Hukum Indonesia : Antara Kepastian Hukum dan Keadilan yang Substantif dalam rangka penegakan hukum yang Responsif dan Progresif terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 39/PUU-XI/2013 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Hukum Indonesia : Antara Kepastian Hukum dan Keadilan yang
Substantif dalam rangka penegakan hukum yang Responsif dan Progresif terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 39/PUU-XI/2013 dalam perkara Pengujian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
(Kasus : Pemberhentian Antar Waktu
Anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar A.n Sdr. Sasmita Syafnur karena mengundurkan
diri tanpa usulan Pimpinan Partai Bintang Reformasi)
Oleh
:
M.
Rezha Fahlevie, SH
(Mahasiswa
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas ,
NIM : 1320112037)
ABSTRAK
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013
tentang permohonan uji materil (judicial review) terhadap Pasal 16 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, dalam kerangka penemuan hukum
mencoba mengisi “ruang hukum” terhadap pasal yang diujikan a quo. Putusan yang demikian kendati jika
dipandang secara teori hukum merupakan putusan bersyarat “conditional
constitutional” dan ultra petita sehingga
diharapkan memberikan kepastian hukum dalam rangka penegakan hukum. Namun
ternyata putusan a quo, tidak
memberikan solusi dari maksud diujikannya pasal dimaksud. Bahwa bentuk dan
kekuatan putusan Mahkamah Konstitusi yang ternyata tidak berlaku surut
ternyata belum mampu memberikan keadilan yang substantif sebagai bagian
penerapan hukum yang responsif dan progresif. Bahwa penulis mencoba
mengeneralisir putusan dimaksud sebagai bagian penegakan hukum di Indonesia,
walaupun pandangan yang demikian memang cenderung subjektif, tetapi
demikianlah keadaan hukum di Indonesia. Pengkonstruksian hukum oleh hakim
dalam rangka penemuan hukum diharapkan tidak hanya mampu memberikan hukum
tetapi juga kemanfaatan dan keadilan yang substantif sebagaimana yang
diharapkan oleh para pencari keadilan. Kepastian hukum dan keadilan adalah
sesuatu yang berbeda dalam penerapannya namun tidak bisa dipisahkan dalam
tujuannya. Oleh karenanya hakim harus selalu mempertimbangkan antara
kepastian hukum dan keadilan. Pada akhirnya hukumnya yang merupakan warisan
kolonial tidak lagi yang semu
antara ada dan tiada. Ada dalam artian hukum dibentuk secara tertulis dan
memberikan kepastian hukum tetapi juga memberikan keadilan bagi masyarakat.
|
A. LATAR
BELAKANG
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 ayat (1), dinyatakan bahwa “Hakim dan
Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup didalam masyarakat” [1], sedangkan Pasal 10,
dinyatakan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” [2]. Hal tersebut menunjukan bahwa seorang hakim diberikan keleluasaan
untuk melakukan “menemukan hukum” terlepas bahwa defenisi para ahli yang
menyatakan bahwa menemukan hukum juga berarti menciptakan hukum (law maker), disisi lain sebagian para ahli
mendefenisikan bahwa menemukan hukum tidak sama dengan menciptakan hukum
sebagaimana dikutip dari pendapat Prof. Dr.
Sudikno Mertokusumo, S.H. “. Yang dimaksud dengan penemuan hukum atau yang
dalam bahasa asing dikenal dengan rechtsvinding
dan law making adalah
menemukannya hukum karena hukum itu tidak lengkap atau tidak jelas”.
Menurut Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Penemuan
hukum tidak sama dengan penciptaan hukum. Menemukan hukum berarti menemukan
hukum yang sudah ada, sedangkan menciptakan hukum berarti menciptakan suatu
(hukum) yang sebelumnya tidak ada. Hakim pada dasarnya dilarang menciptakan
hukum (undang-undang), bahkan menilai undang-undang saja dilarang. Tugas hakim
adalah menerapkan menemukan hukumnya. Memang bukan wewenangnya sebagai lembaga
yudikatif untuk menciptakan atau membentuk undang-undang. Walaupun hakim itu
pada dasarnya dilarang atau tidak menciptakan hukum namun tidak tertutup
kemungkinan dalam menemukan hukum, hakim yang tugasnya sehari-hari menemukan
hukum dalam memecahkan masalah hukum konkret, menciptakan hukum juga “ [3].
Terlepas
dari adanya multi pendapat mengenai “Penemuan Hukum”, Penulis tidak ingin
terjebak tentang defenisi penemuan hukum sebenarnya, namun dalam tulisan ini
penulis terlebih dahulu akan memberikan batasan tentang penemuan hukum yang
akan diperbandingkan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013
tentang Pengujian Pasal 16 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Penemuan
hukum lazimnya merupakan
proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang untuk
menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkret, dimana dalam
prosesnya memperbandingkan antara peraturan hukum (das solein) dengan peristiwa
hukum konkrit yang ada (das sein). Berdasarkan hal tersebut maka ada 2
(dua ) unsur dalam penemuan hukum yakni :
1.
Hukum
dan sumber hukum.
2.
Fakta
Hukum.
Kewenangan dan keleluasaan seorang
hakim dalam menemukan hukum memang lazim kita jumpai dalam memeriksa, mengadili
sampai pada memutus perkara. Namun terkadang dalam melaksanakan kewenangannya
tersebut dihadapkan pada suatu permasalahan ataupun persengketaan yang jika
ditilik belum atau tidak ada dasar hukumnya. Hal ini disebabkan peraturan
perundang-undangan yang ada (hukum positif) belum mampu mengatur setiap
perilaku dan gejala-gejala yang hidup dimasyarakat baik pada suatu waktu
tertentu maupun waktu yang akan datang.
Meskipun para hakim dianggap tahu
hukum (ius curianovit), sebenarnya para hakim itu tidak mengetahui semua
hukum, sebab hukum itu berbagai macam ragamnya, ada yang tertulis dan ada pula
yang tidak tertulis. Tetapi Hakim harus mengadili dengan benar terhadap perkara
yang diajukan kepadanya, ia tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan
hukum tidak ada atau belum jelas, melainkan ia wajib mengadilinya. Sebagai
penegak hukum ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat [4].
Apabila kita berkaca pada
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Hakim, Pasal 5 ayat (1),
maka hakim dalam hal ini tidak hanya hakim pada peradilan umum tetapi juga
hakim konstitusi. Lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagaimana diamanatkan didalam
konstitusi kita Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945, bahwa “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”
Eksistensi Mahkamah Konstitusi ini
lebih lanjut menurut Prof.Dr. Jimly Asshidiqie diuraikan : “ Dalam konteks
ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi
yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional ditengah kehidupan
masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi
dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen Negara secara konsisten dan
bertanggung jawab. Di tengan kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah
Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai
keberlangsungan bernegara dan
bermasyarakat” [5].
Secara tegas kewenangan Mahkamah
Konstitusi terlihat pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yakni sebagai berikut :
(1) Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara, memutus pembubaran partai
politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
Lebih
lanjut Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur didalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dimana salah satunya adalah menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.[6]
Salah
satu perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah
perkara Nomor 39/PUU-XI/2013 tentang permohonan uji materil (judicial review)
terhadap Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Perkara dimaksud cukup menarik untuk dianalisa mengingat Amar Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam perkara a quo salah satunya memaknai frasa pada Pasal yang
diuji yakni “Dalam hal anggota partai
politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat,
pemberhentian dari keanggotaan partai politik diikuti dengan pemberhentian dari
keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”, tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak
dimaknai sebagaimana dalam putusan perkara a quo.
Akibat
lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Perkara a quo, maka tidak serta merta pemberhentian sebagai anggota
partai politik diikuti dengan pemberhentian sebagai anggota dewan perwakilan
rakyat, terutama yang disebabkan karena partai politik yang mencalonkan anggota
tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu atau kepengurusan partai politik
tersebut sudah tidak ada lagi ; anggota DPR atau DPRD tidak diberhentikan atau
tidak ditarik kembali oleh partai politik yang mencalonkannya ; dan tidak terdapat
lagi calon pengganti yang terdaftar dalam daftar calon tetap dari partai yang
mencalonkannya.
Sehubungan
dengan keikusertaan beberapa anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar dalam pemilihan
calon DPRD Kabupaten Tanah Datar Tahun 2014-2019, dimana keikutsertaannya tersebut haruslah berasal partai politik
peserta pemilu legislatif serta wajib memenuhi persyaratan sebagaimana
ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Perwakilan Rakyat Daerah. Maka
anggota DPRD yang bukan berasal dari partai politik peserta pemilu harus
mengundurkan diri sebagai anggota Partai politik dimana ia berasal untuk
kemudian pindah partai ke partai politik peserta pemilu legislatif tahun
2014-2019. Sehingga otomatis ia harus diberhentikan dari keanggotaan DPRD
Kabupaten Tanah Datar.
Pemberhentian
seseorang dari keanggotaannya dari partai politik diikuti dengan
pemberhentiannya sebagai anggota DPRD harus melalui mekanisme pemberhentian
antar waktu sebagaimana ketentuan Pasal 383 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dimana menurut
ketentuan Pasal 384 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009, pemberhentian anggota DPRD
diusulkan pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD dengan tembusan kepada
gubernur.
