DEMOKRASI DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH : Risalah-risalah Pembahasan Perubahan UUD 145 mengenai Pemerintahan Daerah
DEMOKRASI DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH :
Risalah-risalah Pembahasan Perubahan UUD
145 mengenai
Pemerintahan Daerah
Oleh :
M. REZHA
FAHLEVIE
(Mahasiswa
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Univ. Andalas, NIM. 1320112037)
PENDAHULUAN
Konstitusi
adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.
Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang
Dasar, dan dapat pula tidak tertulis.[1]
Konstitusi
senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan
organisasi kenegaraan. Dengan melakukan
kajian terhadap konstitusi, maka akan
dapat diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan
negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai
konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.
Sebagai
Negara yang berdasarkan hukum, maka
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 merupakan hukum dasar penyelenggaraan negara. Pergulatan
panjang sejarah “Republik” ini menciptakan dinamika ketatanegaraan : bagaimana
dan akan kemana berlayarnya perahu besar Bangsa Indonesia untuk sampai kepada
cita-cita bangsa yakni mewujudkan keadilan yang makmur bagi seluruh bangsa
Indonesia.
Bahwa
sebagai hukum dasar, maka penyusunan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, jelas akan
dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat. Karena itu,
suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang,
filosofis, sosiologis, politik dan historis perumusan juridis suatu ketentuan
Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan
sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.[2]
Undang-Undang
Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh
mengerti, kita harus memahami konteks filosois, sosio-historis sosio-politis,
sosio-juridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya. Di
samping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi
kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of
reference) dan medan pengalaman (ield of experience) dengan muatan kepentingan
yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang
Dasar dapat terus berkembang dalam praktek di kemudian hari. Karena itu,
penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada
masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak
menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga.
Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan naskah Undang-Undang Dasar,
diperlukan pula adanya Pokok-Pokok pemikiran konseptual yang mendasari setiap
perumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar serta keterkaitannya secara langsung
atau tidak langsung terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar .[3]
Sejak
negara Indonesia berdiri telah terjadi beberapa kali pergantian Undang- Undang
Dasar (UUD). Terdapat beberapa UUD yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) berlaku 1945 hingga
1949, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) berlaku pada 1949
hingga 1950, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS) berlaku
pada 1950 hingga 1959, dan UUD 1945 diberlakukan kembali mulai 1959.[4]
Bahwa
kemudian UUD 1945 ternyata tidak luput dari beberapa perubahan tidak hanya
dalam pemberlakuannya secara utuh tetapi juga adanya perubahan materi dan
substansinya, terlebih sejak kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998 melalui
gerakan reformasi.
Bahwa
salah satu perubahan yang terjadi pada UUD 1945 adalah berkenaan dengan BAB
Pemerintahan Daerah, dimana perubahan kedua UUD 1945 ini diarahkan untuk
memperteguh otonomi daerah.
Meski
diarahkan untuk memperteguh penyelenggaraan otonomi daerah, namun dalam BAB ini
terdapat Pasal krusial, yang kemudian menjadi perdebatan dikalangan eksekutif
dan legislator. Hal ini mengingat tidak diaturnya secara rinci didalam UUD 1945
berkenaan dengan tata cara pemilihan kepala daerah.
Bahwa
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, dinyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota
dipilih secara demokratis.
Pemaknaan
dari frasa demokrasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
ternyata tidak dimaknai sama dalam oleh setiap orang. Pemaknaan tersebut yang
dikonkritasi dalam bentuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan oleh pembentuk undang-undang pada waktu itu ternyata berbeda jauh
dengan pembentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota.
Oleh
karena itu untuk memberikan interprestasi atas pemaknaan Pemilihan Kepala
Daerah dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Penulis tertarik untuk melakukan
pembahasan melalui penafsiran original intents menurut keinginan dari pembentuk
undang-undang dasar pada waktu itu.
MAKNA PEMILIHAN KEPALA DAERAH MENURUT
PASAL 18 AYAT (4) UUD 1945
Hasil amandemen Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis”. Hal ini merupakan dasar pengisian jabatan kepala daerah.
Pengisian jabatan kepala daerah yakni gubernur, bupati dan
walikota inilah kemudian diinterprestasikan sebagai pemilihan kepala daerah
secara langsung oleh rakyat dengan mengenyampingkan konsep keterwakilan yang
yang dianut sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Ukuran pemaknaan demokrasi dalam pasal tersebut kedalam
makna pemilihan langsung pada prinsipnya bukanlah tanpa sebab. Hal ini
dikarenakan praktek-praktek kehidupan bernegara yang membelenggu demokrasi
kerakyatan pada masa orde baru dan tawaran kehidupan berdemokrasi yang lebih
baik pada masa reformasi mengakibatkan pemaknaan demokrasi menjadi lebih
fleksibel dan cenderung original.
