DEMOKRASI DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH : Risalah-risalah Pembahasan Perubahan UUD 145 mengenai Pemerintahan Daerah



DEMOKRASI  DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH :
Risalah-risalah Pembahasan Perubahan UUD 145 mengenai
 Pemerintahan Daerah
Oleh :
M. REZHA FAHLEVIE
(Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum Univ. Andalas, NIM. 1320112037)

PENDAHULUAN
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis.[1]
Konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan.  Dengan melakukan kajian  terhadap konstitusi, maka akan dapat diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.
Sebagai Negara yang berdasarkan hukum,  maka Undang-Undang Dasar Republik Indonesia  Tahun 1945 merupakan hukum dasar penyelenggaraan negara. Pergulatan panjang sejarah “Republik” ini menciptakan dinamika ketatanegaraan : bagaimana dan akan kemana berlayarnya perahu besar Bangsa Indonesia untuk sampai kepada cita-cita bangsa yakni mewujudkan keadilan yang makmur bagi seluruh bangsa Indonesia.
Bahwa sebagai hukum dasar, maka penyusunan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia  Tahun 1945, jelas akan dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat. Karena itu, suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang, filosofis, sosiologis, politik dan historis perumusan juridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.[2]
Undang-Undang Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks filosois, sosio-historis sosio-politis, sosio-juridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya. Di samping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (ield of experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang dalam praktek di kemudian hari. Karena itu, penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga. Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan naskah Undang-Undang Dasar, diperlukan pula adanya Pokok-Pokok pemikiran konseptual yang mendasari setiap perumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar serta keterkaitannya secara langsung atau tidak langsung terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan    Pembukaan Undang-Undang Dasar .[3]
Sejak negara Indonesia berdiri telah terjadi beberapa kali pergantian Undang- Undang Dasar (UUD). Terdapat beberapa UUD yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) berlaku 1945 hingga 1949, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) berlaku pada 1949 hingga 1950, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS) berlaku pada 1950 hingga 1959, dan UUD 1945 diberlakukan kembali mulai 1959.[4]
Bahwa kemudian UUD 1945 ternyata tidak luput dari beberapa perubahan tidak hanya dalam pemberlakuannya secara utuh tetapi juga adanya perubahan materi dan substansinya, terlebih sejak kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998 melalui gerakan reformasi.
Bahwa salah satu perubahan yang terjadi pada UUD 1945 adalah berkenaan dengan BAB Pemerintahan Daerah, dimana perubahan kedua UUD 1945 ini diarahkan untuk memperteguh otonomi daerah.
Meski diarahkan untuk memperteguh penyelenggaraan otonomi daerah, namun dalam BAB ini terdapat Pasal krusial, yang kemudian menjadi perdebatan dikalangan eksekutif dan legislator. Hal ini mengingat tidak diaturnya secara rinci didalam UUD 1945 berkenaan dengan tata cara pemilihan kepala daerah.
Bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, dinyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
Pemaknaan dari frasa demokrasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 ternyata tidak dimaknai sama dalam oleh setiap orang. Pemaknaan tersebut yang dikonkritasi dalam bentuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan oleh pembentuk undang-undang pada waktu itu ternyata berbeda jauh dengan pembentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Oleh karena itu untuk memberikan interprestasi atas pemaknaan Pemilihan Kepala Daerah dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Penulis tertarik untuk melakukan pembahasan melalui penafsiran original intents menurut keinginan dari pembentuk undang-undang dasar pada waktu itu.


MAKNA PEMILIHAN KEPALA DAERAH MENURUT PASAL 18 AYAT (4) UUD 1945
Hasil amandemen Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Hal ini merupakan dasar pengisian jabatan kepala daerah.