Terbitnya
Surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 161/3294/sj, tanggal 24 Juni 2013 perihal
Pemberhentian Antarwaktu Anggota DPRD karena menjadi Anggota Partai Politik
lain atau Mengundurkan Diri, yang isinya bahwa pemberhentian anggota DPRD
karena mengundurkan diri diusulkan oleh partai politik, namun apabila partai
politik yang bersangkutan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah disurati oleh
Pimpinan DPRD enggan untuk mengusulkan pemberhentian antarwaktu , maka Pimpinan
DPRD mengusulkan kepada Gubernur melalui Bupati, untuk selanjutnya diresmikan
pemberhentiannya.
Atas
hal tersebut Pimpinan DPRD Kabupaten Tanah Datar melalui Bupati Tanah Datar
mengusulkan pemberhentian antarwaktu anggota DPRD yang mengundurkan diri yang
disebabkan karena pencalonan sebagai anggota legislatif pada partai politik
lain yang ikut serta dalam pemilihan legislatif yang akan datang, sementara
partai politiknya tidak lolos.
Berkenaan
dengan hal tersebut maka Gubernur Sumatera Barat meresmikan pemberhentian
dimaksud, dengan Keputusan Gubernur Sumatera tertanggal 31 Juli 2013,
bertepatan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013 tentang
permohonan uji materil (judicial review) terhadap Pasal 16 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Bahwa
kemudian ternyata Surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 161/3294/sj, tanggal 24 Juni
2013 perihal Pemberhentian Antarwaktu Anggota DPRD karena menjadi Anggota
Partai Politik lain atau Mengundurkan Diri telah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dimana seorang yang
mengundurkan diri dan akan dilakukan pemberhentian antar waktu harus
berdasarkan usulan partai politik.
Bahwa Surat Mendagri dimaksud adalah dalam
rangka usaha memberikan kepastian hukum atas kekosongan hukum yang terjadi
meskipun substansi dari Surat Mendagri cenderung telah bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disisi lain pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik yang diharapkan memberikan kepastian hukum sekaligus
keadilan ternyata tidak mampu memenuhi hal tersebut. Hal ini semakin menasbihkan sistem hukum Indonesia yang merupakan
warisan kolonial dalam wajah hukumnya yang semu antara ada dan tiada. Ada dalam
artian hukum dibentuk secara tertulis dan memberikan kepastian hukum namun
“tidak ada” dalam memberikan keadilan bagi masyarakat.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi
dalam Pengujian Pasal 16 Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011
Pengujian Pasal 16 ayat (3)UU tentang
Partai Politik, dilakukan oleh Rahmad Budiansyah Ritonga, G. Mayanto, Robert
Simanjuntak, Gusman Effendi, S.P , H. Ahmad Husin Situmorang, Rudi I.R Saragih,
S.P,M.Si , Drs. Sutan Napsan Nasution, Iwan Sakti , Effendi Sirait, Renjo
Siregar, Parlon Sianturi yang kesemuanya adalah anggota DPRD / Kota di Propinsi
Sumatera Utara yang partainya tidak ikut serta dalam Pemilu legislatif 2014
yang selanjutnya disebut dengan Pemohon.
Bahwa alasan diajukannya permohonan
tersebut yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik khusus Pasal 16 ayat (3) janggal karena
tidak mengakomodir keberlanjutan tugas, fungsi serta wewenang para Pemohon
sebagai anggota Legislatif yang tidak dapat ikut serta dalam Pemilu Tahun 2014,
karena Pemohon terpaksa pindah partai politik disebabkan partai Pemohon yang
lama bukan lagi sebagai peserta Pemilu Legislatif tahun 2014.
Bahwa dalam pokok permohonannya
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 16 ayat (3) UU Parpol telah melanggar hak
konstitusional para Pemohon yang dijamin Pasal 29 ayat (1), Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28 D ayat (1) dan (3) UUD 1945, serta tidak mengakomodasi keberlanjutan
tugas, fungsi serta wewenang para Pemohon sebagai anggota legislatif, karena
Pemohon tidak dapat melaksanakan tugas pengabdian sebagai wakil rakyat hingga
akhir masa bakti tahun 2014. Pemohon terpaksa pindah partai politik disebabkan
partai politik Pemohon yang lama bukan lagi sebagai peserta Pemilu legislatif
tahun 2014, sementara para Pemohon masih ingin untuk menjadi calon legislatif
tahun 2014. Ketentuan Pasal 16 ayat (3) yang diberlakukan secara umum tanpa
memperhatikan latar belakang partai politik telah memperlakukan secara sama
terhadap hal yang berbeda. Menurut Pemohon seharusnya ketentuan tersebut hanya
dapat diberlakukan bagi anggota legislatif yang partai politiknya sebagai
peserta Pemilu tahun 2014, bukan kepada para Pemohon yang partai politiknya
tidak sebagai peserta Pemilu tahun 2014.
Berdasarkan
hal tersebut, maka Mahkamah konstitusi mempertimbangkan pokok permohonan
sebagai berikut :
a)
Bahwa
legitimasi politik dalam sebuah konfigurasi harus dipertahankan, kecuali jika
terjadi hal-hal yang menyebabkan harus dilakukannya pergantian, karena pada
prinsipnya tidak ada boleh kekosongan keanggotaan DPR atau DPRD, karena
kekosongan keanggotaan akan menghambat terselenggara tugas negara.
Permasalahan
hukum yang para Pemohon, yaitu terjadinya perpindahan anggota partai politik
yang juga merupakan anggota DPR atau DPRD, untuk mencalonkan diri sebagai calon
anggota DPR atau DPRD dari partai politik lain pada periode Pemilu selanjutnya,
yang berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol mengharuskan yang
bersangkutan berhenti pula sebagai anggota DPR atau DPRD, mengandung
konsekuensi akan terjadinya kekosongan sebagian anggota DPR atau DPRD.
b)
Prinsip
pengisian kekosongan keanggotaan pada DPR atau DPRD harus didasarkan pada
partai politik sebagai peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat
(3) UUD 1945. Pada dasarnya partai politik adalah salah satu bentuk dan sarana
bagi warga negara untuk memperjuangkan haknya secara berkelompok demi kemajuan
masyarakat, bangsa dan negaranya. Setiap warga negara berhak mendirikan atau
menjadi anggota suatu partai politik dalam rangka memperjuangkan haknya. Hak
konstitusional tersebut dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945. Bahwa konstitusi tidak memberikan suatu pembatasan
bahwa seseorang tidak boleh pindah menjadi anggota partai politik lain atau
bahkan pada saat yang bersamaan seseorang tidak boleh menjadi anggota lebih
dari satu partai politik. Oleh karena itu tidak ada kewajiban konstitusional
seorang warga negara untuk pindah menjadi anggota partai politik lain atau
memilih salah satu atau beberapa partai politik dalam waktu bersamaan, sehingga
tidak ada kewajiban konstitusional pula bagi seorang warga negara untuk
berhenti dari keanggotaan salah satu partai politik karena menjadi anggota
partai politik lain. Pada sisi lain, seseorang yang telah masuk dan menyatakan
kesediaan untuk menjadi anggota dari suatu partai politik mempunyai kewajiban
untuk tunduk dan mengikuti disiplin dan aturan internal partai politik yang
bersangkutan.
Menurut Mahkamah
Konstitusi meskipun peran partai politik dalam proses rekrutmen telah selesai
dengan dipilihnya calon anggota DPR atau DPRD oleh rakyat melalui Pemilu, namun
partai politik tetap memiliki hak dan kebebasan untuk melakukan pemberhentian
terhadap anggota sesuai dengan aturan internal partainya. Hak demikian tidak
dapat dipaksakan untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dalam pemahaman yang
demikianlah, makna Pasal 16 ayat (3) UU Parpol, dalam hal seseorang telah
diberhentikan dari anggota partai politiknya berhenti pula keanggotaan yang
bersangkutan mewakili partai tersebut di lembaga DPR atau DPRD. Jika partai
politik melakukan pemberhentian anggota karena yang bersangkutan menjadi
anggota partai politik lain, untuk selanjutnya partai politik yang bersangkutan
berhak melakukan penggantian antarwaktu sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf
g UU Parpol. Hal ini juga berlaku apabila ada anggota DPR atau DPRD yang
mengundurkan diri, atau mangkat, maka mekanisme penggantian antarwaktu anggota
DPR atau DPRD merupakan hak dari parta politik yang bersangkutan.
