersangkutan berhak melakukan penggantian antarwaktu sebagaimana
diatur dalam Pasal 12 huruf g UU Parpol. Hal ini juga berlaku apabila ada
anggota DPR atau DPRD yang mengundurkan diri, atau mangkat, maka mekanisme
penggantian antarwaktu anggota DPR atau DPRD merupakan hak dari parta politik
yang bersangkutan.
c)
Menimbang bahwa menurut Mahkamah mekanisme
penggantianantarwaktu memungkinkan dilakukan jika partai politik yang
bersangkutan masih memiliki calon anggota DPR atau DPRD dari partai politik
peserta Pemilu yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap sebagai pengganti. Jika
partai politik tersebut tidak lagi memiliki calon anggota DPR atau DPRD dalam
Daftar Calon Tetap sebagai pengganti, sedangkan anggota DPR atau DPRD yang
mewakili partai politik tersebut keluar dari DPR atau DPRD dan partai politik
tersebut tidak melakukan penggantian antarwaktu, maka akan terjadi kekosongan
anggota DPR atau DPRD. Kekosongan keanggotaan juga mungkin terjadi jika kepengurusan
partai politik di tingkat regional sudah tidak ada lagi, akibat anggotanya
sudah bergabung dengan partai politik lain atau partai politiknya sudah
bergabung dengan partai politik lain, atau sebab lainnya yang terkait dengan
daerah pemilihan yang bersangkutan. Dalam
hal demikian, penggantian antarwaktu tidak mungkin dilakukan, sehingga
menimbulkan masalah hukum yaitu kekosongan keanggotaan DPR atau DPRD;
d)
Menimbang bahwa Mahkamah akan mempertimbangkan
apakah seseorang yang pindah menjadi anggota partai politik lain serta merta
berhenti menjadi anggota legislatif yang sedang didudukinya. Dalam hal partai
politik yang mencalonkannya sebagai anggota DPR atau DPRD telah
memberhentikannya sebagai anggota partai politik, maka adalah hak konstitusional partai politik yang
mencalonkannya untuk menariknya menjadi anggota DPR atau DPRD dan menjadi
kewajiban pula bagi anggota partai politik yang bersangkutan untuk berhenti
dari anggota DPR atau DPRD. Dalam kerangka pemahaman yang demikianlah,
menurut Mahkamah ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol adalah konstitusional.
Akan tetapi, apabila partai politik yang
mencalonkan yang bersangkutan tidak memberhentikannya sebagai anggota partai
dan tidak juga menariknya sebagai anggota DPR atau DPRD, walaupun yang
bersangkutan telah menjadi anggota partai politik lain, tidak serta merta
berhenti pula menjadi anggota DPR atau DPRD. Hal demikian harus dilihat secara spesifik kasus per kasus, sehingga
tidak menimbulkan problem hukum dan problem konstitusional yang baru. Hal
utama yang harus dipertimbangkan adalah mengapa partai politik yang mencalonkan
yang bersangkutan tidak menarik anggotanya yang pindah menjadi anggota partai
politik lain, dan dengan alasan apa yang bersangkutan pindah partai politik.
Dalam kasus yang dipersoalkan oleh para Pemohon, para Pemohon pindah menjadi
anggota partai politik lain, oleh karena partai politik yang semula
mencalonkannya sebagai anggota DPR atau DPRD tidak lagi sebagai peserta Pemilu.
Di
beberapa daerah di mana keanggotaan DPRD mayoritas diisi oleh partai yang tidak
lagi ikut dalam Pemilu tahun berikutnya, maka anggota DPRD secara massal juga
akan melakukan perpindahan ke partai politik lain yang menjadi peserta pada
Pemilu berikutnya. Dalam jumlah yang signifikan, perpindahan anggota DPRD ini
akan menimbulkan permasalahan dalam penggantian anggota yang mengakibatkan DPRD
tidak akan dapat melaksanakan tugas konstitusionalnya, padahal pada tingkat
daerah, DPRD merupakan bagian penting sebagai unsur dari pemerintah daerah
bersama dengan kepala daerah. Kekosongan keanggotaan, apalagi dalam jumlah yang
signifikan, akan menimbulkan persoalan legitimasi dan legalitas pengambilan
keputusan sehingga mengakibatkan kepincangan dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Menurut
Mahkamah, dalam kasus demikian terdapat dua masalah konstitusional yang harus
dipecahkan, yaitu pertama, tidak berfungsinya DPRD menjalankan tugas
konstitusionalnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan kedua,
terabaikannya hak konstitusional warga negara yang telah memilih para wakilnya.
Oleh karena itu, untuk menjamin tetap tegaknya hak-hak konstitusional tersebut,
Mahkamah harus menafsirkan secara konstitusional bersyarat tentang Pasal 16
ayat (3) UU Parpol, sehingga tidak menimbulkan persoalan konstitusional baru
sebagai akibat terjadinya kekosongan anggota DPR dan DPRD;
Berdasarkan hal tersebut, sampailah Mahkamah
Konstitusinya pada kesimpulan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
mengadili permohonan Pemohon dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan.
Amar Putusan tersebut sebagai berikut :
1.
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian;
(1)
Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai, “dikecualikan bagi anggota DPR atau DPRD jika:
a. partai
politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu
atau kepengurusan partai poitik tersebut sudah tidak ada lagi,
b. anggota DPR
atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai politik yang
mencalonkannya,
c. tidak lagi
terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap dari partai
yang mencalonkannya”;
(2)
Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi anggota DPR atau DPRD
jika:
a. partai
politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu
atau kepengurusan partai poitik tersebut sudah tidak ada lagi,
b. anggota DPR
atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai politik yang
mencalonkannya,
c. tidak lagi
terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap dari partai
yang mencalonkannya”;
2.
Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan
selebihnya;
3.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
2.
Pemberhentian
antarwaktu Anggota DPRD
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi di atas adalah
dalam rangka upaya untuk mengisi “celah” pada Pasal 16 ayat (3) UU Parpol,
meskipun Mahkamah Konstitusi berpendapat
persoalan ini harus dilihat secara spesifik kasus per kasus (case by case).
Dimana dalam hal anggota partai politik yang diberhentikan adalah anggota
lembaga perwakilan rakyat, maka diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan
di lembaga perwakilan rakyat.
Bahwa dengan terbitnya keputusan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang Penetapan Partai Politik Peserta
Pemilihan Umum Tahun 2014, menimbulkan persoalan tersendiri bagi anggota partai
politik yang notabene masih berstatus anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
namun masih memiliki keinginan untuk ikut “bertarung” dalam Pemilihan
Legislatif Tahun 2014 yang akan datang.
Persoalan tersebut juga dipicu dengan persyaratan
sebagaimana yang tertera didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dimana bakal calon anggota DPRD harus memenuhi
persyaratan antara lain “menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu”.