Pengisian jabatan kepala daerah yakni gubernur, bupati dan walikota inilah kemudian diinterprestasikan sebagai pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dengan mengenyampingkan konsep keterwakilan yang yang dianut sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ukuran pemaknaan demokrasi dalam pasal tersebut kedalam makna pemilihan langsung pada prinsipnya bukanlah tanpa sebab. Hal ini dikarenakan praktek-praktek kehidupan bernegara yang membelenggu demokrasi kerakyatan pada masa orde baru dan tawaran kehidupan berdemokrasi yang lebih baik pada masa reformasi mengakibatkan pemaknaan demokrasi menjadi lebih fleksibel dan cenderung original.
Pilkada langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat-kandidat berkompetensi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam demokrasi perwakilan. Pilkada langsung bisa memberikan sejumlah harapan pada upaya pembalikan “syndrome” dalam demokrasi perwakilan yang ditandai dengan model kompetisi yang tidak fair, seperti politik uang money politics).[5]
Pilkada langsung memperbesar harapan harapan untuk mendapatkan figure pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui pilkada langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada elite di DPRD.[6]
Meskipun Pilkada langsung ditafsirkan sebagai perwujudan demokrasi melalui gagasan dan praktek pemilihan kepala daerah, namun secara normatif tidak ada satu frasa atau kalimatpun secara normatif pilkada langsung sebagai perwujudan demokrasi.
Kiranya ada beberapa persoalan dalam dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagai dasar pengisian jabatan kepala daerah, yakni ;
1.             Apakah UUD 1945 mengamanatkan jabatan kepala daerah dilaksanakan melalui pemilihan langsung atau melalui prinsip keterwakilan oleh DPRD.
2.             Apakah Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 juga mengamanatkan jabatan wakil kepala daerah.
Persoalan ini jelas harus dijawab secara normatif dan tegas menurut UUD 1945 sendiri. Namun ternyata UUD 1945 ternyata tidak memberikan jawaban yang lugas terhadap persoalan tersebut. Oleh sebab itu sejalan dengan Pasal 18 ayat (7) UUD 1945 dinyatakan kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kalau kita menilik risalah  Rapat Panitia Ad Hoc I, pada perubahan UUD 1945, maka akan terurai pemikiran yang melatarbelakangi dicantumkannya frasa “dipilih secara demokratis”.
Pada awal pembahasan oleh Rapat Panitia Ad Hoc I BP MPR, tidak terlihat adanya gagasan perubahan Pasal 18 UUD 1945 terkait dengan pengisian jabatan kepala daerah, tetapi dalam pemaparan Hobbes Sinaga dari F-PDIP berdasarkan pengamatan dari sejumlah daerah, maka didapat point antara lain[7] :
1.             Pemilihan Kepala Daerah pada semua tingkatan yang dilakukan dengan penuh rekayasa dan hanya mengedepankan tokoh-tokoh formal dan mengabaikan tokoh-tokoh informal.
2.             Sistem demokrasi yang dibangun secara top-down mengakibatkan masyarakat di daerah kehilangan kedaulatannya.

Lebih lanjut, Hobbes Sinaga mengusulkan agar rumusan Pasal 18 UUD 1945 diubah menjadi sebagai berikut :
Bab VI, Pemerintah Daerah Pasal 18,
Ayat (3):
Daerah otonomi mempunyai Kepala Pemerintahan Daerah yang dipilih secara demokratis yang pelaksanaannya diatur dengan undang-undang.”
Ayat (4):
”Daerah administrasi dipimpin oleh Kepala Daerah Administrasi yang ditetapkan dan diangkat oleh Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya diatur dengan undang-undang.”

Ali Hardi Kiaidemak dari F-PPP menyebutkan materi-materi berkaitan dengan Bab tentang Pemerintahan Daerah ini, antara lain Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dipilih secara langsung oleh rakyat, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang. Hal ini sejalan dengan keinginan kita untuk Presiden juga dipilih secara langsung.
Selanjutnya F-PDU mengusulkan materi yang menyatakan bahwa  setiap daerah memiliki Kepala Pemerintahan Daerah atau Kepala Daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.