c)
Menimbang
bahwa menurut Mahkamah mekanisme penggantianantarwaktu memungkinkan dilakukan
jika partai politik yang bersangkutan masih memiliki calon anggota DPR atau
DPRD dari partai politik peserta Pemilu yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap
sebagai pengganti. Jika partai politik tersebut tidak lagi memiliki calon
anggota DPR atau DPRD dalam Daftar Calon Tetap sebagai pengganti, sedangkan
anggota DPR atau DPRD yang mewakili partai politik tersebut keluar dari DPR
atau DPRD dan partai politik tersebut tidak melakukan penggantian antarwaktu,
maka akan terjadi kekosongan anggota DPR atau DPRD. Kekosongan keanggotaan juga
mungkin terjadi jika kepengurusan partai politik di tingkat regional sudah
tidak ada lagi, akibat anggotanya sudah bergabung dengan partai politik lain
atau partai politiknya sudah bergabung dengan partai politik lain, atau sebab
lainnya yang terkait dengan daerah pemilihan yang bersangkutan. Dalam hal demikian, penggantian antarwaktu
tidak mungkin dilakukan, sehingga menimbulkan masalah hukum yaitu kekosongan
keanggotaan DPR atau DPRD;
d)
Menimbang
bahwa Mahkamah akan mempertimbangkan apakah seseorang yang pindah menjadi
anggota partai politik lain serta merta berhenti menjadi anggota legislatif
yang sedang didudukinya. Dalam hal partai politik yang mencalonkannya sebagai
anggota DPR atau DPRD telah memberhentikannya sebagai anggota partai politik,
maka adalah hak konstitusional partai
politik yang mencalonkannya untuk menariknya menjadi anggota DPR atau DPRD dan
menjadi kewajiban pula bagi anggota partai politik yang bersangkutan untuk
berhenti dari anggota DPR atau DPRD. Dalam kerangka pemahaman yang
demikianlah, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol adalah
konstitusional. Akan tetapi, apabila
partai politik yang mencalonkan yang bersangkutan tidak memberhentikannya
sebagai anggota partai dan tidak juga menariknya sebagai anggota DPR atau DPRD,
walaupun yang bersangkutan telah menjadi anggota partai politik lain, tidak
serta merta berhenti pula menjadi anggota DPR atau DPRD. Hal demikian harus dilihat secara spesifik
kasus per kasus, sehingga tidak menimbulkan problem hukum dan problem
konstitusional yang baru. Hal utama yang harus dipertimbangkan adalah
mengapa partai politik yang mencalonkan yang bersangkutan tidak menarik
anggotanya yang pindah menjadi anggota partai politik lain, dan dengan alasan
apa yang bersangkutan pindah partai politik. Dalam kasus yang dipersoalkan oleh
para Pemohon, para Pemohon pindah menjadi anggota partai politik lain, oleh
karena partai politik yang semula mencalonkannya sebagai anggota DPR atau DPRD
tidak lagi sebagai peserta Pemilu.
Di beberapa daerah di
mana keanggotaan DPRD mayoritas diisi oleh partai yang tidak lagi ikut dalam
Pemilu tahun berikutnya, maka anggota DPRD secara massal juga akan melakukan
perpindahan ke partai politik lain yang menjadi peserta pada Pemilu berikutnya.
Dalam jumlah yang signifikan, perpindahan anggota DPRD ini akan menimbulkan
permasalahan dalam penggantian anggota yang mengakibatkan DPRD tidak akan dapat
melaksanakan tugas konstitusionalnya, padahal pada tingkat daerah, DPRD
merupakan bagian penting sebagai unsur dari pemerintah daerah bersama dengan
kepala daerah. Kekosongan keanggotaan, apalagi dalam jumlah yang signifikan,
akan menimbulkan persoalan legitimasi dan legalitas pengambilan keputusan
sehingga mengakibatkan kepincangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Menurut Mahkamah, dalam
kasus demikian terdapat dua masalah konstitusional yang harus dipecahkan, yaitu
pertama, tidak berfungsinya DPRD menjalankan tugas konstitusionalnya
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan kedua, terabaikannya hak
konstitusional warga negara yang telah memilih para wakilnya. Oleh karena itu,
untuk menjamin tetap tegaknya hak-hak konstitusional tersebut, Mahkamah harus
menafsirkan secara konstitusional bersyarat tentang Pasal 16 ayat (3) UU
Parpol, sehingga tidak menimbulkan persoalan konstitusional baru sebagai akibat
terjadinya kekosongan anggota DPR dan DPRD;
Berdasarkan hal tersebut, sampailah Mahkamah Konstitusinya pada
kesimpulan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan
Pemohon dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan.
Amar
Putusan tersebut sebagai berikut :
1.
Mengabulkan
permohonan para Pemohon untuk sebagian;
(1)
Pasal
16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5189) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi anggota
DPR atau DPRD jika:
A.
partai
politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu
atau kepengurusan partai poitik tersebut sudah tidak ada lagi,
B.
anggota
DPR atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai politik yang
mencalonkannya,
C.
tidak
lagi terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap dari
partai yang mencalonkannya”;
2.
Pemberhentian antarwaktu Anggota DPRD
Kabupaten Tanah Datar A.n Sasmita Syafnur.
Pertimbangan
Mahkamah Konstitusi di atas adalah dalam rangka upaya untuk mengisi “celah”
pada Pasal 16 ayat (3) UU Parpol, meskipun Mahkamah Konstitusi berpendapat persoalan ini harus dilihat
secara spesifik kasus per kasus (case by case). Dimana dalam hal anggota partai
politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, maka
diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat.
Bahwa
dengan terbitnya keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013
tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014, menimbulkan
persoalan tersendiri bagi anggota partai politik yang notabene masih berstatus
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah namun masih memiliki keinginan untuk
ikut “bertarung” dalam Pemilihan Legislatif Tahun 2014 yang akan datang.
Persoalan
tersebut diawali dengan persyaratan sebagaimana didalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dimana bakal calon
anggota DPRD harus memenuhi persyaratan antara lain “menjadi anggota Partai
Politik Peserta Pemilu”. Hal ini juga diperkeruh dengan Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD yang
mensyaratkan untuk melampirkan Surat Keputusan Pemberhentian atau Surat
Persetujuan pengunduran diri dari
pejabat yang berwenang bagi anggota DPRD Kabupaten.
Atas
dasar itulah dan ditambah keinginan yang kuat untuk kembali ikut serta dalam
Pemilihan Legislatif Tahun 2014, maka anggota DPRD yang Partai Politiknya tidak
ikut serta dalam Pemilihan Legislatif 2014 “terpaksa” mengundurkan diri dari
keanggotaan Partai Politiknya yang lama.
Bahwa
kemudian pengunduran diri tersebut tidak mendapat respon dari Partai Politiknya
yang lama, sebab rata-rata mereka adalah Pengurus Partai Politik tersebut. Hal
ini merupakan salah satu bentuk untuk mengantisipasi tidak terjadi
pemberhentian antarwaktu anggota DPRD yang berhenti karena mengundurkan diri.
Bahwa
berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman
Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD, disebutkan bahwa
pemberhentian anggota DPRD diusulkan oleh partai politik kepada Pimpinan DPRD
Kabupaten dengan tembusan kepada Gubernur. Oleh karena secara jelas tanpa
usulan dari pimpinan Partai Politik tidak bisa dilakukan pemberhentian antar
waktu.
Mengingat
jadwal dan agenda pelaksanaan Pemilu Legislatif telah disusun dan mulai
dilaksanakan, maka yang bersangkutan harus sesegera mungkin untuk memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan sebagaimana telah diterangkan di atas.
Dengan
adanya pengunduran diri yang diajukan ke Pimpinan DPRD Kabupaten, maka kemudian
Pimpinan DPRD Kabupaten harus sesegera mungkin pula untuk merespon situasi yang
sedang berlangsung. Dimana timbul persoalan pengunduran diri yang diajukan oleh
yang bersangkutan dilakukan secara “sporadik” tanpa adanya surat pemberhentian
dari partai politik yang lama. Hal ini kemudian menjadi persoalan yang rumit
bagi Pimpinan DPRD untuk melakukan atau tidak melakukan pemberhentian
antarwaktu, sebab secara administrasi yang bersangkutan telah mengajukan
pengunduran diri, namun faktanya yang bersangkutan masih tetap hadir dan
melaksanakan tugas rutinitas sehari-hari dalam jabatannya sebagai anggota DPRD.
Peliknya yang bersangkutan ikut ambil bagian pada Sidang Paripurna DPRD.
Bahwa
pada hakikatnya tidak ada kewenangan dari DPRD terhadap persoalan tentang
pindahnya keanggotaan Partai Politik seseorang sebab hal ini merupakan murni
domainnya internal partai politik itu sendiri. Namun adanya persyaratan Komisi
Pemilihan Umum tentang persyaratan bakal calon anggota DPRD yang menghendaki
adanya surat persetujuan pengunduran diri dari pejabat yang berwenang bagi
anggota DPRD, maka mau tidak mau Pimpinan DPRD harus menyikapi pesoalan ini.
Bahwa
kemudian keluarnya Surat Menteri Dalam Negeri RI Nomor 160/3294/SJ, tanggal 24
Juni 2013 perihal Penjelasan Hak-hak Anggota DPRD yang mengundurkan diri,
dimana dijelaskan “apabila pimpinan partai politik yang bersangkutan enggan
untuk mengusulkan pemberhentian antarwaktu, maka Pimpinan DPRD menyurati
Pimpinan Partai Politik yang bersangkutan untuk segera diusulkan pemberhentian
antarwaktu. Akan tetapi apabila dalam kurun waktu 14 (empat belas) hari
pimpinan partai politik yang bersangkutan tidak kunjung mengusulkan
pemberhentian antarwaktu, maka Pimpinan DPRD Kabupaten mengusulkan kepada
Gubernur, untuk selanjutnya diresmikan pemberhentian antarwaktu”. Selanjutnya
diterangkan pula bahwa peresmian anggota DPRD dimaksud berlaku sejak
ditetapkan.
Bahwa
surat Menteri Dalam Negeri RI dimaksud terbit adalah dalam rangka merespon
adanya persyaratan bagi anggota DPRD yang secara pribadi telah mengundurkan
diri, namun belum diresmikan pemberhentian antarwaktunya. Substansi surat
Mendagri dimaksud, pada prinsip memberikan interprestasi dan penafsiran
terhadap persoalan yang dihadapi oleh Pimpinan DPR/DPRD seluruh Indonesia
mengingat sebagian anggotanya “terpaksa” mengundurkan diri karena
keikutsertaannya dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014 yang secara instan telah
memberikan solusi terhadap proses pemberhentian antarwaktu anggota DPRD. Namun
disisi lain penjelasan Menteri Dalam Negeri tersebut cenderung inskontitusional
sebab didalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010, bahwa pemberhentian
anggota DPRD yang mengundurkan diri diusulkan oleh Partai Politik.