Pilkada langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar
preferensi kandidat-kandidat berkompetensi dalam ruang yang lebih terbuka
dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam demokrasi perwakilan.
Pilkada langsung bisa memberikan sejumlah harapan pada upaya pembalikan “syndrome” dalam demokrasi perwakilan
yang ditandai dengan model kompetisi yang tidak fair, seperti politik uang money politics).[5]
Pilkada langsung memperbesar harapan harapan untuk
mendapatkan figure pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui
pilkada langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada
warga dibandingkan pada elite di DPRD.[6]
Meskipun Pilkada langsung ditafsirkan sebagai perwujudan
demokrasi melalui gagasan dan praktek pemilihan kepala daerah, namun secara normatif
tidak ada satu frasa atau kalimatpun secara normatif pilkada langsung sebagai
perwujudan demokrasi.
Kiranya ada beberapa persoalan dalam dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 sebagai dasar pengisian jabatan kepala daerah, yakni ;
1.
Apakah UUD 1945 mengamanatkan jabatan
kepala daerah dilaksanakan melalui pemilihan langsung atau melalui prinsip
keterwakilan oleh DPRD.
2.
Apakah Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 juga
mengamanatkan jabatan wakil kepala daerah.
Persoalan ini jelas harus dijawab
secara normatif dan tegas menurut UUD 1945 sendiri. Namun ternyata UUD 1945
ternyata tidak memberikan jawaban yang lugas terhadap persoalan tersebut. Oleh
sebab itu sejalan dengan Pasal 18 ayat (7) UUD 1945 dinyatakan kepada pembentuk
undang-undang untuk mengatur susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Kalau kita menilik risalah Rapat Panitia Ad Hoc I, pada perubahan UUD
1945, maka akan terurai pemikiran yang melatarbelakangi dicantumkannya frasa “dipilih secara demokratis”.
Pada awal pembahasan oleh Rapat Panitia
Ad Hoc I BP MPR, tidak terlihat adanya gagasan perubahan Pasal 18 UUD 1945
terkait dengan pengisian jabatan kepala daerah, tetapi dalam pemaparan Hobbes
Sinaga dari F-PDIP berdasarkan pengamatan dari sejumlah daerah, maka didapat
point antara lain[7] :
1.
Pemilihan Kepala Daerah pada semua tingkatan
yang dilakukan dengan penuh rekayasa dan hanya mengedepankan tokoh-tokoh formal
dan mengabaikan tokoh-tokoh informal.
2.
Sistem
demokrasi yang dibangun secara top-down mengakibatkan masyarakat di daerah
kehilangan kedaulatannya.
Lebih
lanjut, Hobbes Sinaga mengusulkan agar rumusan Pasal 18 UUD 1945 diubah menjadi
sebagai berikut :
Bab VI, Pemerintah Daerah Pasal 18,
Ayat (3):
”Daerah otonomi mempunyai Kepala Pemerintahan
Daerah yang dipilih secara demokratis yang pelaksanaannya diatur dengan
undang-undang.”
Ayat
(4):
”Daerah
administrasi dipimpin oleh Kepala Daerah Administrasi yang ditetapkan dan
diangkat oleh Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya diatur dengan
undang-undang.”
Ali
Hardi Kiaidemak dari F-PPP menyebutkan materi-materi berkaitan dengan Bab
tentang Pemerintahan Daerah ini, antara lain Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
dipilih secara langsung oleh rakyat, yang selanjutnya diatur dalam
undang-undang. Hal ini sejalan dengan keinginan kita untuk Presiden juga
dipilih secara langsung.
Selanjutnya
F-PDU mengusulkan materi yang menyatakan bahwa
setiap daerah memiliki Kepala Pemerintahan Daerah atau Kepala Daerah
yang dipilih langsung oleh rakyat.
Ali
Marwan Hanan dari F-PPP, mengulas pemilihan kepala daerah secara langsung yang
dikaitkan dengan pengaturannya dalam undang-undang otonomi daerah, oleh Ali
Marwan Hanan diulas sebagai berikut.
“Presiden itu dipilih langsung maka pada
Pemerintahan Daerah pun gubernur dan Bupati, dan Walikota itu dipilih langsung
oleh rakyat. Undang-undangnya dan tata caranya nati akan kita atur. Dengan
Undang-Undang yang nanti akan terkait dengan Undang-Undang otonomi daerah itu
sendiri”.
Dalam
Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, 31 Mei 2000 Hobbes mengusulkan agar pemilihan kepala daerah
dipilih secara demokratis, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang[8].