Atas dasar itulah dan ditambah keinginan yang kuat
untuk kembali ikut serta dalam Pemilihan Legislatif Tahun 2014, maka anggota
DPRD yang Partai Politiknya tidak ikut serta dalam Pemilihan Legislatif 2014
“terpaksa” mengundurkan diri dari keanggotaan Partai Politiknya yang lama.
Bahwa kemudian pengunduran diri tersebut tidak mendapat
respon dari Partai Politiknya yang lama, sebab rata-rata mereka adalah Pengurus
Partai Politik tersebut. Hal ini merupakan salah satu bentuk untuk
mangantisipasi tidak terjadi pemberhentian antarwaktu anggota DPRD yang
berhenti karena mengundurkan diri.
Bahwa berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata
Tertib DPRD, disebutkan bahwa pemberhentian anggota DPRD diusulkan oleh partai
politik kepada Pimpinan DPRD dengan
tembusan kepada Gubernur. Oleh karena secara jelas tanpa usulan dari pimpinan
Partai Politik tidak bisa dilakukan pemberhentian antar waktu.
Mengingat jadwal dan agenda pelaksanaan Pemilu
Legislatif telah disusun dan mulai dilaksanakan, maka yang bersangkutan harus
sesegera mungkin untuk memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan sebagaimana
telah diterangkan di atas.
Dengan adanya pengunduran diri yang diajukan ke
Pimpinan DPRD , maka kemudian Pimpinan DPRD
harus sesegera mungkin pula untuk merespon situasi yang sedang
berlangsung. Dimana timbul persoalan pengunduran diri yang diajukan oleh yang
bersangkutan dilakukan secara “sporadik” tanpa adanya surat pemberhentian dari
partai politik yang lama. Hal ini kemudian menjadi persoalan yang rumit bagi
Pimpinan DPRD untuk melakukan atau tidak melakukan pemberhentian antarwaktu
sebab secara administrasi yang bersangkutan telah mengajukan pengunduran diri,
namun faktanya yang bersangkutan masih tetap hadir dan melaksanakan tugas
rutinitas sehari-hari dalam jabatannya sebagai anggota DPRD. Peliknya yang
bersangkutan ikut ambil bagian pada Sidang Paripurna DPRD.
Bahwa pada hakikatnya tidak ada kewenangan dari
DPRD terhadap persoalan tentang pindahnya keanggotaan Partai Politik seseorang
sebab hal ini merupakan murni domainnya internal partai politik itu sendiri.
Namun adanya persyaratan Komisi Pemilihan Umum tentang persyaratan bakal calon
anggota DPRD yang menghendaki adanya surat persetujuan pengunduran diri dari
pejabat yang berwenang bagi anggota DPRD, maka mau tidak mau Pimpinan DPRD
harus menyikapi pesoalan ini.
Bahwa kemudian keluarnya Surat Menteri Dalam
Negeri RI Nomor 160/3294/SJ, tanggal 24 Juni 2013 perihal Penjelasan Hak-hak
Anggota DPRD yang mengundurkan diri, dimana dijelaskan “apabila pimpinan partai
politik yang bersangkutan enggan untuk mengusulkan pemberhentian antarwaktu,
maka Pimpinan DPRD menyurati Pimpinan Partai Politik yang bersangkutan untuk
segera diusulkan pemberhentian antarwaktu. Akan tetapi apabila dalam kurun
waktu 14 (empat belas) hari pimpinan partai politik yang bersangkutan tidak
kunjung mengusulkan pemberhentian antarwaktu, maka Pimpinan DPRD mengusulkan kepada Gubernur, untuk
selanjutnya diresmikan pemberhentian antarwaktu”. Selanjutnya diterangkan pula
bahwa persemian anggota DPRD dimaksud berlaku sejak ditetapkan.
Bahwa surat Menteri Dalam Negeri RI dimaksud
terbit adalah dalam rangka merespon adanya persyaratan bagi anggota DPRD yang
secara pribadi telah mengundurkan diri, namun belum diresmikan pemberhentian
antarwaktunya. Substansi surat Mendagri dimaksud, pada prinsip memberikan
interprestasi dan penafsiran terhadap persoalan yang dihadapi oleh Pimpinan
DPR/DPRD seluruh Indonesia mengingat sebagian anggotanya “terpaksa”
mengundurkan diri karena keikutsertaannya dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014
yang secara instan telah memberikan solusi terhadap proses pemberhentian
antarwaktu anggota DPRD. Namun disisi lain penjelasan Menteri Dalam Negeri
tersebut cenderung inskontitusional sebab didalam Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 2010, bahwa pemberhentian anggota DPRD yang mengundurkan diri diusulkan
oleh Partai Politik.
Pimpinan DPRD selanjutnya memproses pemberhentian
antarwaktu anggota DPRD yang mengundurkan diri, meskipun tanpa atau dengan
usulan pimpinan partai politik setelah melewati tenggang waktu 14 (empat belas)
hari sejak disuratinya pimpinan partai politik.
Sesuai dengan mekanisme pemberhentian antarwaktu
anggota DPRD, maka paling lama 7 (tujuh)
hari sejak diterimanya usul pemberhentian[10],
pimpinan DPRD menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD kepada
gubernur melalui bupati untuk memperoleh peresmian. Selanjutnya paling lama 7
(tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian, bupati menyampaikan usul
tersebut kepada gubernur.
Apabila Bupati tidak menyampaikan usul tersebut,
maka pimpinan DPRD dapat langsung menyampaikannya kepada gubernur.
Gubernur meresmikan pemberhentian
anggota DPRD paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian.
Dalam
prakteknya seorang hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya
harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang ada dalam
perkara tersebut. Oleh karena itu, Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusannya
terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap di
pengadilan baik dari pihak-pihak yang berperkara. Di dalam Undang-undang
tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa adanya perkara di Mahkamah
Konstitusi disebabkan oleh adanya permohonan yang pihak-pihak sebagaimana telah
dikualifikasi dalam Pasal 51 Undang-Undang tentang Mahkamah Kontitusi yakni,
perorangan, lembaga Negara, badan hukum publik atau privat dan masyarakat hukum
adat yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang
dalam hal ini Undang-undang tentang Partai Politik..
Dalam hal
pemeriksaan tersebut dilakukan, maka hakim wajib berusaha menemukan hukumnya
secara tepat terhadap peristiwa tersebut yakni bersumber dari Undang-Undang
Dasar dan peraturan perundang-undangan lainnya ; Yurisprudensi peradilan,
konvensi ketatanegaraan ; Hukum Internasional tertentu ; doktrin ahli hukum
tertentu.
Dalam perkara
a quo, apabila kita menilik sumber hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim akan
terlihat pada pertimbangan hukum putusan, yakni sebagai berikut :
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebagai Penguji Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 termasuk
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai hukum
formilnya yang dijabarkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara Pengujian Undang-Undang Negara RI Tahun 1945.
2.