Memang
apabila dipandang dalam kerangka menjalankan tugasnya untuk menyelenggarakan
kepentingan umum, terkadang Mendagri dalam hal ini Pemerintah cenderung
untuk turut campur dalam kewenangan
lembaga negara lain. Hal ini merupakan bagian dari “freies Ermessen”. Tercakup pula dalam pengertian freies Ermessen membuat peraturan
tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya atau mengimplementasikan peraturan
yang ada sesuai dengan kenyataan. Pencakupan demikian disebut “discretionary
power”.[7]
Menurut
Jimly Asshidiqie, pada pokoknya Pejabat Pemerintah hanya sebagai aparat
pelaksana peraturan perundang-undangan produk DPR. Memang benar adanya bahwa
setiap pemerintah perlu diberikan hak untuk mengatur (povouir reglementair)
yaitu melalui apa yang disebut dengan “beleidsregels” atau “policy rules” di
luar bentuk undang-undang yang dihasilkan parlemen. Namun “policy rules” itu
hendaknya dibuat atas dasar perintah ataupun kuasa undang-undang. Karena itu
perlu dibedakan antara materi “policy rules” seperti ini dengan materi yang
seharusnya dibentuk dalam undang-undang, tetapi karena keadaan tertentu harus
dibuat dalam bentuk peraturan di bawah tingkat undang-undang.[8]
Bahwa
Surat Mendagri dimaksud cenderung sebagai legislasi semu (pseudo wetgeving),
yang merupakan kebijakan bukan peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam
keadaan mendesak yang mengharuskan diterbitkannya mengeluarkan legislasi.
Pimpinan
DPRD selanjutnya memproses pemberhentian antarwaktu anggota DPRD yang
mengundurkan diri, meskipun tanpa atau dengan usulan pimpinan partai politik
setelah melewati tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak disuratinya
pimpinan partai politik.
Sesuai
dengan mekanisme pemberhentian antarwaktu anggota DPRD, maka paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul
pemberhentian[9],
pimpinan DPRD menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD kepada
gubernur melalui bupati untuk memperoleh peresmian. Selanjutnya paling lama 7
(tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian, bupati menyampaikan usul
tersebut kepada gubernur.
Apabila
bupati tidak menyampaikan usul tersebut, maka pimpinan DPRD dapat langsung
menyampaikannya kepada gubernur. Gubernur
meresmikan pemberhentian anggota DPRD paling lama 14 (empat belas) hari
sejak diterimanya usul pemberhentian.
Bahwa
untuk kasus yang dialami oleh Sasmita Syafnur anggota DPRD Kabupaten Tanah
Datar, yang mengajukan diri pada tanggal 11 Mei 2013 dan kemudian diproses oleh
Pimpinan DPRD Kabupaten Tanah Datar yang ditujukan kepada Bupati Tanah Datar
melalui Surat Nomor 172/325/DPRD-TD/2013 tanggal 22 Juli 2013 perihal Peresmian Pemberhentian Antarwaktu Anggota
DPRD Kabupaten Tanah Datar. Bahwa Bupati Tanah Datar selanjutnya menyampaikan
usulan dimaksud kepada Gubernur Sumatera Barat melalui Surat Nomor
130/973/PUM-2013, tanggal 25 Juli 2013 perihal Penyampaian Usulan Pemberhentian
Antarwaktu Anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar Masa Jabatan 2009-2014 dari
Partai Bintang Reformasi.
Memenuhi
maksud tersebut, selanjutnya Gubernur Sumatera Barat meresmikan pemberhentian
Sdr. Sasmita Syafnur dari anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar dengan Keputusan
Gubernur Sumatera Barat Nomor 171-650-2013 tentang Peresmian Pemberhentian
Anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar, tanggal 31 Juli 2013. Keputusan Gubernur
Sumatera Barat tersebut bersamaan dengan hari ditetapkannya Putusan Mahakamah
Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013.
3.
Penemuan Hukum oleh Mahkamah
Konstitusi dan Legislasi Semu oleh Menteri Dalam Negeri
Dalam prakteknya seorang hakim dalam
mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas
tentang fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara tersebut. Oleh karena itu,
Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusannya terlebih dahulu harus menemukan
fakta dan peristiwa yang terungkap di pengadilan baik dari pihak-pihak yang
berperkara. Di dalam Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa
adanya perkara di Mahkamah Konstitusi disebabkan oleh adanya permohonan yang
pihak-pihak sebagaimana telah dikualifikasi dalam Pasal 51 Undang-Undang
tentang Mahkamah Kontitusi yakni, perorangan, lembaga Negara, badan hukum
publik atau privat dan masyarakat hukum adat yang hak konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang dalam hal ini Undang-undang
tentang Partai Politik.
Dalam hal pemeriksaan tersebut
dilakukan, maka hakim wajib berusaha menemukan hukumnya secara tepat terhadap
peristiwa tersebut yakni bersumber dari Undang-Undang Dasar dan peraturan
perundang-undangan lainnya ; Yurisprudensi peradilan, konvensi ketatanegaraan ;
Hukum Internasional tertentu ; doktrin ahli hukum tertentu.
Dalam perkara a quo, apabila kita
menilik sumber hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim akan terlihat pada
pertimbangan hukum putusan a quo.
Dalam
hal terjadi kekosongan hukum, dimana undang-undang tidak dapat menjangkau
sebuah permasalahan hukum, maka dilakukan penemuan hukum sehingga putusan yang
dijatuhkan hakim dapat mengisi celah ruang kosong yang ditinggalkan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan tertulis.
Meskipun
penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu
perkara, setiap orang yang berkepentingan dalam suatu perkara dapat melakukan
penemuan hukum. Selain hakim, penemuan hukum juga dilakukan oleh pengacara atau
advokat beracara di pengadilan dan oleh ilmuwan hukum melalui doktrin hukum
yang dikemukakannya. Pada dasarnya, setiap sarjana yang berkecimpung di dunia
hukum senantiasa berhadapan dengan peristiwa hukum konkrit yang ditemukan dasar
hukumnya dan dipecahkan secara hukum. Namun, penemuan hukum yang dinilai dan
diakui memiliki wibawa hukum adalah penemuan hukum yang dihasilkan oleh hakim
karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum melalui putusan[10].
Dari
persoalan yang terjadi, maka “ruh” dari persoalan diatas adalah 1) apakah
pemberhentian anggota DPRD harus dilaksanakan berdasarkan usulan partai politik.
2) apakah pemberhentian seorang anggota partai politik yang pindah partai harus
diikuti dengan pemberhentiannya sebagai anggota DPRD. Persoalan tersebut
kemudian dilakukan melalui gagasan dan praktik penemuan hukum. Dalam fakta
kasus tersebut, ternyata terdapat 2 (dua) institusi yang melakukan
interprestasi dan penafsiran yang bermuara pada penemuan hukum yakni Menteri
Dalam Negeri RI dengan Surat Nomor
161/3294/Sj, tanggal 24 Juni 2013 perihal Pemberhentian Antarwaktu Anggota DPRD
karena Menjadi Anggota Partai Politik Lain atau karena Mengundurkan Diri.
Selanjutnya Penemuan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana
yang terlihat dalam putusan aquo.
Bahwa
terbitnya Surat Mendagri dimaksud, merupakan suatu terobosan terhadap Pasal 102
ayat (2) dan Pasal 103 ayat (1) PP Nomor 16 Tahun 2010, dimana terdapat
kekosongan hukum (recht vakuum) dari pasal dimaksud, apabila kewenangan untuk
mengusulkan pemberhentian anggota parpol tidak digunakan ataupun enggan
digunakan oleh pimpinan partai politik. Disadari keengganan dimaksud
diakibatkan anggota parpol yang pindah partai tersebut, merupakan pengurus
partai politik dimana partai politiknya pun dalam masa kevakuman politik
mengingat tidak lolos verifikasi partai politik yang ikut serta dalam Pemilu
Legislatif 2014. Umumnya pelaksanaan tugas kepartaian pun hanya dilaksanakan
oleh 2 (dua) orang saja yakni Ketua Umum dan Bendahara Partai. Sedangkan
pengurus lain sebagian besar yang tidak menjadi anggota DPRD pada masa itu banyak yang berhenti karena
pindah partai untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon anggota DPRD ataupun
memang secara faktual benar-benar berhenti dari kegiatan dan urusan partai (non
aktif).
Surat
Mendagri ini pula sebagai antisipasi atas hak keuangan anggota DPRD yang telah
mengundurkan diri, dimana terkait dengan
Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 160/3385/SJ, Tanggal 27 Juni 2013
perihal Penjelasan Hak-hak Anggota DPRD yang mengundurkan diri, menegaskan
bahwa pemberhentian hak protokoler dan keuangan Anggota DPRD berlaku sejak
ditetapkan keputusan peresmian pemberhantian oleh Gubernur.
Bahwa
kedudukan Sdr. Sasmita Syanur yang secara faktual masih aktif menjalankan
tugasnya sebagai anggota DPRD, karena belum resmi diberhentikan oleh Gubernur
Sumatera Barat sebab persyaratan proses pemberhentian sebagai anggota DPRD nya
tidak lengkap, sementara yang bersangkutan telah menjadi anggota partai politik
lain dan telah mengundurkan diri yang suratnya ditembuskan kepada Pimpinan DPRD
Kabupaten Tanah Datar.