Jadi, kita tidak dipilih langsung oleh
rakyat tapi dipilih secara demokratris, itu usulan kita. Bukan, inikan begini
ya, dalam hal ini inikan saya kira kan ini perdebatan kita yang utama nanti
adalah masalah pemilihan Presiden, masalah pemilihan gubernur dan selanjutnya,
jadi saya kira harus dihormati juga usulan kita yang seperti itu gitu, jadi
saya kira nanti di untuk Ayat (4) ini bikin alternatiflah ya, dialternatif dipilih secara
demokratis yang selanjutnya diatur dalam undang-undang. Alternatif, jadi bikin
alternatif ayat.
Hatta Mustafa dari F-PG mengajukan dua
alternatif tentang pemilu lokal untuk pemerintah daerah sebagai berikut.[9]
Alternatif
1 yang tadi, alternatif 2 gubernur, bupati dan walikota dipilih secara langsung
demokratis yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.
Soedijarto dari F-UG menanyakan metode
pemilihan kepala daerah sebagai berikut.[10]
Sebenarnya,
mengenai kemarin kalau tidak salah pernah ada diskusi bahwa berbeda dengan
bupati, gubernur ada fungsi mewakili pemerintah pusat. Apa proses pemilihannya
harus sama antara bupati dan gubernur dengan fungsi yang berbeda itu
sebetulnya, itu masalahnya itu hanya itu saja.
Asnawi Latief dari F-PDU mengusulkan jalan
keluar perdebatan mengenai pemilihan kepala daerah sebagai berikut.[11]
Jalan keluarnya kami ada usul bahwa
Presiden itu antara lain itu punya hak mengesahkan apa itu calon gubernur
terpilih itu oleh Presiden. Jadi, sudah melibatkan pemerintah pusat, jadi unsur
perwakilan bupati tidak, karena otonom. Otonomnya kan di kabupaten.
Selanjutnya,
Hatta Mustafa dari F-PG menginginkan perbedaan dalam pemilihan gubernur, bupati/ walikota, dan
DPRD. Selengkapnya pernyataan tersebut sebagai berikut.[12]
Saudara pimpinan dan Bapak-bapak. Kita
ingin membedakan sekarang ini Apa gubernur, bupati, walikota itu dipilih oleh
DPRD atau dipilih langsung ini kan masalahnya,
nah kalau misalnya dia pilih
langsung artinya dia pengesahan itu ya bisa seperti Presiden mengucapkan apa
janji atau sumpah didepan DPRD tapi sekarang karena dia, dalam negeri itu masih
ada departemennya dan gubernur itu adalah sebagai administratif memang dia
harus disahkan oleh Presiden dan secara administrasinya memang disahkan,
diaturnya oleh undang-undang makanya di situ selanjutnya dalam undang-undang,
ya cukup kami tetap pada supaya minta langsung oleh rakyat
Sementara
itu, Patrialis Akbar dari F-Reformasi, melihat kurang ada ketegasan dalam
alternatif 1. Pendapat tersebut selengkapnya sebagai berikut.[13]
Alternatif
1 ini masih memerlukan 1 penjelasan sementara kita menginginkan undang-undang
tidak perlu penjelasan, kalau kita bermaksud bahwa pemilihan oleh rakyat itu
dalam pemilihan langsung kenapa mesti kita tidak sebutkan bahwa pemilu lokal.
karena ini nanti akan menjadi 1 apa namanya akan ada penafsiran bermacam-macam
meskipun diatur dalam undang-undang setiap pergantian anggota DPR lain lagi
penafsirannya. Sementara kita tidak menginginkan adanya penafsiran yang
berbeda-beda, jadi harus zakelijk kita, apa yang dimaksudkan, sehingga
tidak ada lagi terjemahan-terjemahan penjelasan-penjelasan. Jadi kalau menurut
saya, lebih baik langsung dikatakan, ya gubernur, bupati, walikota dipilih
dalam pemilihan umum lokal yang selanjutnya diatur dalam undang-undang, nanti
bisa ditafsirkan apa karena pemilihan umum secara keseluruhan apakah, jadi ini
banyak, jadi saya kira baik, strict saja.
Taufiqurrachman
Ruki dari F-TNI/Polri menyatakan sebagai
berikut.[14]
... gubernur itu ada 27, bupati itu ada
360, jadi otomatis pemilihan bupati itu tidak akan serendah masa jabatan
Presiden tidak sama ada yang bulan ini bulan depan dan bulan segala macam. Kalau
pemilu lokal kan kalau satu
pemilu serentak cuma satu sekaligus 5 tahun sekali kadang-kadang, itu tidak
perlu ada penekanan itu cukup dalam secara langsung oleh rakyat diatur oleh
undang-undang. Mau tidak mau pemilihan bupatinya tidak akan sama waktunya,
karena memang masa jabatan dan masing-masing bupati, gubernur itu akan berakhir
lama tidak perlu ada penekanan lokal dimulai.