Yurisprudensi (Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008,
tanggal 23 Desember 2008;
Dalam hal terjadi kekosongan hukum, dimana
undang-undang tidak dapat menjangkau sebuah permasalahan hukum, maka dilakukan
penemuan hukum sehingga putusan yang dijatuhkan hakim dapat mengisi celah ruang
kosong yang ditinggalkan undang-undang atau peraturan perundang-undangan
tertulis.
Bahwa terbitnya Surat Mendagri dimaksud, merupakan
suatu terobosan terhadap Pasal 102 ayat (2) dan Pasal 103 ayat (1) PP Nomor 16
Tahun 2010, dimana terdapat kekosongan hukum (recht vakuum) dari pasal
dimaksud, apabila kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian anggota parpol tidak
digunakan ataupun enggan digunakan oleh pimpinan partai politik. Disadari
keengganan dimaksud diakibatkan anggota parpol yang pindah partai tersebut,
merupakan pengurus partai politik dimana partai politiknya pun dalam masa
kevakuman politik mengingat tidak lolos verifikasi partai politik yang ikut
serta dalam Pemilu Legislatif 2014. Umumnya pelaksanaan tugas kepartaian pun
hanya dilaksanakan oleh 2 (dua) orang saja yakni Ketua Umum dan Bendahara
Partai. Sedangkan pengurus lain sebagian besar yang tidak menjadi anggota DPRD pada masa itu banyak yang berhenti
karena pindah partai untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon anggota DPRD
ataupun memang secara faktual benar-benar berhenti dari kegiatan dan urusan
partai (non aktif).
Bahwa kedudukan anggota DPRD yang secara faktual
masih aktif menjalankan tugasnya sebagai anggota DPRD, karena belum resmi
diberhentikan oleh Gubernur sebab
persyaratan proses pemberhentian sebagai anggota DPRD nya tidak lengkap,
sementara yang bersangkutan telah menjadi anggota partai politik lain dan telah
mengundurkan diri yang suratnya ditembuskan kepada Pimpinan DPRD .
Bahwa langkah antisipasi yang dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri ini terkait pemberhentian dimaksud, seharusnya dipahami
secara spesifik dan kasus per kasus. Sebab menurut Penulis, pemahaman Menteri
Dalam Negeri yang demikian hanyalah merupakan pengkontruksian hukum atas
penafsiran dan interprestasi Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 103 ayat (3) dalam
kerangka adanya persyaratan Komisi Pemilihan Umum yang meminta surat
persetujuan pengunduran diri sebagai anggota DPRD yang oleh karenanya secara
prosedural juga harus ditindaklanjuti dengan peresmian pemberhentian
antarwaktunya.
Konstruksi hukum yang semacam inilah kemudian
hanya mampu menjawab persoalan hanya pada periode waktu dan ruang masa itu,
namun tidak memberikan solusi yang tepat untuk menjawab persoalan yang akan
timbul dimasa yang akan datang.
Pada sisi lain pengujian UU Parpol, dari
perspektif penemuan hukum adalah dalam
kerangka yang lebih konkrit untuk menentukan kedudukan hukum si Pemohon.
Pendapat Mahkamah Konstitusi tentang 2 (dua) hal
yang harus dipecahkan yakni pertama,
tidak berfungsinya DPRD dalam menjalankan tugas, tentu dapat dipahami sebab
jika pemberhentian anggota DPRD tanpa usulan partai politik dilaksanakan tentu
konsekuensinya harus ada penggantian antarwaktu oleh Pimpinan DPRD. Dimana
Pasal 107 ayat (1) PP 16 Tahun 2010,
dinyatakan “Pimpinan DPRD menyampaikan nama anggota DPRD yang diberhentikan antarwaktu
dan meminta nama calon pengganti antarwaktu dengan melampirkan fotokopi daftar
calon tetap dan daftar peringkat perolehan suara partai politik yang
bersangkutan yang telah dilegalisir, kepada KPU dengan tembusan kepada Pimpinan
Partai politik yang bersangkutan. Oleh karenanya sejak usulan pemberhentian
antarwaktu tersebut telah ada nama usulan penggantian antar waktu yang akan
diresmikan oleh Gubernur. Faktanya hal tersebut telah melangkahi proses yang
telah ditentukan. Kedua, terabaikannya hak konstitusi warga yang telah memilih
para wakilnya. Hal ini jelas akan menghilangkan peran anggota DPRD yang
terpilih didaerah konstituennya. Sebab yang bersangkutan terpilih adalah dalam
rangka sebagai representasi para pemilihnya di daerah pemilihan.
Bahwa
menurut Mahkamah Konstitusi, konstitusi tidak memberikan suatu
pembatasan bahwa seseorang tidak boleh menjadi anggota partai poltik, bahkan
pada saat yang bersamaan seseorang tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu
partai politik. Oleh karena itu tidak ada kewajiban konstitusional seseorang warga
negara untuk pindah menjadi anggota partai politik lain atau memilih salah satu
partai politik karena menjadi anggota partai politik lain.
Oleh karenanya terdapat pertentangan antara
pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi dengan penjelasan Menteri Dalam
Negeri. Mengutip pendapat Sudikno, maka penemuan hukum yang dilakukan oleh
hakim lebih dinilai dan diakui memiliki wibawa hukum.
Pertimbangan
Mahkamah Konsitusi tersebut adalah demi kepastian hukum, keadilan dan manfaat
dimana unsur tersebut memilki nilai peranan yang sama dan saling mengisi. Dalam
perkara a quo, maka jelas terlihat
pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara ini
adalah untuk mengisi kekosongan hukum seandainya terdapat pemberhentian anggota
DPRD yang pindah partai dan tidak ada penggantinya. Oleh karenanya terlebih
dahulu memberikan kepastian hukum atas celah yang ditinggalkan hukum itu
sendiri. Dalam konteks penemuan hukum, maka seorang hakim terlebih dahulu
penafsiran hukum atas peraturan
perundang-undangan tertulis baru kemudian dilanjutkan dengan konstruksi hukum,
namun adakalanya proses yang dilakukan dapat terbalik.
Dalam konteks
aliran progresif dan responsif menurut
Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo, maka bagi hakim dalam mengadili suatu
perkara hakim lebih mementingkan fakta atau peristiwa daripada hukumnya. Bagi
Hakim, bunyi ketentuan hukum adalah hanyalah alat, sedangkan fakta atau
peristiwa lebih menentukan daripada ketentuan hukum.
Dalam perkara
ini ada kecenderungan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan konstruksi hukum, hal
ini terlihat dalam putusannya yang konstitusional bersyarat sebagaimana
dinyatakan dalam pertimbangannya. Pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi lahir atas pemeriksaan perkara yang kemudian diterapkn secara umum
terhadap Pasal yang dilakukan pengujian.
Pemaknaan
tersebut adalah dalam rangka memenuhi
lebih diarahkan untuk memenuhi prinsip keadilan dibandingkan apakah
pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana kewenangan dari
Mahkamah Konstitusi.