Bahwa
langkah antisipasi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri ini terkait
pemberhentian dimaksud, seharusnya dipahami secara spesifik dan kasus per
kasus. Sebab menurut Penulis, pemahaman Menteri Dalam Negeri yang demikian
hanyalah merupakan pengkontruksian hukum atas penafsiran dan interprestasi
Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 103 ayat (3) dalam kerangka adanya persyaratan
Komisi Pemilihan Umum yang meminta surat persetujuan pengunduran diri sebagai
anggota DPRD yang oleh karenanya secara prosedural juga harus ditindaklanjuti
dengan peresmian pemberhentian antarwaktunya.
Konstruksi
hukum yang semacam inilah kemudian hanya mampu menjawab persoalan hanya pada
periode waktu dan ruang masa itu, namun tidak memberikan solusi yang tepat
untuk menjawab persoalan yang akan timbul dimasa yang akan datang.
Pada
sisi lain pengujian UU Parpol, yang pada hakikatnya disebabkan persoalan yang
sama dengan yang dialami oleh Sdr. Sasmita Syafur dari perspektif penemuan hukum adalah dalam kerangka yang lebih
konkrit untuk menentukan kedudukan hukum si Pemohon.
Pendapat
Mahkamah Konstitusi tentang 2 (dua) hal yang harus dipecahkan yakni pertama, tidak berfungsinya DPRD dalam
menjalankan tugas, tentu dapat dipahami sebab jika pemberhentian Sdr. Sasmita
Syafnur tanpa usulan partai politik dilaksanakan tentu konsekuensinya harus ada
penggantian antarwaktu oleh Pimpinan DPRD. Dimana Pasal 107 ayat (1) PP 16 Tahun 2010, dinyatakan
“Pimpinan DPRD menyampaikan nama anggota DPRD yang diberhentikan antarwaktu dan
meminta nama calon pengganti antarwaktu dengan melampirkan fotokopi daftar
calon tetap dan daftar peringkat perolehan suara partai politik yang
bersangkutan yang telah dilegalisir, kepada KPU dengan tembusan kepada Pimpinan
Partai politik yang bersangkutan. Oleh karenanya sejak usulan pemberhentian
antarwaktu tersebut telah ada nama usulan penggantian antar waktu yang akan
diresmikan oleh Gubernur. Faktanya hal tersebut telah melangkahi proses yang
telah ditentukan. Kedua, terabaikannya hak konstitusi warga yang telah memilih
para wakilnya. Hal ini jelas akan menghilangkan peran anggota DPRD yang
terpilih di daerah konstituennya. Sebab yang bersangkutan terpilih adalah dalam
rangka sebagai representasi para pemilihnya di daerah pemilihan.
Bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, konstitusi tidak
memberikan suatu pembatasan bahwa seseorang tidak boleh menjadi anggota partai
poltik, bahkan pada saat yang bersamaan seseorang tidak boleh menjadi anggota
lebih dari satu partai politik. Oleh karena itu tidak ada kewajiban
konstitusional seseorang warga negara untuk pindah menjadi anggota partai
politik lain atau memilih salah satu partai politik karena menjadi anggota
partai politik lain.
Oleh
karenanya terdapat pertentangan antara pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi
dengan penjelasan Menteri Dalam Negeri. Mengutip pendapat Sudikno, maka
penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim lebih dinilai dan diakui memiliki
wibawa hukum.
Berdasarkan beberapa literatur
diantaranya pendapat Achmad Ali, SH, MH, metode penemuan hukum oleh hakim dalam
praktiknya dapat dibedakan atas 2 (dua) yakni :
a)
Metode
Penafsiran yakni metode penafsiran terhadap teks undang-undang dengan tetap
berpegang pada bunyi teks tersebut ; sedangkan
b)
Metode
Konstruksi yakni hakim mempergunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan
lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi berpegang pada
bunyi teks itu tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu
sistem.
Jika kita melihat unsur dari penemuan
hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konsitusi tersebut adalah kepastian hukum,
keadilan dan manfaat dimana unsur tersebut memilki nilai peranan yang sama dan
saling mengisi. Dalam perkara a quo, maka
jelas terlihat pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara ini adalah untuk mengisi kekosongan hukum seandainya
terdapat pemberhentian anggota DPRD yang pindah partai dan tidak ada
penggantinya. Oleh karenanya terlebih dahulu memberikan kepastian hukum atas
celah yang ditinggalkan hukum itu sendiri. Dalam konteks penemuan hukum, maka
seorang hakim terlebih dahulu penafsiran hukum atas peraturan perundang-undangan tertulis baru
kemudian dilanjutkan dengan konstruksi hukum, namun adakalanya proses yang
dilakukan dapat terbalik.
Dalam konteks penemuan hukum oleh
Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo, maka penemuan hukum penting bagi hakim
karena dalam mengadili suatu perkara hakim lebih mementingkan fakta atau
peristiwa daripada hukumnya. Bagi Hakim, bunyi ketentuan hukum adalah hanyalah
alat, sedangkan fakta atau peristiwa lebih menentukan daripada ketentuan hukum[11].
Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek
Sri Djamiati, penemuan hukum dilakukan melalui dua teknik, yaitu interprestasi
dan teknik konstruksi hukum yang mencakup : analogi, penghalusan atau penyempitan
hukum (rechtsvernijning) dan argumentum a contrario[12]
Ada perbedaan pandangan tentang
metode atau penemuan hukum oleh hakim antara yuris Eropa Kontinental dengan
yuris Anglo Saxon. Pada umumnya, yuris Eropa Kontinental tidak memisahkan
secara tegas antara metode interprestasi dengn metode konstruksi. Sebaliknya,
pemikir si Anglo Saxon, L.B Curzon (Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, suatu
kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta, 1996. Hal.154),
membuat pemisahan yang tegas antara Metode interprestasi dengan konstruksi.
Perbedaan prinsip antara interprestasi dan konstruksi yaitu interprestasi atau
penafsiran terhadap teks UU masih tetap berpegang pada bunyi teks itu,
sedangkan pada konstruksi, hakim menggunakan penalaran logis untuk mengembangkan
lebih lanjut suatu teks UU, dimana hakim sangat mungkin tidak lagi berpegang
pada bunyi teks atau bahkan mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.
Dalam perkara ini ada kecenderungan
Mahkamah Konstitusi untuk melakukan konstruksi hukum, hal ini terlihat dalam
putusannya yang konstitusional bersyarat sebagaimana dinyatakan dalam
pertimbangannya. Pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung lahir atas
pemeriksaan perkara yang kemudian diterapkn secara umum terhadap Pasal yang
dilakukan pengujian.
Pemaknaan tersebut adalah dalam
rangka memenuhi lebih diarahkan untuk
memenuhi prinsip keadilan dibandingkan apakah pasal yang diujikan bertentangan
dengan UUD 1945, sebagaimana kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam perjalanannya tidak bisa
untuk tidak melaksanakan kewenangannya hanya dalam rangka menguji hal-hal
tekstual dalam UUD 1945. Sebab seorang hakim dihadapkan pada 3 (tiga) kondisi
yang harus dipenuhi yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
4.
Bentuk dan Kekuatan Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam suatu peradilan adalah
merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara yang berwenang yang diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri
sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Terhadap putusan lah seseorang
menggantungkan kepentingan hukumnya dalam suatu perkara dan tentang kepastian
hukum.
Penemuan hukum yang dilakukan oleh
hakim pada prinsipnya dikonkritisasikan dalam sebuah amar putusan. Oleh
karenanya tidak ada penemuan hakim apabila tidak putusan dalam sebuah perkara.
Berdasarkan Pasal 56 UU MK, maka
diterangkan bentuk putusan Mahkamah Konstitusi, yakni : pertama, tidak dapat menerima ; kedua,
mengabulkan dan ketiga, menolak. Meskipun pada kenyataannya Mahkamah Konstitusi
tidak secara kaku menerapkan hal tersebut, dimana pada kasus dimaksud, Mahkamah
Kontitusi yang mengadili dan memutus perkara telah menjatuhkan putusan bahwa UU
Parpol tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai , dikecualikan
pada hal-hal tertentu yang dinyatakan dalam putusan tersebut. Hal ini secara
teori yang dikemukakan para ahli merupakan bentuk putusan bersyarat
(conditionally constitusional).
Menurut Harjono, conditional
constitusional dapat digunakan untuk 2 (dua) tujuan, pertama, dipakai untuk mempersoalkan konstitusional sebuah pasal. Kedua, dapat digunakan mengajukan gugatan ke
peradilan biasa oleh mereka yang dirugikan oleh peraturan yang ditafsirkan
berbeda[13].
Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi
yang berdimensi penemuan hhukum menyulut pendapat pro dan kontra. Kalangan yang
pro terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang berdimensi hukum
berargumen bahwa menafsirkan konstitusi tidak hanya bersandar pada penafsiran
tekstual, fleksibel dan ekstensif demi mewujudkan kepastian hukum dan keadilan.
Sementara kalangan yang kontra berargumen putusan MK menunjukan putusan yang
melampaui kewenangannya.