Ali Marwan Hanan dari F-PPP, mengulas pemilihan kepala daerah secara langsung yang dikaitkan dengan pengaturannya dalam undang-undang otonomi daerah, oleh Ali Marwan Hanan diulas sebagai berikut.
“Presiden itu dipilih langsung maka pada Pemerintahan Daerah pun gubernur dan Bupati, dan Walikota itu dipilih langsung oleh rakyat. Undang-undangnya dan tata caranya nati akan kita atur. Dengan Undang-Undang yang nanti akan terkait dengan Undang-Undang otonomi daerah itu sendiri”.

Dalam Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, 31 Mei 2000 Hobbes  mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang[8].
Jadi, kita tidak dipilih langsung oleh rakyat tapi dipilih secara demokratris, itu usulan kita. Bukan, inikan begini ya, dalam hal ini inikan saya kira kan ini perdebatan kita yang utama nanti adalah masalah pemilihan Presiden, masalah pemilihan gubernur dan selanjutnya, jadi saya kira harus dihormati juga usulan kita yang seperti itu gitu, jadi saya kira nanti di untuk Ayat (4) ini bikin alternatiflah ya, dialternatif dipilih secara demokratis yang selanjutnya diatur dalam undang-undang. Alternatif, jadi bikin alternatif ayat.
Hatta Mustafa dari F-PG mengajukan dua alternatif tentang pemilu lokal untuk pemerintah daerah sebagai berikut.[9]
Alternatif 1 yang tadi, alternatif 2 gubernur, bupati dan walikota dipilih secara langsung demokratis yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.
Soedijarto dari F-UG menanyakan metode pemilihan kepala daerah sebagai berikut.[10]
Sebenarnya, mengenai kemarin kalau tidak salah pernah ada diskusi bahwa berbeda dengan bupati, gubernur ada fungsi mewakili pemerintah pusat. Apa proses pemilihannya harus sama antara bupati dan gubernur dengan fungsi yang berbeda itu sebetulnya, itu masalahnya itu hanya itu saja.
Asnawi Latief dari F-PDU mengusulkan jalan keluar perdebatan mengenai pemilihan kepala daerah sebagai berikut.[11]
Jalan keluarnya kami ada usul bahwa Presiden itu antara lain itu punya hak mengesahkan apa itu calon gubernur terpilih itu oleh Presiden. Jadi, sudah melibatkan pemerintah pusat, jadi unsur perwakilan bupati tidak, karena otonom. Otonomnya kan di kabupaten.
Selanjutnya, Hatta Mustafa dari F-PG menginginkan perbedaan dalam pemilihan gubernur, bupati/ walikota, dan DPRD. Selengkapnya pernyataan tersebut sebagai berikut.[12]
Saudara pimpinan dan Bapak-bapak. Kita ingin membedakan sekarang ini Apa gubernur, bupati, walikota itu dipilih oleh DPRD atau dipilih langsung ini kan masalahnya, nah kalau misalnya dia pilih langsung artinya dia pengesahan itu ya bisa seperti Presiden mengucapkan apa janji atau sumpah didepan DPRD tapi sekarang karena dia, dalam negeri itu masih ada departemennya dan gubernur itu adalah sebagai administratif memang dia harus disahkan oleh Presiden dan secara administrasinya memang disahkan, diaturnya oleh undang-undang makanya di situ selanjutnya dalam undang-undang, ya cukup kami tetap pada supaya minta langsung oleh rakyat

Sementara itu, Patrialis Akbar dari F-Reformasi, melihat kurang ada ketegasan dalam alternatif 1. Pendapat tersebut selengkapnya sebagai berikut.[13]
Alternatif 1 ini masih memerlukan 1 penjelasan sementara kita menginginkan undang-undang tidak perlu penjelasan, kalau kita bermaksud bahwa pemilihan oleh rakyat itu dalam pemilihan langsung kenapa mesti kita tidak sebutkan bahwa pemilu lokal. karena ini nanti akan menjadi 1 apa namanya akan ada penafsiran bermacam-macam meskipun diatur dalam undang-undang setiap pergantian anggota DPR lain lagi penafsirannya. Sementara kita tidak menginginkan adanya penafsiran yang berbeda-beda, jadi harus zakelijk kita, apa yang dimaksudkan, sehingga tidak ada lagi terjemahan-terjemahan penjelasan-penjelasan. Jadi kalau menurut saya, lebih baik langsung dikatakan, ya gubernur, bupati, walikota dipilih dalam pemilihan umum lokal yang selanjutnya diatur dalam undang-undang, nanti bisa ditafsirkan apa karena pemilihan umum secara keseluruhan apakah, jadi ini banyak, jadi saya kira baik, strict saja.