Bahwa
Mahkamah Konstitusi dalam perjalanannya
tidak bisa untuk tidak melaksanakan kewenangannya hanya dalam rangka menguji
hal-hal tekstual dalam UUD 1945. Sebab seorang hakim dihadapkan pada 3 (tiga)
kondisi yang harus dipenuhi yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
3.
Putusan
Mahkamah Konstitusi yang Ultra Petita
Putusan dalam
suatu peradilan adalah merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara yang
berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara
tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya.
Terhadap putusan lah seseorang menggantungkan kepentingan hukumnya dalam suatu
perkara dan tentang kepastian hukum.
Penemuan
hukum yang dilakukan oleh hakim pada prinsipnya dikonkritisasikan dalam sebuah
amar putusan. Oleh karenanya tidak ada penemuan hakim apabila tidak putusan
dalam sebuah perkara.
Berdasarkan
Pasal 56 UU MK, maka diterangkan bentuk putusan Mahkamah Konstitusi, yakni : pertama, tidak dapat menerima ; kedua, mengabulkan dan ketiga, menolak. Meskipun pada kenyataannya Mahkamah Konstitusi
tidak secara kaku menerapkan hal tersebut, dimana pada kasus dimaksud, Mahkamah
Kontitusi yang mengadili dan memutus perkara telah menjatuhkan putusan bahwa UU
Parpol tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ,
dikecualikan pada hal-hal tertentu yang dinyatakan dalam putusan tersebut. Hal
ini secara teori yang dikemukakan para ahli merupakan bentuk putusan bersyarat
(conditionally constitusional).
Menurut
Harjono, conditional constitusional dapat digunakan untuk 2 (dua) tujuan, pertama, dipakai untuk mempersoalkan
konstitusional sebuah pasal. Kedua, dapat digunakan mengajukan gugatan ke
peradilan biasa oleh mereka yang dirugikan oleh peraturan yang ditafsirkan
berbeda[11].
Putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi yang berdimensi penemuan hhukum menyulut pendapat pro dan
kontra. Kalangan yang pro terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang
berdimensi hukum berargumen bahwa menafsirkan konstitusi tidak hanya bersandar
pada penafsiran tekstual, fleksibel dan ekstensif demi mewujudkan kepastian
hukum dan keadilan. Sementara kalangan yang kontra berargumen putusan MK
menunjukan putusan yang melampaui kewenangannya.
Sejak awal
keberadaanya, MK didesain untuk mengawal konstitusi dalam arti menjaga agar UU
konsisten, sejalan dan tidak bertentangan dengan UUD. Dalam hal ini, ada
semacam sekat konstitusionalisme yang membatasi secara tegas MK sebagai
peradilan konstitusi tidak mencampuri kekuasaan legislatif. [12]
Dalam tugas
dan kewenangan yang demikian, seharusnya MK tidak boleh membuat putusan yang
bersifat yang mengatur, tidak boleh membatalkan UU atau isi UU yang oleh UUD
dinyatakan terbuka (diserahkan pengaturannya kepada legislatif)dan tidak boleh
pula membuat putusan yang ultra petita, apalagi
ultra petita yang bersifat positive legislature. Dengan kata lain
pelanggaran terhadap asas ini bisa dikatakan sebagai pencideraan terhadap
prinsip pemisahan kekuasaan dan checks
and balances yang dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia[13].
Dalam konteks
peradilan konstitusi oleh MK, menurut hakim konstitusi , larangan ultra petita
tidak dapat diterapkan karena hukum acara peradilan konstitusi berbeda dengan
hukum acara perdata. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada 5 (lima) pertimbangan hukum
mengapa MK menjatuhkan putusan Ultra
Petita. Pertama, sengketa MK bukanlah sengketa orang-perorangan seperti
dalam peradilan perdata, tetapi mengenai persolan hukum tata negara yang
prinsipnya sangat berbeda dengan peradilan perdata. Lagipula petitum Pemohon sering menyertakan
permohonan putusan yang seadil-adilnya (et
aequo et bono) yang memberi kewenangan mengabulkan putusan yang tidak
diminta Pemohon. Kedua, Pengujian UU
adalah menyangkut kepentingan umum, meskipun yang mengajukan adalah
orang-perorang. Sehingga akibat hukum dari putusan MK bersifat erga omnes,
yaitu berlaku untuk seluruh masyarakat atau pihak. Oleh karena itu,
jika kepentingan umum menghendaki maka Hakim Konstitusi tidak boleh terpaku
hanya pada permohonan atau Petitum yang
diajukan. Ketiga, pasal undang-undang
yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya merupakan “jantung”
undang-undang sehingga pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat artinya seluruh pasal undang-undang tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Keempat, putusan Ultra
Petita juga lazim dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi di negara lain. Kelima, tidak ada aturan dalam Undang-Undang Dasar
1945 yang melarang atau membolehkan
putusan Ultra Petita.[14]
Putusan Ultra Petita oleh MK sebetulnya tidak
perlu sama sekali dilarang. Dalam kasus dan kondisi tertentu, putusan Ultra Petita boleh sangat jadi
diperlukan sebaga solusi ketika menemui impase konstitusional atau jalan buntu
hukum. Lagipula, karakter peradilan konstitusional di MK berbeda dengn karakter
peradilan perdata yang melarang putusan Ultra
Petita. Pelarangan sama sekali atas MK manjatuhkan Ultra Petita akan berpotensi menyurutkan kreasi hakim konstitusi
melakukan penemuan hukum. Akan tetapi, pada sisi lain, MK sebaliknya tidak
boleh menjatuhkan putusan Ultra Petita tanpa batas dengan dalih atas nama kebebasan
hakim.
Bahwa putusan
MK dalam perkara tersebut mengandung makna bahwa Mahkamah Konstitusi mencoba
memberikan jawaban atas persoalan atas perkara yang sedang diujikan. Persolan
tersebut dijawab dengan sebuah putusan yang melebihi dari apa yang dimintakan
oleh Pemohon. Pemaknaan atas pasal undang-undang yang diujikan merupakan
putusan yang Ultra Petita. Meskipun
dari awal Mahkamah Konstitusi berpendapat hal ini harus dipandang secara
spesifik dan kasus per kasus, namun implikasinya tentu berakibat secara umum
pada pasal yang diujikan. Bentuk konstruksi hukum dari putusan yang Ultra Petita, merupakan sarana untuk
menjawab persoalan-persoalan yang tidak bisa dijawab oleh hukum positif
semata.
Bahwa akibat
hukum yang timbul putusan MK terhadap perkara a quo, diatur dalam Pasal 58 UU
MK yakni :
“Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi
tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa Undang-undang tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945”.
Ini berarti
bahwa putusan hakim MK yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak boleh
berlaku surut. Akibat hukum yang timbul dari putusan itu dihitung sejak putusan
tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Oleh karenanya, akibat
hukum yang timbul berlakunya suatu undang-undang sejak diundangkannya sampai
diucapkannya putusan yang menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, tetap sah dan mengikat.[15]
4.