Sejak awal keberadaanya, MK didesain
untuk mengawal konstitusi dalam arti menjaga agar UU konsisten, sejalan dan tidak
bertentangan dengan UUD. Dalam hal ini, ada semacam sekat konstitusionalisme
yang membatasi secara tegas MK sebagai peradilan konstitusi tidak mencampuri
kekuasaan legislatif. [14]
Dalam tugas dan kewenangan yang
demikian, seharusnya MK tidak boleh membuat putusan yang bersifat yang
mengatur, tidak boleh membatalkan UU atau isi UU yang oleh UUD dinyatakan
terbuka (diserahkan pengaturannya kepada legislatif)dan tidak boleh pula
membuat putusan yang ultra petita, apalagi
ultra petita yang bersifat positive legislature. Dengan kata lain
pelanggaran terhadap asas ini bisa dikatakan sebagai pencideraan terhadap
prinsip pemisahan kekuasaan dan checks
and balances yang dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia[15].
Dalam konteks peradilan konstitusi
oleh MK, menurut hakim konstitusi , larangan ultra petita tidak dapat
diterapkan karena hukum acara peradilan konstitusi berbeda dengan hukum acara
perdata. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada 5 (lima) pertimbangan hukum mengapa MK
menjatuhkan putusan Ultra Petita.
Pertama, sengketa MK bukanlah sengketa orang-perorangan seperti dalam
peradilan perdata, tetapi mengenai persolan hukum tata negara yang prinsipnya
sangat berbeda dengan peradilan perdata. Lagipula petitum Pemohon sering menyertakan permohonan putusan yang seadil-adilnya
(et aequo et bono) yang member
kewenangan mengabulkan putusan yang tidak diminta Pemohon. Kedua, Pengujian UU adalah menyangkut kepentingan umum, meskipun
yang mengajukan adalah orang-perorang. Sehingga akibat hukum dari putusan MK
bersifat erga omnes, yaitu berlaku untuk seluruh masyarakat
atau pihak. Oleh karena itu, jika kepentingan umum menghendaki maka Hakim
Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan atau Petitum yang diajukan. Ketiga,
pasal undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya merupakan
“jantung” undang-undang sehingga pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat artinya seluruh pasal undang-undang tersebut tidak
dapat dilaksanakan. Keempat, putusan Ultra
Petita juga lazim dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi di negara lain. Kelima, tidak ada aturan dalam Undang-Undang Dasar
1945 yang melarang atau membolehkan
putusan Ultra Petita.[16]
Putusan Ultra Petita oleh MK sebetulnya tidak perlu sama sekali dilarang. Dalam
kasus dan kondisi tertentu, putusan Ultra
Petita boleh sangat jadi diperlukan sebaga solusi ketika menemui impase
konstitusional atau jalan buntu hukum. Lagipula, karakter peradilan
konstitsuional di MK berbeda dengn karakter peradilan perdata yang melarang
putusan Ultra Petita. Pelarangan sama
sekali atas MK manjatuhkan Ultra Petita akan
berpotensi menyurutkan kreasi hakim konstitusi melakukan penemuan hukum. Akan
tetapi, pada sisi lain, MK sebaliknya tidak boleh menjatuhkan putusan Ultra Petita tanpa batas dengan dalih atas nama kebebasan
hakim.
Bahwa putusan MK dalam perkara
tersebut mengandung makna bahwa Mahkamah Konstitusi mencoba memberikan jawaban
atas persoalan atas perkara yang sedang diujikan. Persolan tersebut dijawab
dengan sebuah putusan yang melebihi dari apa yang dimintakan oleh Pemohon.
Pemaknaan atas pasal undang-undang yang diujikan merupakan putusan yang Ultra Petita. Meskipun dari awal
Mahkamah Konstitusi berpendapat hal ini harus dipandang secara spesifik dan
kasus per kasus, namun implikasinya tentu berakibat secara umum pada pasal yang
diujikan. Bentuk konstruksi hukum dari putusan yang Ultra Petita, merupakan sarana untuk menjawab persoalan-persoalan
yang tidak bisa dijawab oleh hukum positif semata.
Bahwa akibat hukum yang timbul
putusan MK terhadap perkara a quo, diatur dalam Pasal 58 UU MK yakni :
“Undang-undang
yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan yang
menyatakan bahwa Undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945”.
Ini berarti bahwa putusan hakim MK
yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak boleh berlaku surut. Akibat
hukum yang timbul dari putusan itu dihitung sejak putusan tersebut diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum. Oleh karenanya, akibat hukum yang timbul
berlakunya suatu undang-undang sejak diundangkannya sampai diucapkannya putusan
yang menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetap sah
dan mengikat.[17]
Bertalian dengan Pasal 47 UU MK,
dimana dinyatakan : Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Oleh karenanya
penerapan Putusan dalam perkara pengujian UU Parpol tidak berlaku surut dimana
putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam sidang
pleno terbuka pada tanggal 31 juli 2013, Pukul 14.05 WIB.
Dalam pertimbangannya Putusan MK
dimaksud tidak pernah membahas satupun implikasi hukum yang telah terjadi
terkait dengan status hukum para Pemohon yang telah berhenti sebagai anggota
DPRD karena pindah partai politik. Oleh karenanya Putusan MK tidak memiliki
kekuatan hukum untuk mengakomodir akibat pasal yang diujikan sebelum lahirnya
Putusan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa sehubungan dengan terbitnya
Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 171-649-2013 tentang Persemian
Pemberhentian Anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar, tanggal 31 Juli 2013 A.n Sdr.
Sasmita Syafnur, maka timbul persoalan tentang bagaimana kedudukan hukum Sdr.
Sasmita Syafnur pasca Keputusan Gubernur Sumatera Barat dan putusan MK ?
Berdasarkan pembahasan di atas, maka
putusan MK mempunyai kekuatan hukum sejak pukul 14.05 WIB, tanggal 31 Juli
2013. Sehingga perlu dilihat waktu terbitnya Keputusan Gubernur Sumatera Barat,
sebab apabila keputusan Gubernur Sumatera barat dikeluarkan sebelum Putusan MK,
maka putusan MK tidak bisa memulihkan keadaan hukum yang sudah ada.
Bahwa kemudian telah dilakukan
klarifikasi ke Gubernur berkenaan implikasi
Putusan MK terhadap keputusan Gubernur Sumatera Barat melalui Surat
Bupati Tanah Datar Nomor 130/1065/PUM-2013, tanggal 21 Agustus 2013 perihal
Mohon Penjelasan, yang intinya meminta penjelasan dengan status hukum Sdr.
Sasmita Syanur sebagai anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar. Dimana Gubernur
Sumatera Barat melalui Surat Nomor 171.13/058/Pem-2014, tanggal 21 Januari 2014
perihal PAW anggota DPRD, menegaskan bahwa pemberhentian antarwaktu Anggota
DPRD yang tidak menjadi peserta pemilu 2014 serta telah diresmikan
pemberhentianya sebelum Putusan MK Nomor 39/PUU-XI/2013 tanggal 31 Juli 2013
yang dibacakan pada pukul 14.05 WIB dinyatakan berlaku, sebagaimana ditegaskan
Surat Edaran Mendagri Nomor 161/3294/Sj tanggal 24 Juni 2013, sehingga oleh
karenanya Peresmian PAW Anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar dari Partai Bintang
Reformasi dikeluarkan sebelum dibacakannya Putusan MK RI tetap berlaku dan yang
bersangkutan bukan lagi menjadi anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar.
Berdasarkan hal tersebut, Sdr.
Sasmita Syafnur merasa keberatan karenanya ada indikasi Keputusan Gubernur
Sumatera Barat cacat hukum, karena tidak melalui prosedural sebagaimana yang
telah diamanatkan dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 jo PP 16 Tahun 2010 sehingga
terbuka untuk diajukan pada Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini disinyalir
Gubernur Sumatera Barat menafsirkan kasus pemberhentian Anggota DPRD Kabupaten
Tanah Datar adalah dalam wilayah Putusan MK Nomor 39/PUU-XI/2013 tanggal 31
Juli 2013, hanya karena status yang bersangkutan adalah anggota Partai Politik
yang tidak ikut serta dambangklam Pemiliu 2014 dan diresmikan pemberhentiannya
dilakukan sebelum putusan MK a quo.
Padahal yang seharusnya
dipertimbangkan oleh Gubernur Sumatera Barat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara
selain hal yang bersifat kewenangan tetapi juga mesti mempertimbangkan
prosedural dan substansi pemberhentian yang jelas mengandung cacat hukum.
Mempertimbangkan putusan MK a quo,
maka Pasal 16 ayat (3) UU Parpol tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang
PAW anggota DPR atau DPRD tidak diberhentikan oleh Partai Politiknya. Hal ini
diperkuat dengan Surat Dewan Pimpinan Wilayah Partai Bintang Reformasi Sumatera
Barat Nomor 0297/A/DPW-PBR/SB/X/2013, tanggal tanggal 13 April 2013 perihal
Rekomendasi Bacaleg, menjelaskan bahwa Partai Bintang Reformasi tidak melakukan
penggantian antarwaktu kepada Sdr. Sasmita Syafnur.
5.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang Ultra Petita antara Kepastian hukum dan keadilan
dalam Penegakan hukum yang progresif dan Responsif
Manusia merupakan mahluk sosial, yang
memiliki kecendrungan untuk berinteraksi dengan lingkungannya baik alam maupun
dengan sesamanya. Kecenderungan tersebut didasarkan atas usaha untuk
mempertahankan kehidupannya yakni dalam rangka “self defend” sehingga tujuan
kehidupannya dapat terwujud. Oleh karenanya Aristoteles (384-322 SM), seorang
ahli filsuf Yunani, menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon
politicon.
Bahwa interaksi manusia dengan
sesamanya sebagai mahluk sosial, meciptakan sebuah masyarakat. Masyarakat
dijadikan sebagai sarana manusia untuk berhubungan, hidup sampai manusia itu
meninggal dunia.