Taufiqurachman
Ruki dari F-TNI/Polri bahwa
pemilihan umum ada yang langsung dan tidak langsung. Berikut ini pendapat
tersebut.[15]
Dalam suatu cara tata cara pemilihan ada
pemilihan yang bersifat secara langsung dan pemilihan tidak langsung. Kalau
seorang bupati kepala daerah dipilih oleh DPRD maka di sini terjadi pemilihan
tidak langsung, tetapi dalam pengertian pemilihan secara langsung artinya pemilihan
kepala daerah langsung oleh pemilih tidak melalui suatu dewan pemilih, yaitu
yang disebut dengan DPRD. Jadi, ini sudah rumusan sudah cukup jelas pilih
secara langsung artinya pemilih itulah yang langsung memilih tidak lewat dewan
perwakilan lagi.
Oleh
karena itu, Hamdan Zoelva dari F-PBB mengusulkan agar dibuat sebuah definisi
tentang pemilihan umum. Selengkapnya pendapat tersebut sebagai berikut.[16]
Masalah
pemilihan jadi ini bisa bermacam-macam penafsiran ini apakah pemilihan yang
bersifat lokal dalam memilih bupati dan gubernur yang berbeda dengan pemilihan
DPR pusat misalnya pemilihan umum namanya. Jadi ini diperdebatkan ini. Jadi,
memang kita sepakat dulu masalah macam-macam pemilihan ini kan sepakat
dulu jangan sampai kita berdebat masalah ini. Itu tadi yang saya tanyakan,
masalah pemilihan umum ini, apakah pemilihan umum itu untuk seluruh model
pemilihan walaupun lokal sifatnya model pemilihan Presiden juga namanya
pemilihan umum atau bagaimana ini harus didefinisikan dulu ini, Pak, jadi beda
penafsiran terus kita.
Usulan Hamdan di atas ditanggapi oleh Hobbes
Sinaga dari F-PDIP dengan memberikan rumusan sebagai berikut.[17]
Ada usul sedikit Pak, ya ini saya bukannya
ikut campur dengan alternatif itu kebetulan kan, tapi memang di mana-mana
selalu ditentukan itu kalau untuk memilih gubernur dan apa itu disebut dengan
pemilihan lokal. Jadi saya kira dipilih langsung oleh rakyat dalam suatu
pemilihan lokal yang diatur dalam undang-undang. Saya kira harus disebut
dimana-mana selalu begitu
Pembicaraan
mengenai Pemerintahan Daerah kembali berlangsung pada Rapat Sinkronisasi PAH I
BP MPR, 17 Juli 2000. Pada rapat tersebut, Jakob Tobing menjadi Ketua rapat .Jakob
Tobing mengemukakan alternatif-alternatif yang berkaitan dengan pemilihan
kepala daerah. Berikut ini pertanyaan Jakob.[18]
Dipilih secara demokratis yang
pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang, salah satu alternatif yang mungkin
adalah pemilihan langsung disamping pemilihan oleh DPRD. Atau pemilihan
berdasarkan cara lain yang dianggap demokratis. Apakah kita bisa memilih
Alternatif 2, bisa, belum. Tenang lagi dengan muka dingin, belum. Pak Ali
Hardi...
Pertanyaan
tersebut dijawab oleh Ali Hardi Kiaidemak dari F-PPP dengan jawaban setuju
untuk memilih alternatif 2, yaitu; “Gubernur, bupati, dan walikota dipilih
secara langsung demokratis yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.” Lebih
lanjut, Ali Hardi mengatakan bahwa fraksinya sependapat dengan alternatif 1
yang berbunyi; “Bupati, walikota dipilih dalam pemilihan umum lokal yang
selanjutnya diatur dalam Undang-Undang. Ali Hardi mengatakan sebagai berikut.
Kalau mengikuti posisi kami Fraksi PPP,
adalah sesungguhnya pada posisi Alternatif 1. Tetapi, pada kesempatan ini kami
ingin membuktikan bahwa Fraksi PPP itu tidak kalau seperti itu dalam segala hal
begitu lho. Kecuali
kalau memang ada aspiratif yang memang merupakan problema psikologis bagi kami,
tentu kami memang sangat berhati-hati. Untuk masalah ini kami kaitkan dengan
pembahasan kita selanjutnya, dimana kita akan kemungkinan besar memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, maka tentunya Gubernur-gubernur
dan Walikota ini akan lebih banyak memberikan pandangan adalah Dewan Perwakilan
Daerah begitu. Sehingga kami lalu kembali pada posisi dasar kami yang
substansial Fraksi-fraksi kami untuk melepas Alternatif 1 dan bergabung pada
Alternatif 2 begitu, terima kasih.