Putusan
Mahkamah Konstitusi yang Ultra Petita dalam
Penegakan hukum yang progresif dan Responsif
Penyebaran gagasan hukum progresif diawali oleh
Satjipto Raharjo, guru besar Emiritus pada Fakultas Hukum Diponegoro. Menurut
Satjipto, hukum progresif pada prinsipnya bertolak dari 2 (dua) komponen dasar
dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rule and behavior). Landasan hukum
progresif didasarkan pada 2 (dua) asumsi pokok. Pertama, hukum adalah untuk
manusia, bukan sebaliknya. Berangkat dari asumsi ini, maka kehadirannjau dan
hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan
besar. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan dalam hukum, maka hukumlah
yang harus ditinjau dan diperbaiki bukannya manusianya yang dipaksa untuk
dimasukkan ke dalam skema hukum. Kedua, hukum bukan institusi yang mutlak serta
final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus-menerus membangun dan
mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas
kesempurnaan di sini bisa direfleksi ke dalam faktor keadilan, kesejahteraan,
kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah yang oleh Satjipto Raharjo
dikatakan hakikat “ hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as process law
in the making) [16].
Pembentukan hukum oleh hakim dalam konsep hukum
responsive dari Jhon Merryman menyatakan bahwa seorang hakim sering berpikir
bahwa perundang-undangan sebagai salah satu bentuk pelayanan fungsi tambahan
yang sering akurat.[17]
Sebelum munculnya gagasan hukum progresif, Nonet
dan Selznick telah pula mengemukakan gagasan tentang hukum responsif. Hukum
responsif menempatkan hukum sebagai sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan
sosial dan aspirasi publik[18].
Keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan hukum,
diharapkan menjadi kekuatan control (agent of sosial control) dan kekuatan
penyeimbang antara kepentingan pemerintah dan masyarakat. Pada suatu kesempatan
terdapatnya hukum yang responsif, membuka ruang partisipatif masyarakat dalam
pembentukan hukum yang lebih substantif menjawab persoalan sosial di
masyarakat. Oleh karenannya hukum yang responsif cenderung mengedepankan
moralitas dan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya dalam konteks yang demikian
adanya penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim sebagaimana yang dikemukan oleh
Sudikno merupakan salah satu bentuk perwujudan nilai keadilan dan perlindungan
hak asasi manusia yang tidak melulu berpijak pada hukum positif yang sudah ada
yang akan mengakibatkan hukum sebagai robot pengatur hubungan sosial di
masyarakat. Demikian pula putusan hakim yang Ultra Petita merupakan salah satu bentuk peruntuhan dominasi hukum
yang dipandang secara tekstual saja, melainkan untuk merespon kepentingan
masyarakat sehingga terdapat keadilan substantif bukan dalam rangka “due
process of law” semata.
Oleh karenanya penerapan hukum yang progresif dan
responsif tidak dapat dilakukan “setengah-setengah”,
sebab mengakibat hukum juga tidak berjalan dan cenderung “kebablasan”. Hal ini tentu kan
menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang diharapkan oleh semua orang.
Dalam perkara yang diujikan tersebut, hakim
mencoba untuk merespon gejala-gejala yang sedang dihadapi oleh masyarakat,
dimana masyarakat menghendaki perubahan paradigma mengenai hak seseorang dalam
statusnya sebagai anggota Partai Politik sekaligus anggota DPRD. Paradigma yang
ada dalam UU Partai Politik tidak memberikan keadilan yang substantif bagi
mereka, sehingga jika diterapkan maka mengakibatkan pelanggaran hak bagi
mereka.
Kendati kemudian telah keluar putusan yang
memberikan makna terhadap pasal yang diujikan, memang telah memberikan secerca
harapan bagi pemohon. Sebab hak mereka sebagai representasi wakil rakyat tidak
terabaikan dengan pemberlakuan pasal 16 ayat (3) UU Partai Politik. Namun
adanya Pasal 47 dan 58 UU MK, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi baru mempunyai
kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam sidang pleno terbuka untuk umum,
kemudian seolah-olah meniadakan harapan itu. Mengingat kondisi yang telah
terjadi tidak bisa pulihkan dengan tidak bisa berlaku surutnya putusan Mahkamah
Konstitusi.
Keadilan yang substantif dapat dikatakan sebagai
sebenar keadilan (true justice) yang pencariannya, penegakannya dibutuhkan
substansi, pemikiran dan tindakan progresif serta sebuah keberanian untuk
keluar dari kungkungan kotak sistem (out of the box). Karakter-karakter
tersebut terpenuhi dalam Teori Hukum Progresif. Satjipto Raharjo sebagai
penggagas hukum progresif mengatakan bahwa rule
breaking sangat penting dalam sistem penegakan hukum.[19]
Menurut Satjipto Raharjo, ada 3 cara untuk
melakukan rule breaking, yaitu : [20]
1.
Mempergunakan kecerdasan sprituil untuk bangun
dari keterpurukan hukum dan tidak membiarkan diri terkekang cara lama ;
2.
Pencarian makna lebih dalam hendanya menjadi
ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum ;
3.
Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip
logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian dan keterlibatan (compassion)
kepada kelompok yang lemah.
Beranjak dari hal tersebut, maka Mahfud M.D
berpendapat bahwa terkait dengan soal keadilan substantif, dalam beberapa kesempatan,
banyak kalangan mempersoalkan bahwa upaya untuk mencapai keadilan substantif
sulit dilakukan karena sulit diukur dan tidak ada kriteria baku untuk
menentukan apa itu keadilan substantif. Keadilan itu bersifat nisbi atau
relative karena tergantung pandangan subyektif, berbeda dengan bunyi
undang-undang yang isinya menekankan unsur kepastian[21].
Selain itu , untuk menghindari kesan MK suka dan
sering melampaui ketentuan prosedural, perlu dipahami bahwa upaya MK mewujudkan
keadilan substantif sebagaimana yang selama ini digelorakan, harus dibaca
sebagai upaya MK menegakkan keadilan dengan tidak semata-mata mengedepankan
keadilan prosedural tetapi juga juga keadilan substantif. Artinya, MK tak bisa
lantas seenaknya mengabaikan ketentuan prosedural atau menerobos undang-undang.
Dalam hal undang-undang sudah mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim
wajib berpegang pada undang-undang tersebut. Apalagi berdasarkan sistem UUD 945, MK diperbolehkan atau
dimungkinkan membuat putusan yang keluar dari undang-undang hanya jika
undang-undang itu “mengerangkeng” keyakinan MK untuk menegakkan keadilan.[22]
5.
Penegakan
Hukum dari Pendekatan Positivistik ke Legal Pluralism
Dalam
berbagai literature, aliran Positivisme dikenal dan dikembangkan oleh filsuf
Prancis yang bernama Auguste Comte. Namun sebenarnya istilah positivisme
digunakan pertama kali oleh Saint Simon yang merupakan guru sekaligus sejawat
dari Comte.