Pergaulan manusia diatur oleh
berbagai kaidah atau norma, yang pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang
tertib dan tenteram. Didalam pergaulan tersebut, manusia mendapatkan
pengalaman-pengalaman tentang bagaimana memenuhi kebutuhan pokok atau primary needs, yang antara lain mencakup
sandang, pangan, papan, keselamatan jiwa dan harta, potensi untuk berkembang,
dan kasih sayang. Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai
positif maupun negatif, sehingga manusia mempunyai konsepsi-konsepsi abstrak
mengenai apa yang baik dan harus dianuti, mana yang buruk dan harus dihindari.
Sistem nilai-nilai tersebut sangat berpengaruh terhadap pola-pola berpikir
manusia, yang merupakan suatu pedoman mental baginya [18]
Dalam perkembangannya pola perilaku
yang berkembang dan berlaku di dalam masyarakat dengan pola perilaku yang
seharusnya dan dikehendaki oleh kaidah-kaidah hukum terjadi perbedaan penerapan.
Oleh karenanya kaidah-kaidah hukum yang seharus cenderung untuk “memaksakan”
penerapannya, padahal hal kemudian hal tersebut tidak sesuai dengan patokan
perilaku yang ada. Akibatnya tidak ada perasaan moral dan keadilan didalam
masyarakat.
Didalam masyarakat bagaimanapun
keadaannya, baik di dalam masyarakat modern maupun dalam masyarakat sederhana
(bersahaja) yang namanya keadilan dan kepastian hukum tetap merupakan
kebutuhan. Karena kebutuhan dan keadilan dan kepastian hukum itu ada dalam
suatu masyarakat, maka masyarakat itulah yang menciptakan kaedahnya, lalu
diakui secara kolektif.[19]
Meskipun sebagian para ahli
berpendapat bahwa antara kepastian hukum dan keadilan terkadang tidak sejalan dan malahan bertentangan jika
dilihat dari tujuan dibuatnya hukum. Namun penulis agaknya sedikit berbeda
pendapat, meskipun terkadang bertentangan, namun antara keadilan dan kepastian
hukum tidaklah dapat dipisahkan karenan keduanya saling mengisi. Pendapat yang
demikian pada dasarnya hanyalah semata bahwa keduanya adalah hal yang berbeda
sehingga timbulah sinstesi dan teori yang mengklasifikasi bahwa antara hukum
sebagai penjelmaan kepastian hukum dan moral sebagai penjelmaan keadilan harus
dipisahkan.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
tujuan hukum itu sangat beragam dan berbeda-beda. Dari pendapat itu Ahmad Ali
mengklasifikasikan 3 (tiga) tujuan hukum yang selama ini berkembang :
1.
Aliran
etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu semata-mata hanya
untuk mencapai keadilan.
2.
Aliran
utilities, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu hanyalah
untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagian di masyarakat.
3.
Aliran
normative yuridis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu
adalah menciptakan kepastian hukum[20].
Pandangan yang menganggap tujuan
hukum semata-mata hanyalah keadilan belaka, diragukan keadilan itu sendiri
sebagai sesuatu yang abstrak. Keadilan dapat berwujud kemauan yang sifatnya
tetap dan terus-menerus untuk memberikan bagi setiap orang apa yang menjadi
haknya, dan ada pula yang melihat keadilan itu sebagai pembenaran bagi
pelaksanaan hukum yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan.
Pemikiran aliran normatif dan yuridis
bersumber pada positivisme yang beranggapan hukum sebagai sesuatu yang otonom
dan mandiri, tidak lain hanyalah kumpulan aturan yang terdapat dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan atau hukum
yang tertulis saja.[21]
Bahwa dalam perkara a quo, Mahkamah
Konstitusi mencoba menafsirkan dan mencari pertentangan Pasal 16 ayat (3) UU
Parpol dengan UUD 1945, dengan kata lain Mahkamah Konstitusi mencoba mencari
nilai keadilan dari sebuah norma. Bahwa kemudian menurut Mahkamah Konstitusi
Dalam
perkara yang diujikan tersebut, hakim mencoba untuk merespon gejala-gejala yang
sedang dihadapi oleh masyarakat, dimana masyarakat menghendaki perubahan
paradigma mengenai hak seseorang dalam statusnya sebagai anggota Partai Politik
sekaligus anggota DPRD. Paradigma yang ada dalam UU Partai Politik tidak
memberikan keadilan yang substantif bagi mereka, sehingga jika diterapkan maka
mengakibatkan pelanggaran hak bagi mereka.
Kendati
kemudian telah keluar putusan yang memberikan makna terhadap pasal yang
diujikan, memang telah memberikan secerca harapan bagi pemohon. Sebab hak
mereka sebagai representasi wakil rakyat tidak terabaikan dengan pemberlakuan
pasal 16 ayat (3) UU Partai Politik. Namun adanya Pasal 47 dan 58 UU MK, bahwa
putusan Mahkamah Konstitusi baru mempunyai kekuatan hukum tetap sejak dibacakan
dalam sidang pleno terbuka untuk umum, kemudian seolah-olah meniadakan harapan
itu. Mengingat kondisi yang telah terjadi tidak bisa pulihkan dengan tidak bisa
berlaku surutnya putusan Mahkamah Konstitusi.
Keadilan
yang substantif dapat dikatakan sebagai sebenar keadilan (true justice) yang
pencariannya, penegakannya dibutuhkan substansi, pemikiran dan tindakan
progresif serta sebuah keberanian untuk keluar dari kungkungan kotak sistem
(out of the box). Karakter-karakter tersebut terpenuhi dalam Teori Hukum
Progresif. Satjipto Raharjo sebagai penggagas hukum progresif mengatakan bahwa rule breaking sangat penting dalam
sistem penegakan hukum.[22]
Menurut
Satjipto Raharjo, ada 3 cara untuk melakukan rule breaking, yaitu : [23]
1.
Mempergunakan
kecerdasan sprituil untuk bangun dari keterpurukan hukum dan tidak membiarkan
diri terkekang cara lama ;
2.
Pencarian
makna lebih dalam hendanya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan
bernegara hukum ;
3.
Hukum
hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan,
kepedulian dan keterlibatan (compassion) kepada kelompok yang lemah.
Beranjak
dari hal tersebut, maka Mahfud M.D berpendapat bahwa terkait dengan soal
keadilan substantif, dalam beberapa kesempatan, banyak kalangan mempersoalkan
bahwa upaya untuk mencapai keadilan substantif sulit dilakukan karena sulit
diukur dan tidak ada kriteria baku untuk menentukan apa itu keadilan
substantif. Keadilan itu bersifat nisbi atau relative karena tergantung
pandangan subyektif, berbeda dengan bunyi undang-undang yang isinya menekankan
unsur kepastian[24].
Selain
itu , untuk menghindari kesan MK suka dan sering melampaui ketentuan
prosedural, perlu dipahami bahwa upaya MK mewujudkan keadilan substantif
sebagaimana yang selama ini digelorakan, harus dibaca sebagai upaya MK
menegakkan keadilan dengan tidak semata-mata mengedepankan keadilan prosedural
tetapi juga juga keadilan substantif. Artinya, MK tak bisa lantas seenaknya
mengabaikan ketentuan prosedural atau menerobos undang-undang. Dalam hal
undang-undang sudah mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim wajib berpegang
pada undang-undang tersebut. Apalagi berdasarkan sistem UUD 945, MK diperbolehkan atau
dimungkinkan membuat putusan yang keluar dari undang-undang hanya jika
undang-undang itu “mengerangkeng” keyakinan MK untuk menegakkan keadilan.[25]
Penyebaran
gagasan hukum progresif diawali oleh Satjipto Raharjo, guru besar Emiritus pada
Fakultas Hukum Diponegoro. Menurut Satjipto, hukum progresif pada prinsipnya
bertolak dari 2 (dua) komponen dasar dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku
(rule and behavior). Landasan hukum progresif didasarkan pada 2 (dua) asumsi
pokok. Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Berangkat dari asumsi
ini, maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu
yang lebih luas dan besar. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan dalam
hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki bukannya manusianya
yang dipaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Kedua, hukum bukan
institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses
untuk terus-menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat
kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan di sini bisa direfleksi ke
dalam faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain.
Inilah yang oleh Satjipto Raharko dikatakan hakikat “ hukum yang selalu dalam
proses menjadi (law as process law in the
making) [26].
Pembentukan
hukum oleh hakim dalam konsep hukum responsive dari Jhon Merryman menyatakan
bahwa seorang hakim sering berpikir bahwa perundang-undangan sebagai salah satu
bentuk pelayanan fungsi tambahan yang sering akurat.[27]
Sebelum
munculnya gagasan hukum progresif, Nonet dan Selznick telah pula mengemukakan
gagasan tentang hukum responsif. Hukum responsif menempatkan hukum sebagai
sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik[28].