Sikap setuju dengan alternatif 2 juga
disampaikan oleh M. Hatta Mustafa dari F-PG. Selengkapnya pernyataan tersebut
sebagai berikut.[19]
Pemilihan
langsung ini tempo hari memang dikaitkan juga dengan pemilihan Presiden secara
langsung itu sebetulnya. Tadinya begitu. Tapi, kalau pengertian dipilih secara
demokratis itu bisa juga nanti secara langsung ataupun tidak langsung itu
berarti alternatif 2 juga bisa diterima. Tetapi
pengertian demokratis itu kan bisa secara langsung dan terbuka, tergantung
undang-undang-nya. Kalau misalnya pengertiannya begitu barangkali juga kita
bisa menerima Alternatif 2.
Pertanyaan
Hatta tersebut dijawab oleh Jakob Tobing: “Saya rasa bukan barangkali lagi itu,
sudah bisa.” Kemudian Hatta menanggapi jawaban tersebut sebagai berikut.[20]
Karena sekarang ini undang-undang sudah
menyatakan gubernur dan wakil gubernur, bupati, wakil bupati itu dipilih secara
paket di dalam di DPRD Tingkat 1 itu. Jadi kalau pengertiannya demikian juga,
artinya demokratis itu demikian bisa langsung dan tidak langsung, tetapi dalam
pengertian paket itu barangkali bisa. Karena ini, tidak ada penjelasan, tidak
penjelasan Undang-Undang Dasar kita itu tidak bisa menjelaskan apa-apa. Jadi,
sebaiknya itu jelas.
Atas
usulan tersebut, Jakob Tobing selaku Ketua rapat menanggapi sekaligus
mengusulkan agar gubernur dipilih langsung oleh rakyat, tetapi wakilnya tidak
perlu dipilih langsung. Jakob Tobing mengatakan sebagai berikut.[21]
Para wakil, itu mengikat diri kita dengan
lebih dari satu. Belum tentu. Apakah tidak lebih baik begini, ada
Daerah-daerah, bukan daerah. Ada negara-negara mempraktekkan sekedar ini,
perbandingan. Gubernur itu memang dipilih langsung tetapi wakil tentu tidak.
Jadi, memang di Presidennya dia pasangan kalau di gubernur sih tidak. Jadi apakah lebih baik kita itu agak
lebih fleksibel saja. Toh undang-undang bisa mengatur itu kan tidak
bertentangan. Hal lain adalah kita di depan, di depan atau di belakang itu. Di
belakang ini sepakat. Kalau yang menyangkut seperti ini DPD Dewan Perwakilan
Daerah itu harus didengar pertimbangannya begitu. Jadi ada dinamika demokratis
di dalam. Jadi, diatur di dalam undang-undang itu barangkali bisa lebih.
Sementara
itu, Alimarwan Hanan dari F-PPP meminta penegasan dari arti “dipilih secara
demokratis”, sebagai berikut. [22]
Sebagaimana pada waktu the founding fathers kita
menyusun Undang-Undang Dasar. Terkenal dengan situasi kebatinan pada waktu
mereka menyusun Undang-Undang Dasar. Suasana, saya takut itu nanti tertambah
begitu saya rubah situasi. Lalu pada suasana ini pun. Ada sesuatu yang
mempengaruhi kita di dalam rangka memilih alternatif perumusan-perumusan ini.
Sekedar untuk diketahui kita bersama dan telah diketahui. Berbagai ekses dari
pemilihan dan sistem Perundang-undangan kita tentang Undang Undang Otonomi
Daerah ini. ternyata sudah sangat dirasakan oleh semua. Dan, akibatnya itu yang
paling fatal yang terkenal dengan money
politic sekarang, karena undang-undang yang sekarang itu pun digunakan
secara bias oleh berbagai daerah. Pengertian dengan suara terbanyak dan
dianggap itu demokratis ternyata diterjemahkan oleh berbagai daerah ada yang
menterjemahkan arti terbanyak itu mayoritas, ada yang terbanyak itu tidak perlu
mayoritas. Suasana kebatinan inilah yang harus kita rumuskan untuk tidak
mengulangi lagi kejadian ini. Pilihan itulah yang harus kita lakukan pilihan
sekarang. Kami mengerti seandainya suasana itu akan dapat terjamin dengan
Alternatif ke-2, ya mari monggo begitu.