Ajaran
positivisme hukum adalah mengenai keyakinan, hukum yang ada, hukum yang berlaku
saat ini, pada saat tertentu dan tempat tertentu[23].
Positivisme hukum ditandai dengan ciri utama yakni memisahkan secara tegas dari
moral dan hukum (antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya, antara
das sein dan das solen). Dalam pandangan positivis, tiada hukum lain kecuali
perintah penguasa.
Masuknya
istilah positivisme hukum member nuansa filosofis dalam pemikiran tentang
hukum. Dalam konteks ini, positivisme lalu digunakan dengan berbagai makna di dalamnya. Secara umum
istilah positivisme memuat berbagai makna yang menunjukan sifat dasar dari
aliran pemikiran hukum ini.[24]
Penerapan
sistem hukum di Indonesia, sampai saat ini masih menjadi perdebatan panjang
dari para ahli hukum dan sosiologi tentang pilihan aliran atau teori hukum mana
yang benar-benar cocok dan baik yang diterapkan di Indonesia. Hal ini tidak
lepas dari berbagai pandangan dari sejarah berdirinya bangsa Indonesia dan
berbagai sistem hukum yang mempengaruhinya.
Indonesia
sebagai “mantan” dari bangsa koloni bangsa Eropah, merupakan suatu kenyataan
yang tidak dapat dinafikan bahwasannya pengaruh kuat sistem hukum yang dianut
oleh bangsa Eropa yang cenderung memakai sistem Eropa Kontinental turut menjadi
ikhwal anutan yang sama dengan bangsa peng”koloni”.
Perkembangan
perjalanan rasionalisme pada abad 17 di Eropa, dimana manusia memahami alam
secara lebih rasional dan obyektif terlepas dari nilai-nilai mistik dan
teologi. Ia menolak sesuatu yang dianalisa secara metafisik, menolak suatu
ajaran yang tidak bisa tidak dibuktikan secara ilmiah.
Pandangan
bahwa suatu ilmu harus rasional dan obyektif kemudian melahirkan pemikiran
bahwa ilmu pengetahuan dan berpikir ilmiah harus bebas nilai. Inilah kemudian
dikenal sebagai landasan filsafat modern yang selanjutnya menjadi cikal bakal
postivisme.
Dalam
berbagai literature, aliran Positivisme dikenal dan dikembangkan oleh filsuf
Prancis yang bernama Auguste Comte. Namun sebenarnya istilah positivisme
digunakan pertama kali oleh Saint Simon yang merupakan guru sekaligus sejawat
dari Comte.
Ajaran
positivisme hukum adalah mengenai keyakinan, hukum yang ada, hukum yang berlaku
saat ini, pada saat tertentu dan tempat tertentu[25].
Positivisme hukum ditandai dengan ciri utama yakni memisahkan secara tegas dari
moral dan hukum (antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya, antara
das sein dan das solen). Dalam pandangan positivis, tiada hukum lain kecuali
perintah penguasa.
Masuknya
istilah positivisme hukum memberi nuansa filosofis dalam pemikiran tentang
hukum. Dalam konteks ini, positivisme lalu digunakan dengan berbagai makna di dalamnya. Secara umum
istilah positivisme memuat berbagai makna yang menunjukan sifat dasar dari
aliran pemikiran hukum ini.[26]
Abad 19
disebut sebagai era positivisme, maka hal itu sangat bisa dimengerti seiring dengan
kehancuran hukum modern dan menjadi bagian pula dari penataan masyarakat secara
rasional, sejak saat itu hukum menjadi institusi yang distinct dalam substansi, metodologi maupun administrasi. Dalam hal
substansi maka hukum mengandalkan peraturan yang ia produksi sendiri, yaitu legilslated rules.Tidak ada peraturan
lain dalam masyarakat kecuali yang diproduksi oleh institusi hukum, dalam hal
ini suatu badan suatu badan yang khusus dibentuk untuk membuat suatu peraturan [27] .
Positivisme
hukum memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum
yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Dalam pandangan kaum
positivis tidak ada hukum lain selain perintah penguasa. Bahkan bagian mahzab
hukum positif yang dikenal mahzab legisme berpendapat lebih tegas, bahwa hukum
adalah undang-undang. Dengan dasar konsep filsafat positivisme, mahzab
positivism hukum merumuskan sejumlah premis dan postulat hukum mengenai hukum
yang menghasilkan pandangan dasae mahzab positivisme hukum bahwa :[28]
a.
Tata hukum suatu negara berlaku bukan karena
mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, maupun dalam jiwa bangsa, dan juga
bukan berdasarkan hukum alam, namun mendapat bentuk positifnya dari instansi
yang berwenang.
b.
Hukum harus dipandang semata-mata dari bentuk
formalnya, dengan demikian harus dipisahkan dari bentuk materialnya.
c.
Isi hukum atau materi hukum diakui ada, tetapi
bukan menjadi bahann ilmu hukum, karena hal tersebut dapat merusak kebenaran
ilmiah ilmu hukum.
Apabila kita
menilik pandangan Jhon Austin, seorang filsuf Inggris sekaligus penganut
positivis dimana ia menuangkan pokok pikirannya bahwa satu-satunya sumber hukum
adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Austin merrduksi hukum dengan
menjelaskan bahwa hukum adalah perintah yang berdaulat dengan menempatkan
lembaga-lembaga yang superior adalah upaya mereduksi kekuatan-kekuatan lain
selain negara, terutama kekuatan-kekuatan yang hidup dalam masyarakat yang
beragam.
Lebih lanjut
H. L.A Hart menguraikan ciri positivisme yang terdapat dalam perkembangan ilmu
hukum dewasa ini, yakni :
1.
Hukum adalah satu perintah yang datangnya dari
penguasa.
2.
Tak ada hubungan yang mutlak antara hukum dan
kesusilaan, atau antara hukum yang berlaku (law
it is) dan hukum yang dicita-citakan (law
as it ought to be).
3.
Analisa mengenai pengertian hukum (legal concept)
adalah pentng dan harus dibedakan.
4.
Sistem hukum adalah satu sistem logika yang
tertutup (closed logical sistem)
5.
Pertimbangan mengenai kesusilaan tidak dapat
dibuat atau dibuktikan dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi dan
bukti-bukti berdasarkan logika.
Dalam kerangka penegakan hukum di Indonesia, maka
pola pendekatan positivistik masih cenderung mendominasi. Hal ini tidak bisa
dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia yang lama dalam masa penjajahan bangsa
eropa yang dominan menganut sistem hukum eropa kontinental.
Sebagai bangsa yang majemuk dan pluralisme
sebagaimana terkandung dalam falsafah bangsa Indonesia, lebih mengedepankan
unsur-unsur non hukum apalagi teks undang-undang seperti moral, etika dan
agama.