Taufiqurrachman Ruki dari F-TNI/Polri menyatakan sebagai berikut.[14]
... gubernur itu ada 27, bupati itu ada 360, jadi otomatis pemilihan bupati itu tidak akan serendah masa jabatan Presiden tidak sama ada yang bulan ini bulan depan dan bulan segala macam. Kalau pemilu lokal kan kalau satu pemilu serentak cuma satu sekaligus 5 tahun sekali kadang-kadang, itu tidak perlu ada penekanan itu cukup dalam secara langsung oleh rakyat diatur oleh undang-undang. Mau tidak mau pemilihan bupatinya tidak akan sama waktunya, karena memang masa jabatan dan masing-masing bupati, gubernur itu akan berakhir lama tidak perlu ada penekanan lokal dimulai.

Taufiqurachman Ruki dari F-TNI/Polri bahwa pemilihan umum ada yang langsung dan tidak langsung. Berikut ini pendapat tersebut.[15]
Dalam suatu cara tata cara pemilihan ada pemilihan yang bersifat secara langsung dan pemilihan tidak langsung. Kalau seorang bupati kepala daerah dipilih oleh DPRD maka di sini terjadi pemilihan tidak langsung, tetapi dalam pengertian pemilihan secara langsung artinya pemilihan kepala daerah langsung oleh pemilih tidak melalui suatu dewan pemilih, yaitu yang disebut dengan DPRD. Jadi, ini sudah rumusan sudah cukup jelas pilih secara langsung artinya pemilih itulah yang langsung memilih tidak lewat dewan perwakilan lagi.

Oleh karena itu, Hamdan Zoelva dari F-PBB mengusulkan agar dibuat sebuah definisi tentang pemilihan umum. Selengkapnya pendapat tersebut sebagai berikut.[16]
Masalah pemilihan jadi ini bisa bermacam-macam penafsiran ini apakah pemilihan yang bersifat lokal dalam memilih bupati dan gubernur yang berbeda dengan pemilihan DPR pusat misalnya pemilihan umum namanya. Jadi ini diperdebatkan ini. Jadi, memang kita sepakat dulu masalah macam-macam pemilihan ini kan sepakat dulu jangan sampai kita berdebat masalah ini. Itu tadi yang saya tanyakan, masalah pemilihan umum ini, apakah pemilihan umum itu untuk seluruh model pemilihan walaupun lokal sifatnya model pemilihan Presiden juga namanya pemilihan umum atau bagaimana ini harus didefinisikan dulu ini, Pak, jadi beda penafsiran terus kita.