Tetapi, kalau itu tidak akan banyak terjamin dalam mengatasi ini dengan
alternatif ke-2 maka, ya sebagaimana kami sampaikan kami menawarkan alternatif
pertama, begitu. Alasan-alasan tambahan yang perlu kami sampaikan.
Kekhawatiran yang diungkapkan oleh Ali Marwan
Hanan di atas, ditanggapi oleh Gregorius Seto Harianto dari F-PDKB, sebagai
berikut.
Pada
dasarnya kami mendukung usul ke-2, hanya untuk memperkuat kekhawatiran pengusul
alternatif 1. Apakah dalam alternatif 2 ini tidak bisa ditambahkan satu kata
jadi gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis dan terbuka, yang
pelaksanaannya diatur dengan undang-undang.
Usulan
tersebut dipertegas lagi oleh Jakob Tobing dengan menanyakan: “Jadi terbukanya
itu dinyatakan secara terbuka ya.” Kemudian dijawab Seto sebagai berikut: “Jadi
maksudnya transparan
begitulah, tidak perwakilan yang tertutup begitu.”[23]
Mempertimbangkan
fenomena politik uang yang terjadi di berbagai daerah dalam pemilihan kepala
daerah yang dilakukan oleh DPRD, Anthonius Rahail dari F-KKI, mengusulkan agar
pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara langsung oleh rakyat.
Selengkapnya pendapat tersebut sebagai berikut. [24]
Ini bicara mengenai gubernur, bupati, dan
walikota. Menjadi hal yang sangat menentukan kehidupan bangsa kita ke depan
dalam rangka cita-cita negara merdeka ini. ini ingin kami tekankan, karena
selama ini pemilihan tidak langsung, dan akhir-akhir ini justru hasil pemilihan
bupati dan gubernur setelah melaksanakan pemerintahannya ternyata tidak
menunjukkan kemampuan yang berarti untuk membangun rakyat, dan nampaknya nanti
yang susah juga adalah rakyat itu sendiri. Oleh karena itu, menyangkut tentang
sistem pemilihan eksekutif ini memang perlu kita tetapkan secara benar apa yang
menurut kata hati kita sekarang adalah terbaik untuk membangun bangsa dan
negara ini. oleh karena itu kami melihat, bahwa contoh-contoh yang ada
sekarang, kadangkala dengan sistem yang tidak langsung itu lalu bisa diatur
akhirnya menghasilkan orang yang punya uanglah yang jadi. Itu adalah suatu
fakta seperti itu.
Oleh karena itu kami mengusulkan yang
pertama di mana gubernur, bupati, dan walikota itu dipilih secara langsung.
Saya yakin dan percaya, bahwa sudah cukup banyak kader-kader bangsa kita yang
tersebar diseluruh tanah air hanya kesempatan yang barangkali perlu kita
berikan, sehingga ada kompetitif yang sehat dalam rangka kita mempunyai kader
pemimpin rakyat yang memang betul-betul teruji kepemimpinannya oleh penilaian
yang secara terbuka, terima kasih Pak.
Sementara itu, Yusuf Muhammad dari F-KB
menyatakan sebagai berikut.
Kalau saya menyampaikan pendapat secara
ringkas sebetulnya biarkan saja ini menjadi alternatif. Tapi, kalau perlu dipertanyakan. Apakah
alternatif demokratis dalam alternatif 2 itu pengertiannya ketika kita
mendiskusikan itu tidak langsung. Atau kemudian kita tafsirkan bahwa demokratis
di situ memberikan dua kemungkinan. Itu ada ceritanya ketika kita menyebut itu,
apa itu aspirasi yang menghendaki tidak langsung, atau itu aspirasi yang
menginginkan disini hanya ada rumusan besar, tetapi dua kemungkinan itu tetap
akan dimungkinkan dalam proses pengaturan undang-undang. Itu pertanyaan.
Tapi kalau lebih panjang lagi, saya kira
ketika kita tidak punya keberanian. Atau ketika kita agak khawatir Pemilihan
Presiden secara langsung itu bisa berimplikasi macam-macam. Apa kita tidak
perlu memulai keberanian kita itu dari tingkat yang lebih bawah. Di samping apa
yang tadi disampaikan kenyataan-kenyataan, bahwa banyak pemilihan-pemilihan itu
yang bermasalah. Yang inti masalahnya adalah hal-hal yang kemudian menunjukkan,
bahwa proses demokrasi tidak jalan. Jadi masalahnya itu subtansial karena
kemudian kebutuhan demokratis itu tidak jalan. Ini yang saya kira harus kita
renungkan baik-baik. Dan karena itu saya kembali kepada urusan pendapat ringkas
saya biarkan itu begitu.