Cara berhukum di Indonesia tidak tepat apabila
digunakan pendekatan positivistik seperti di negara asal hukum Indonesia
(khusunya Eropa) tanpa melihat aspek moral/religion
ataupun ethic serta pertimbangan
aspek socio-legal-nya. Watak liberal
dan individualitas hukum modern mesti diimbangi dengan watak arif bijaksana
serta merta welas asih, kesatuan dan rasa keadilan dalam masyarakat yang
tercermin dalam living law-nya
sehingga mampu menghadirkan keadilan paripurna yang menjadi tujuan penegakan
hukum progresif[29].
Legal
pluralism merupakan strategi pendekatan yang baru yang harus dikuasai oleh
penegak hukum agar dapat melakukan terobosan hukum melalui the non enforcement of law. Hal ini disebabkan pendekatan ini tidak
lagi terpenjara ole ketentuan legal formil formalism[30].
Cara berhukum yang hanya mengandalkan positive
law dengan rule and logic serta rulebound-nya hanya akan bermuara pada
kebuntuan dalam pencarian keadilan substantif.
Dalam kerangka penegakan hukum di Indonesia, maka
pola pendekatan positivistik masih cenderung mendominasi. Hal ini tidak bisa
dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia yang lama dalam masa penjajahan bangsa
eropa yang dominan menganut sistem hukum eropa kontinental.
Meskipun positivisme sebagai
suatu sarana agar hukum dapat berlaku efektif dan berwibawa Austin, sehingga
penegak hukum hanya menjadi corong undang-undang, atau positivisme itu sendiri
bertumpu pada rumusan atau kata-kata dalam undang-undang tidaklah selalu
demikian. Positivisme hukum saat ini jauh lebih maju dari pada apa yang sering
dilontarkan kalangan anti positivisme hukum.
Kritik terhadap hukum di
Indonesia juga diinspirasi oleh pandangan yang menilai hukum selalu dikaitkan
dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan nilai-nilai moral dan norma di
luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang.
Hal tersebut diakibatkan oleh pengaruh teori positivisme, artinya implementasi
kehidupan hukum di Indonesia berdasarkan pada teori positivisme hukum, tetapi
teori positivisme hukum juga memiliki kekurangan, yakni tidak menghiraukan
adanya nilai-nilai moral di masyarakat.
Hart mencatat tiga kelemahan
pokok dari teori komando Austin[31], yakni
sebagai berikut :
Pertama, hukum harus memiliki keberlangsungan hukum, tidak
boleh bergantung seluruhnya pada person tertentu (Morawetz, The Philosophy of
law). Dalam bahasa Morawet, hukum harus memiliki kemampuan bertahan melampaui
person-person yang menciptakannya. Mengasalkan hukum pada pribadi tertentu,
dalam hal ini penguasa absolut, akan menimbulkan problem kekosongan hukum
ketika yang bersangkutan meninggal dunia.
Kedua, hukum seharusnya berlaku bagi segenap anggota masyarakat,
termasuk penguasa. Dengan menjadikan hukum sebagai emanasi keinginan penguasa,
tidak jelas apakah penguasa sendiri tunduk pada hukum yang berlaku.
Ketiga, Austin gagal membedakan dengan konsep dengan tepat konsep
“berada di bawah kewajiban” dan “berada di bawah paksaan”.
Pemahaman teori positivisme
hukum, bahwa hukum itu tidak lain adalah yang terdapat dalam undang-undang, dan
bukan apa yang seharusnya, serta mengabaikan aspek sosial di masyarakat. Dalam berapa kajian terhadap positivisme hukum, termasuk
kritik terhadap penerapan positivisme hukum di Indonesia yang datang dari para
penganut penganut hukum responsif–sintesis dari berbagai aliran hukum, terutama
aliran hukum alam, mazhab sejarah hukum, aliran sociological Jurisprudence,
Legal Realisme, maupun Critical Legal Studies movement. Positivisme hukum yang cenderung bersifat kaku telah menjadikan
hukum itu sesuatu yang asosial, padahal hukum itu diciptakan untuk manusia demi
tujuan sosial tertentu.
Hukum Indonesia tumbuh dan
berkembang dalam ranah positivisme. Meskipun pada dasarnya positivisme sangat
bertentangan dengan jiwa bangsa karenanya. Hal yang harus sulit untuk
diingkari, persoalan pembangunan hukum dan problem hukum di Indonesia terkadang
dipengaruhi juga oleh pengalaman di negara-negara lain yang pada akhirnya
melakukan perubahan paradigma hukum. Sejumlah persoalan dalam kehidupan
masyarakat, negara dan pemerintahan di Indonesia juga telah diposisikan sebagai
kegagalam hukum mengatasinya. Kegagalan hukum itu kemudian mengarah pada
kegagalan penerapan positivisme hukum di Indonesia.
Dari sejumlah persoalan yang terinventarisasi dari
penerapan positivisme hukum di Indonesia dengan sejumlah kritik yang
menyertainya, kiranya tidak dapat dipukul rata. Kritik terhadap positivisme
hukum di Indonesia yang berangkat dari pandangan Austin terhadap hukum,
berkemungkinan terhadap hukum pidana dan atau pun terhadap hukum-hukum
peninggalan kolonial. Dalam konteks ini positivisme hukum di Indonesia harus
dibedakan dengan implementasi positivism hukum di Barat. Positivisme Hukum di
Indonesia sebenarnya telah berubah dari wujud aslinya, dimana pembangunan dan
pembentukan hukum di Indonesia berlansung dibawah konsep negara hukum yang
berlandaskan Pancasila. Dengan UUD 1945 sebagai dasar negara yang didalamnya
termuat cita negara hukum Pancasila, maka dengan sendirinya
Positivisme hukum di Indonesia adalah positivism hukum yang tidak memandang
hukum sebagai perintah penguasa berdaulat atau hukum dipisahkan dari moral dan
agama.
Corak negara hukum Indonesia itu tentulah
sekaligus menjadi karakter dari positivisme hukum Indonesia.. Indonesia memiliki
versi rule of law yang berbasis pada komunalisme dan memiliki nilai-nilai
seperti kekeluargaan, musyawarah, gotong royong. Tradisi positivisme hukum
Indonesia sepertinya sudah hidup dalam nuansa kosmologi Indonesia yang
demikian, sehingga persoalannya bagaimana menguatkan posotivisme hukum tersebut
dalam tahap aksiologi-nya. Pada tahap aksiologi inilah sebenarnya positivisme
hukum di Indonesia berkembang dalam ranah yang cenderung inkonsisten.
Pembentukan hukum positif di Indonesia dibentuk
atas kepentingan sesaat dan temporer, pembentukan hukum Indonesia lebih
cenderung dibangun di atas kepentingan-kepentingan politik dan asing. Bahkan
tidak sedikit hukum Indonesia dibentuk dengan tidak sempurna dan mengandung
sejumlah kekurangan dan kelemahan juridis dan sebagainya.
Pembentukan-pembentukan hukum positif yang demikian tentu secara tidak lansung
akan berpengaruh pada penegakkannya, dimana penegakkan hukum seperti hakim dan
Jaksa pada ketiadaan ukuran yang jelas dalam menerapkan peraturan perundang-undangan.