Usulan Hamdan di atas ditanggapi oleh Hobbes Sinaga dari F-PDIP dengan memberikan rumusan sebagai berikut.[17]
Ada usul sedikit Pak, ya ini saya bukannya ikut campur dengan alternatif itu kebetulan kan, tapi memang di mana-mana selalu ditentukan itu kalau untuk memilih gubernur dan apa itu disebut dengan pemilihan lokal. Jadi saya kira dipilih langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan lokal yang diatur dalam undang-undang. Saya kira harus disebut dimana-mana selalu begitu

Pembicaraan mengenai Pemerintahan Daerah kembali berlangsung pada Rapat Sinkronisasi PAH I BP MPR, 17 Juli 2000. Pada rapat tersebut, Jakob Tobing menjadi Ketua rapat .Jakob Tobing mengemukakan alternatif-alternatif yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Berikut ini pertanyaan Jakob.[18]
Dipilih secara demokratis yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang, salah satu alternatif yang mungkin adalah pemilihan langsung disamping pemilihan oleh DPRD. Atau pemilihan berdasarkan cara lain yang dianggap demokratis. Apakah kita bisa memilih Alternatif 2, bisa, belum. Tenang lagi dengan muka dingin, belum. Pak Ali Hardi...
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Ali Hardi Kiaidemak dari F-PPP dengan jawaban setuju untuk memilih alternatif 2, yaitu; “Gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara langsung demokratis yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.” Lebih lanjut, Ali Hardi mengatakan bahwa fraksinya sependapat dengan alternatif 1 yang berbunyi; “Bupati, walikota dipilih dalam pemilihan umum lokal yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang. Ali Hardi mengatakan sebagai berikut.
Kalau mengikuti posisi kami Fraksi PPP, adalah sesungguhnya pada posisi Alternatif 1. Tetapi, pada kesempatan ini kami ingin membuktikan bahwa Fraksi PPP itu tidak kalau seperti itu dalam segala hal begitu lho. Kecuali kalau memang ada aspiratif yang memang merupakan problema psikologis bagi kami, tentu kami memang sangat berhati-hati. Untuk masalah ini kami kaitkan dengan pembahasan kita selanjutnya, dimana kita akan kemungkinan besar memiliki Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, maka tentunya Gubernur-gubernur dan Walikota ini akan lebih banyak memberikan pandangan adalah Dewan Perwakilan Daerah begitu. Sehingga kami lalu kembali pada posisi dasar kami yang substansial Fraksi-fraksi kami untuk melepas Alternatif 1 dan bergabung pada Alternatif 2 begitu, terima kasih.
Sikap setuju dengan alternatif 2 juga disampaikan oleh M. Hatta Mustafa dari F-PG. Selengkapnya pernyataan tersebut sebagai berikut.[19]
Pemilihan langsung ini tempo hari memang dikaitkan juga dengan pemilihan Presiden secara langsung itu sebetulnya. Tadinya begitu. Tapi, kalau pengertian dipilih secara demokratis itu bisa juga nanti secara langsung ataupun tidak langsung itu berarti alternatif 2 juga bisa diterima. Tetapi pengertian demokratis itu kan bisa secara langsung dan terbuka, tergantung undang-undang-nya. Kalau misalnya pengertiannya begitu barangkali juga kita bisa menerima Alternatif 2.
Pertanyaan Hatta tersebut dijawab oleh Jakob Tobing: “Saya rasa bukan barangkali lagi itu, sudah bisa.” Kemudian Hatta menanggapi jawaban tersebut sebagai berikut.[20]
Karena sekarang ini undang-undang sudah menyatakan gubernur dan wakil gubernur, bupati, wakil bupati itu dipilih secara paket di dalam di DPRD Tingkat 1 itu. Jadi kalau pengertiannya demikian juga, artinya demokratis itu demikian bisa langsung dan tidak langsung, tetapi dalam pengertian paket itu barangkali bisa. Karena ini, tidak ada penjelasan, tidak penjelasan Undang-Undang Dasar kita itu tidak bisa menjelaskan apa-apa. Jadi, sebaiknya itu jelas.