Keikutsertaan
masyarakat dalam pembuatan hukum, diharapkan menjadi kekuatan control (agent of
sosial control) dan kekuatan penyeimbang antara kepentingan pemerintah dan
masyarakat. Pada suatu kesempatan terdapatnya hukum yang responsif, membuka
ruang partisipatif masyarakat dalam pembentukan hukum yang lebih substantif
menjawab persoalan sosial di masyarakat. Oleh karenannya hukum yang responsif
cenderung mengedepankan moralitas dan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya
dalam konteks yang demikian adanya penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim
sebagaimana yang dikemukan oleh Sudikno merupakan salah satu bentuk perwujudan
nilai keadilan dan perlindungan hak asasi manusia yang tidak melulu berpijak
pada hukum positif yang sudah ada yang akan mengakibatkan hukum sebagai robot
pengatur hubungan sosial di masyarakat. Demikian pula putusan hakim yang Ultra Petita merupkan salah satu bentuk
peruntuhan dominasi hukum yang dipandang secara tekstual saja, melainkan untuk
merespon kepentingan masyarakat sehingga terdapat keadilan substantif bukan
dalam rangka “due process of law” semata.
Oleh
karenanya penerapan hukum yang progresif dan responsif tidak dapat dilakukan “setengah-setengah”, sebab mengakibat hukum
juga tidak berjalan dan cenderung “kebablasan”.
Hal ini tentu kan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang
diharapkan oleh semua orang.
Bagi
tatanan hukum responsif, hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu,
hukum dilihat lebih dari sekedar suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga
bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya
C. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.
Bahwa
Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 39/ PUU-XI/2013 tentang Permohonan Uji
Materil Pasal 16 ayat (3) UU tentang Partai Politik telah melakukan pengujian
konstitsuonalitas undang-undang, dimana Mahkamah Konstitusi tidak hanya
memeriksa pertentangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 semata, namun
mempertimbangkan hal lain yang relevan yang berada di luar UUD 1945. Hal ini
dalam rangka untuk memberikan keadilan dan perwujudan perlindungan hak asasi
manusia
b.
Bahwa
Mahkamah Konstitusi telah melakukan penemuan hukum dalam kerangka sebagai upaya
memenuhi “kekosongan hukum” dengan memberikan penafsiran dan interprestasi pada
Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Partai Politik dalam wujud “conditional
constitution” atau kondisional bersyarat terhadap Undang-Undang, hal ini adalah
dalam rangka memberikan kepastian hukum.
c.
Bahwa
Mahkamah Konstitusi telah menerapkan hukum yang progresif dan responsif
terhadap perkara dimaksud dengan tidak hanya menilai hal yang tekstual saja
melainkan juga secara kontekstual. Hal ini merupakan ciri dalam upaya
memberikan keadilan yang substantif. Namun ternyata keadilan subsantif yang
diharapkan tersebut tidak lantas memberikan “keadilan yang tertinggi” sesuai
harapan pemohon dikarenakan Mahkamah Konstitusi tidak melakukan upaya peruntuhan
penerapan Pasal 47 dan Pasal 58 UU MK secara kasus per kasus.
D.
REKOMENDASI
a.
Bahwa
diharapkan kedepan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara mempertimbangkan
daya laku putusan serta akibat yang diharapkan terhadap penerapan putusan.
b.
Bahwa
dalam putusan saja Mahkamah Konstitusi telah mampu menerapkan putusan Ultra
Petita, kedepan juga kiranya Mahkamah Konstitusi dapat menerapkan asas retro aktif pada kasus-kasus
tertentu.
c.
Bahwa
sesungguhnya perlu dilakukan penerapan teori hukum progresif dan responsif demi
mewujudkan keadilan substantif yang tidak terbatas hanya pada hal tekstual tapi
secara kontekstual.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Buku-buku
Ali, Achmad.
Menguak Tabir Hukum, Jakarta , Gunung
Agung, 2002
Alvin S.
Jhonson, Sosiologi Hukum, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, 1994
Jhon Henry
Merryman, The Civil Law Tradition an Introduction to the Legal System Western
and Latin America, Second Edition, Stanford University Press, California, 1985
Bernard L.
Tanya dkk. Teori Hukum. Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2006
Cetak Biru,
Membangun Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Pengawal Konstitusi yang
Modern dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2004.
Jimly
Asshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran kekuasaan dalam UUD 1945,
Yogyakarta, FH-UII Press, 2005, hal. 191
Jimly
Assidiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Setjen
dan Kepaniteraan MK-RI, Jakarta, 2006
Manan,Abdul.
Makalah Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama,
disampaikan pada acara Rakernas Mahkamah Agung RI, tgl 10 s/d 14 Oktober 2010,
di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Martitah,
Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive Legislature,
Konstitusi Press, Jakarta 2013
Munafrizal
Manan, Penemuan Hukum oleh Mahkaman Konstitusi, CV. Mandar Maju, Jakarta, 2012
Munir Fuady,
Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007
OK.
Chairuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Jakarta, 1991
Philipus M. Hadjon dan
Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta : Gajah Mada University
Press, 2005
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif :
Hukum yang membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol.1/No.1/April 2005, PDIH
UNDIP Semarang
Siahaan,
Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005
Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2011
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum,
Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010
Suteki, Dialektika Pembaharuan Sistem
Hukum : Budaya Oriental dan Implikasinya
terhadap cara berhukum dalam perspektif Hukum Progresif, Jakarta, Setjen Komisi
Yudisial RI, Juli 2012
SF. Marbun & Moh. Mahfud MD,
Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Liberty, 2004
Taufiqurahman
Syahnuri, Mengenal MK- Tanya Jawab tentang MK di Dunia Maya, Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2004,
2.
Perundang-undangan
Indonesia,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
________
, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
________
, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPD,
DPD, DPRD
________
, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
________
, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
________
, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan
DPRD
________
, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan
DPRD tentang Tata Tertib DPRD
3.
Website
Internet
http://www.mahkamah
konstitusi. go.id
http://www.adedidikirawan.wordpress.com/teori
negara hukum
Biodata Penulis
M. Rezha Fahlevie, SH, dilahirkan di Jambi pada tanggal
14 April 1982. Menamatkan pendidikan di SDN 32 Balai Batu (1994), SMPN 1
Batusangkar (1997), SMUN 1 Batusangkar (2000). Menyandang gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Andalas (2000). Semasa menjadi mahasiswa di
Fakultas Hukum Universitas Andalas ikut terlibat aktif dalam kegiatan
kemahasiswaan dan seminar-seminar
serta pernah menjadi Anggota Tim Peradilan Semu Fakultas Hukum Universitas
Andalas pada Lomba Peradilan Semu Kasus Pidana antar Perguruan Tinggi se-Indonesia
oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2003).
Saat
ini, merupakan Pegawai Negeri Sipil di Pemerinta
h
Kabupaten Tanah Datar dan menjabat sebagai Kepala Sub. Bagian Bantuan Hukum
dan HAM pada Sekretariat Daerah Kabupaten Tanah Datar. Terlibat aktif pada
pendidikan dan latihan serta seminar-seminar yang diadakan oleh Pemerintah
Daerah, Kementerian dan Instansi terkait lainnya.
Telah
dikarunia seorang putra bernama Mohammed El Fathansyah Fahlevie dari buah
perkawinan dengan Elsa Betri, S.Pt.
|
[1]
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076
[2] Ibid.
[3]
http//sudikno.blogspot/penemuan hukum
[4] Prof.Dr.H. Abdul
Manan, SH, S.IP, M.Hum, makalah Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum
Acara di Peradilan Agama, disampaikan pada acara Rakernas Mahkamah Agung RI,
tgl 10 s/d 14 Oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur
[5] Cetak Biru, Membangun Mahkamah
Konstitusi, Sebagai Institusi Pengawal Konstitusi yang Modern dan Terpercaya,
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2004, Hal iv
[6] Lihat Pasal 10 Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[7] SF. Marbun & Moh. Mahfud MD,
Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Liberty, 2004 hal.45
[8] Jimly Asshidiqie, Format Kelembagaan
Negara dan Pergeseran kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta, FH-UII Press, 2005,
hal. 191
[9] Lihat Pasal 384
ayat (3) dan (4) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
[10]
Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2010 hal. 49
[11] Ibid. , hal. 34
[12] Philipus M. Hadjon
dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, 2005, hal 1
[13] Munafrizal Manan,
Penemuan Hukum oleh MK, CV. Mandar Maju, tahun 2012, hal. 85
[14] Martitah, Mahkamah
Konstitusi : Dari Negative Legislature ke
Positive Legislature, Konstitusi Press, hal 174.
[15] Ibid., hal 174
[16]
Munafrizal Manan, op.cit., hal 87
[17]
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005, hal. 213
[18]
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Rajawali Pers,
2011, hal.
[19]
OK. Chairuddun, Sosiologi Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1991, hal. 84
[20]
Achmad Ali, op.cit, hal.84
[21]
Ibid, Hal 94
[22] Suteki, Dialektika Pembaharuan
Sistem Hukum : Budaya Oriental dan
Implikasinya terhadap cara berhukum dalam perspektif Hukum Progresif, Jakarta,
Setjen Komisi Yudisial RI, Juli 2012, hal 277.
[23] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif :
Hukum yang membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol.1/No.1/April 2005, PDIH
UNDIP Semarang, Hal 5
[24] Dr. Martitah,
M.Hum,. op.cit hal xvi
[25] Ibid hal. xvii
[26] Dr. Martitah,
M.Hum,. op.cit hal 37-38
[27] Jhon Henry
Merryman, The Civil Law Tradition an Introduction to the Legal System Western
and Latin Amaerca, Secon Edition, Stanford University Press, California, 1985,
p.34 sebagaimana dikutip oleh Dr. Martitah, M.Hum dalam Buku Mahkamah
Konstitusi : Dari Negative Legislature ke
Positive Legislature, Konstitusi Press, hal 38
[28] Bernard L. Tanya
dkk. Teori Hukum. Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2006 hlm.170
Comments
Post a Comment