Imam
Addaruqutuni dari F-Reformasi menyampaikan pandangannya terkait dengan salah
satu rumusan dalam Pasal 18 yakni adanya pemilihan kepala daerah secara
langsung, sebaga berikut.
Meskipun saya setuju dengan pandangan
bahwa atau yang menyangkut pasal atau yang menyangkut Ayat (7) Pasal 18, bahwa
gubernur dan seterusnya dipilih secara langsung. Saya ingin memberikan catatan
bahwa pada hemat saya, saya baru menemukan kata demokratis dalam undang-undang
ini satu di sini.
Selanjutnya saya ingin bahwa undang-undang
kita ini, tidak terlalu membuka wacana seperti itu, karena itu kata demokratis
itu, memang seharusnya dihapus karena kita sudah agak muak dengan penuangan
secara langsung seperti itu. Karena itu pemilihan secara langsung itu lebih
jelas, karena demokratis itu seringkali tidak jelas.
Selanjutnya
pada Rapat Lobi Komisi A Lanjutan Sidang Tahunan MPR, 13 Agustus 2000, Lukman
Hakim Saifuddin dari F-PPP menyampaikan pendapatnya sebagai berikut.
Berikutnya berkaitan dengan gubernur,
bupati dan walikota. Memang ada usulan langsung begitu. Nah, di sinilah sebenarnya kan demokratis itu memang memiliki
makna, dua makna itu. Demokratis itu bisa dalam pengertian itu langsung, bisa
juga tidak gitu. Sebenarnya kita mengakomodir dua kepentingan itu ketika di PAH
I dan biarlah itu diatur dalam undang-undang. Anak kalimatnya juga diatur dalam
undang-undang sehingga pertarungan antara mereka-mereka yang menghendaki
pemilihan gubernur, bupati, walikota itu langsung atau tidak biarlah itu
undang-undang yang menentukan. Konstitusi ini hanya menegaskan demokratisnya,
itu yang lebih bermakna[25]
Selaku
pakar yang diundang pada Rapat Lobi Komisi A Sidang Tahunan MPR Lanjutan, yang
dilangsungkan pada 14 Agustus 2000, Bagir Manan kemudian menyampaikan
ulasan-ulasan terkait dengan dalam hal pemilihan gubernur, bupati dan/atau walikota, apakah dipilih
langsung oleh rakyat atau dipilih secara demokratis, Bagir menyerahkan kepada
anggota rapat. Pendapat Bagir tersebut selengkapnya sebagai berikutsebagai
berikut[26]
Kemudian di ayat keempat kita bicara, agak
kami balik karena rumusannya telah ada di konsep, yaitu, Gubernur,
Bupati, Walikota yang
masing-masing menyelenggarakan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota
dipilih langsung oleh rakyat daerah bersangkutan, ini terserah nanti ini yang
mau dipakai yang mana. Pemerintah daerah kabupaten dan kota menjalankan
otonomi. Nah, ini
tergantung kita apakah tingkat propinsi juga seperti itu, pemerintahan daerah
kalau ini propinsi, kabupaten dan kota atau hanya kabupaten dan kota
menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah
propinsi. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain dalam melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan
Asnawi
Latief dari F-PDU mempertanyakan rumusan ayat (4) tentang frasa ‘secara
demokratis’ terkait dengan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Yang kedua, saya terima kasih atas bantuan
rumusan ini yang lebih padat ketimbang rumusan-rumusan yang kami buat tempo
hari. Yang intinya hampir sama. Hanya barangkali yang agak berbeda mengenai
ketika Pasal 4, mengenai gubernur, bupati dan seterusnya itu dipilih langsung
oleh rakyat daerah bersangkutan, memang saya usul, fraksi kami usul seperti
itu. Tapi hasil kompromi dipilih secara demokratis. Jadi demokratisnya itu apa
dipilih lewat DPRD atau langsung? Itu juga terserah pada undang-undangnya
nanti. Bagaimana pendapat perumus Bapak Bagir, apakah cukup dipilih secara
demokratis? Dengan segala alasan-alasan itu saya tidak terima itu. Alasan
dipilih langsung itu rakyat tidak siap itu, selalu money politic di manapun mesti ada itu. Jadi terlepas dari ekses
itu, setiap sistem mesti ada kekurangannya. Kemudian, itu yang kedua.
Terhadap
usulannya mengenai pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat, Bagir
mengaku tidak keberatan kalau akhirnya PAH I menggunakan kalimat “dipilih
secara demokratis.” Selengkapnya penjelasan Bagir sebagai berikut.