Atas usulan tersebut, Jakob Tobing selaku Ketua rapat menanggapi sekaligus mengusulkan agar gubernur dipilih langsung oleh rakyat, tetapi wakilnya tidak perlu dipilih langsung. Jakob Tobing mengatakan sebagai berikut.[21]
Para wakil, itu mengikat diri kita dengan lebih dari satu. Belum tentu. Apakah tidak lebih baik begini, ada Daerah-daerah, bukan daerah. Ada negara-negara mempraktekkan sekedar ini, perbandingan. Gubernur itu memang dipilih langsung tetapi wakil tentu tidak. Jadi, memang di Presidennya dia pasangan kalau di gubernur sih tidak. Jadi apakah lebih baik kita itu agak lebih fleksibel saja. Toh undang-undang bisa mengatur itu kan tidak bertentangan. Hal lain adalah kita di depan, di depan atau di belakang itu. Di belakang ini sepakat. Kalau yang menyangkut seperti ini DPD Dewan Perwakilan Daerah itu harus didengar pertimbangannya begitu. Jadi ada dinamika demokratis di dalam. Jadi, diatur di dalam undang-undang itu barangkali bisa lebih.
Sementara itu, Alimarwan Hanan dari F-PPP meminta penegasan dari arti “dipilih secara demokratis”, sebagai berikut. [22]
Sebagaimana pada waktu the founding fathers kita menyusun Undang-Undang Dasar. Terkenal dengan situasi kebatinan pada waktu mereka menyusun Undang-Undang Dasar. Suasana, saya takut itu nanti tertambah begitu saya rubah situasi. Lalu pada suasana ini pun. Ada sesuatu yang mempengaruhi kita di dalam rangka memilih alternatif perumusan-perumusan ini. Sekedar untuk diketahui kita bersama dan telah diketahui. Berbagai ekses dari pemilihan dan sistem Perundang-undangan kita tentang Undang Undang Otonomi Daerah ini. ternyata sudah sangat dirasakan oleh semua. Dan, akibatnya itu yang paling fatal yang terkenal dengan money politic sekarang, karena undang-undang yang sekarang itu pun digunakan secara bias oleh berbagai daerah. Pengertian dengan suara terbanyak dan dianggap itu demokratis ternyata diterjemahkan oleh berbagai daerah ada yang menterjemahkan arti terbanyak itu mayoritas, ada yang terbanyak itu tidak perlu mayoritas. Suasana kebatinan inilah yang harus kita rumuskan untuk tidak mengulangi lagi kejadian ini. Pilihan itulah yang harus kita lakukan pilihan sekarang. Kami mengerti seandainya suasana itu akan dapat terjamin dengan Alternatif ke-2, ya mari monggo begitu. Tetapi, kalau itu tidak akan banyak terjamin dalam mengatasi ini dengan alternatif ke-2 maka, ya sebagaimana kami sampaikan kami menawarkan alternatif pertama, begitu. Alasan-alasan tambahan yang perlu kami sampaikan.
Kekhawatiran yang diungkapkan oleh Ali Marwan Hanan di atas, ditanggapi oleh Gregorius Seto Harianto dari F-PDKB, sebagai berikut.
Pada dasarnya kami mendukung usul ke-2, hanya untuk memperkuat kekhawatiran pengusul alternatif 1. Apakah dalam alternatif 2 ini tidak bisa ditambahkan satu kata jadi gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis dan terbuka, yang pelaksanaannya diatur dengan undang-undang.