Inilah yang kemudian dipahami sebagai hukum jauh dari rasa keadilan masyarakat
dan disisi lain hukum tampak tidak berkepastian.
Soekanto dengan tegas mengatakan bahwa pemisahan
secara ketat antara segi normatif dengan segi perilaku dari gejala kemasyarakatan
akan menyesatkan, sebab akan terjadi dikotomi antara pendekatan yuridis dengan
pendekatan sosiologis terhadap hukum. Hal ini tidak perlu terjadi apabila
disadari bahwa kedua segi tersebut merupakan bagian dari kesatuan. Jadi,
persoalan pokoknya bukanlah kembali pada segi normatifnya, namun bagaimana
menyerasikan kedua segi tersebut sekaligus dengan sekalian
pendekatan-pendekatannya.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Sikap Mahkamah Konstitusi yang dalam putusannya
bersifat ultra petita yang bernuansa
pada intervensi ke dalam bidang legislasi (positif legislature) menunjukan
bahwa ia tidak hanya melulu pertimbangan
yuridis dan teks undang-undang saja yang
merupakan kecendrungan pada positivisme hukum dan cenderung mengenyampingkan
legal formal adalah berdasar pada hukum progresif untuk mewujudkan apa yang
disebut keadilan substantif.
2.
Pergeseran pola pendekatan yang demikian
menunjukan positivistik yang dianut oleh negara Indonesia sebagai warisan
negara-negara eropa yang law continental telah
bergeser kearah legal pluralisme yang cenderung mengandung ajaran moral, ethic dan religion adalah sesuatu yang sejalan dengan
budaya bangsa.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Buku-buku
Ali, Achmad.
Menguak Tabir Hukum. Jakarta ; Gunung Agung, 2002
Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum :
Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2009
Bernard L. Tanya dkk. Teori Hukum. . Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2006
Cetak Biru,
Membangun Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Pengawal Konstitusi yang
Modern dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2004.
Harjono,
Konstitusi sebagai Rumah Bangsa. Pemikiran Dr. Harjono, Jakarta, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.
Jhon Henry
Merryman, The Civil Law Tradition an Introduction to the Legal System Western
and Latin Amaerca, Secon Edition, Stanford University Press, California, 1985,
p.34
Manan,Abdul.
Makalah Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama,
disampaikan pada acara Rakernas Mahkamah Agung RI, tgl 10 s/d 14 Oktober 2010,
di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Martitah,
Mahkamah Konstitusi : Dari Negative
Legislature ke Positive Legislature, Jakarta,Konstitusi Press,2013
Satjipto
Rahardjo, Hukum Progresif : Hukum yang membebaskan, Jurnal Hukum Progresif,
Vol.1/No.1/April 2005, PDIH UNDIP Semarang
Siahaan,
Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005
Suteki,
Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum :
Budaya Oriental dan Implikasinya terhadap cara berhukum dalam perspektif Hukum
Progresif, Jakarta, Setjen Komisi Yudisial RI, Juli 2012,
Teguh
Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum :
Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta, Rajawali
Pers, 2012
2.
Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
________ , Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
________ , Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman
3.
Website
http://www.mahkamah konstitusi.
go.id
http://www.sudikno.blogspot.com/ Penemuan Hukum
Biodata Penulis
M. Rezha Fahlevie, SH, dilahirkan
di Jambi pada tanggal 14 April 1982. Menamatkan pendidikan di SDN 32 Balai
Batu (1994), SMPN 1 Batusangkar (1997), SMUN 1 Batusangkar (2000). Menyandang
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Andalas (2000). Semasa
menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Andalas ikut terlibat aktif
dalam kegiatan kemahasiswaan dan
seminar-seminar serta pernah menjadi Anggota Tim Peradilan Semu Fakultas
Hukum Universitas Andalas pada Lomba Peradilan Semu Kasus Pidana antar
Perguruan Tinggi se-Indonesia oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(2003).
Saat ini, merupakan Pegawai Negeri Sipil di
Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dan menjabat sebagai Kepala Sub. Bagian
Bantuan Hukum dan HAM pada Sekretariat Daerah Kabupaten Tanah Datar. Terlibat
aktif pada pendidikan dan latihan serta seminar-seminar yang diadakan oleh
Pemerintah Daerah, Kementerian dan Instansi terkait lainnya.
Telah dikarunia seorang putra bernama Mohammed
El Fathansyah Fahlevie dari buah perkawinan dengan Elsa Betri, S.Pt.
|
[4] Prof.Dr.H. Abdul
Manan, SH, S.IP, M.Hum, makalah Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum
Acara di Peradilan Agama, disampaikan pada acara Rakernas Mahkamah Agung RI,
tgl 10 s/d 14 Oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur
[5] Cetak Biru, Membangun
Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Pengawal Konstitusi yang Modern dan
Terpercaya, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2004, Hal iv
[7] Munafrizal Manan, Penemuan Hukum oleh Mahkamah
Konstitusi, Bandung, CV. Mandar Maju, Tahun 2012, hal 85.
[11] Harjono,
Konstitusi sebagai Rumah Bangsa. Pemikiran Dr. Harjono, Jakarta, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, Hal 180
[12] Martitah, Mahkamah Konstitusi : Dari Negative Legislature ke Positive
Legislature, Jakarta,Konstitusi
Press,2013, hal 174.
[13] Ibid., hal
174
[14] Munafrizal Manan, op.cit., hal 87
[15] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
RI, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 213
[16] Dr. Martitah, M.Hum,. op.cit hal 37-38
[17] Jhon Henry Merryman, The Civil Law Tradition an Introduction to the
Legal System Western and Latin Amaerca, Secon Edition, Stanford University
Press, California, 1985, p.34 sebagaimana dikutip oleh Dr. Martitah, M.Hum
dalam Buku Mahkamah Konstitusi : Dari Negative
Legislature ke Positive Legislature, Konstitusi Press, hal 38
[18] Bernard L. Tanya dkk. Teori Hukum. . Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2006 hlm.170
[19] Suteki, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum : Budaya Oriental dan Implikasinya terhadap
cara berhukum dalam perspektif Hukum Progresif, Jakarta, Setjen Komisi Yudisial
RI, Juli 2012, hal 277.
[20] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Hukum yang
membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol.1/No.1/April 2005, PDIH UNDIP
Semarang, Hal 5
[21] Dr. Martitah, M.Hum,. op.cit hal xvi
[22] Ibid
hal. xvii
[23] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah,
Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum : Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan
dan Bermartabat, Jakarta, Rajawali Pers, 2012, Hal 201
[24] Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum :
Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2009, Hal 66.
[25] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah,
Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum : Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan
dan Bermartabat, Jakarta, Rajawali Pers, 2012, Hal 201
[26] Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum :
Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2009, Hal 66.
[27] Satjipto
Rahardjo, Pendekatan Holistik Dalam Hukum, Jurnal Hukum Progresif, Pencarian,
Pembebasan, Pencerahan. 2005.
Comments
Post a Comment