Pemilihan gubernur secara langsung, kami
tidak ada keberatan kalau itu pemilihan demokratis sama sekali. Kita tuliskan
karna apa? Ada pembicaraan mengenai itu. Jadi kita coba pilih begitu ya. Jadi
kita kembali ke rumusan yang awal, tidak ada masalah sama sekali.
Hasil-hasil
tim perumus atau lobi antara pimpinan komisi dan pimpinan fraksi ataupun yang
mewakili fraksi-fraksi tentang materi pemerintahan
daerah, sebagaimana diuraikan di atas dibawa dalam Rapat Komisi A MPR ke-6
(lanjutan), 14 Agustus 2000, yang dipimpin oleh Antonius Rahail, dengan agenda
pembahasan materi Sidang Tahunan MPR sesuai dengan tugas komisi-komisi.
Antonius Rahail selaku Ketua rapat membacakan hasil rumusan materi tentang
pemerintahan daerah sebagai berikut.
Pasal 18 ayat (4)
”Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis”.
Berdasarkan
hal tersebut, maka penulis berpendapat bahwa makna demokratis tidak melulu sama
dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal ini terlihat adanya 2
alternatif yang kemudian dibahas oleh Rapat PAH MPR.
Alternatif
1 yang diajukan mensyarakan kepada adanya pemakaian kalimat pemilihan langsung,
sedangkan alternatif 2 menggunakan frasa demokratis. Dengan disepakati
alternatif 2, maka jelas pemaknaan demokrasi dalam Pasal 18 ayat (4) tidak saja
pemilihan kepala daerah secara langsung tetapi juga dapat dilaksanakan secara
tidak langsung yang selanjutnya ditentukan oleh pembuat undang-undang.
PENUTUP
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa Gubernur, Bupati dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten
dan kota dipilih secara demokratis, tidak mutlak dimaknai bahwa pengisian
jabatan kepala daerah secara langsung.
2.
Bahwa
makna demokrasi sebagaimana dimaksud dapat dimaknai dengan pemilihan melalui
konsep keterwakilan oleh DPR, sepanjang pengisian jabatan dimaksud dilaksanakan
dengan secara jujur dan adil dengan memperhatikan kondisi keragaman daerah
serta kondisi serta tidak bertentangan dengan prinsip demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta, Aksara Baru, 1977
Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalime Konstitusi Press, Jakarta, 2005
Mohammad Tolchah Mansoer, Pembahasan beberapa Aspek tentang Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif
Negara Indonesia, Cet. Ke-3, Jakarta, 1983, Pradnya Paramita
Suharizal,
Gagasan Pemilihan Kepala Daerah Langsung,
dalam reformasi Hukum, Fakultas Hukum Unand, Padang, 2003
____________,
M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang
Dasar 1945, Djilid Ketiga
Muhammad Asfar, Pemilu
dan Perilaku Memilih 1955-2004, Surabaya: Eureka, 2006
Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
, Edisi Revisi, Buku I : Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945,
Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta
Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
, Edisi Revisi, Buku IV : Kekuasaan Pemerintah , Sekjen dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta
Sri Soemantri Martosoewignyo, Persepsi
Terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Alumni, 1979
Suharizal,
Gagasan Pemilihan Kepala Daerah Langsung,
dalam reformasi Hukum, Fakultas Hukum Unand, Padang, 2003.
Suharizal,
Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan
Konsep mendatang, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.
[1]
Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalime Konstitusi Press, Jakarta, 2005,
Halaman 1
[2] Ibid, Halaman
29.
[3] Ibid, Halaman 29.
[4] Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia , Edisi Revisi,
Buku I : Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Sekjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta , Halaman 13.
[5] Suharizal, Gagasan Pemilihan Kepala Daerah Langsung, dalam reformasi Hukum,
Fakultas Hukum Unand, Padang, 2003, hlm.89.
[6]
Suharizal, Pemilukada, Regulasi,
Dinamika dan Konsep mendatang, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.
[7] Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia , Edisi Revisi, Buku IV : Kekuasaan Pemerintah , Sekjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm 1161.
[8]
Ibid hlm. 1211
[9]
Ibid
[10]
Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid,
hlm.1212
[13]
Ibid
[14]
Ibid, hlm. 1213
[15]
Ibid.
[16]
Ibid, hlm. 1214
[17]
Ibid.
[18]
Ibid, hlm. 1249
[19] Ibid, hlm. 1250
[20] Ibid
[21]
Ibid, hlm. 1251
[22]
Ibid hlm. 1268
[23]
Ibid, hlm. 1253
[24]
Ibid
[25]
Ibid, hlm.1349
[26]
Ibid, hlm.1359
Comments
Post a Comment