Usulan tersebut dipertegas lagi oleh Jakob Tobing dengan menanyakan: “Jadi terbukanya itu dinyatakan secara terbuka ya.” Kemudian dijawab Seto sebagai berikut: “Jadi maksudnya transparan begitulah, tidak perwakilan yang tertutup begitu.”[23]
Mempertimbangkan fenomena politik uang yang terjadi di berbagai daerah dalam pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD, Anthonius Rahail dari F-KKI, mengusulkan agar pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara langsung oleh rakyat. Selengkapnya pendapat tersebut sebagai berikut. [24]
Ini bicara mengenai gubernur, bupati, dan walikota. Menjadi hal yang sangat menentukan kehidupan bangsa kita ke depan dalam rangka cita-cita negara merdeka ini. ini ingin kami tekankan, karena selama ini pemilihan tidak langsung, dan akhir-akhir ini justru hasil pemilihan bupati dan gubernur setelah melaksanakan pemerintahannya ternyata tidak menunjukkan kemampuan yang berarti untuk membangun rakyat, dan nampaknya nanti yang susah juga adalah rakyat itu sendiri. Oleh karena itu, menyangkut tentang sistem pemilihan eksekutif ini memang perlu kita tetapkan secara benar apa yang menurut kata hati kita sekarang adalah terbaik untuk membangun bangsa dan negara ini. oleh karena itu kami melihat, bahwa contoh-contoh yang ada sekarang, kadangkala dengan sistem yang tidak langsung itu lalu bisa diatur akhirnya menghasilkan orang yang punya uanglah yang jadi. Itu adalah suatu fakta seperti itu.
Oleh karena itu kami mengusulkan yang pertama di mana gubernur, bupati, dan walikota itu dipilih secara langsung. Saya yakin dan percaya, bahwa sudah cukup banyak kader-kader bangsa kita yang tersebar diseluruh tanah air hanya kesempatan yang barangkali perlu kita berikan, sehingga ada kompetitif yang sehat dalam rangka kita mempunyai kader pemimpin rakyat yang memang betul-betul teruji kepemimpinannya oleh penilaian yang secara terbuka, terima kasih Pak.
Sementara itu, Yusuf Muhammad dari F-KB menyatakan sebagai berikut.
Kalau saya menyampaikan pendapat secara ringkas sebetulnya biarkan saja ini menjadi alternatif. Tapi, kalau perlu dipertanyakan. Apakah alternatif demokratis dalam alternatif 2 itu pengertiannya ketika kita mendiskusikan itu tidak langsung. Atau kemudian kita tafsirkan bahwa demokratis di situ memberikan dua kemungkinan. Itu ada ceritanya ketika kita menyebut itu, apa itu aspirasi yang menghendaki tidak langsung, atau itu aspirasi yang menginginkan disini hanya ada rumusan besar, tetapi dua kemungkinan itu tetap akan dimungkinkan dalam proses pengaturan undang-undang. Itu pertanyaan.
Tapi kalau lebih panjang lagi, saya kira ketika kita tidak punya keberanian. Atau ketika kita agak khawatir Pemilihan Presiden secara langsung itu bisa berimplikasi macam-macam. Apa kita tidak perlu memulai keberanian kita itu dari tingkat yang lebih bawah. Di samping apa yang tadi disampaikan kenyataan-kenyataan, bahwa banyak pemilihan-pemilihan itu yang bermasalah. Yang inti masalahnya adalah hal-hal yang kemudian menunjukkan, bahwa proses demokrasi tidak jalan. Jadi masalahnya itu subtansial karena kemudian kebutuhan demokratis itu tidak jalan. Ini yang saya kira harus kita renungkan baik-baik. Dan karena itu saya kembali kepada urusan pendapat ringkas saya biarkan itu begitu.



Imam Addaruqutuni dari F-Reformasi menyampaikan pandangannya terkait dengan salah satu rumusan dalam Pasal 18 yakni adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, sebaga berikut.
Meskipun saya setuju dengan pandangan bahwa atau yang menyangkut pasal atau yang menyangkut Ayat (7) Pasal 18, bahwa gubernur dan seterusnya dipilih secara langsung. Saya ingin memberikan catatan bahwa pada hemat saya, saya baru menemukan kata demokratis dalam undang-undang ini satu di sini.
Selanjutnya saya ingin bahwa undang-undang kita ini, tidak terlalu membuka wacana seperti itu, karena itu kata demokratis itu, memang seharusnya dihapus karena kita sudah agak muak dengan penuangan secara langsung seperti itu. Karena itu pemilihan secara langsung itu lebih jelas, karena demokratis itu seringkali tidak jelas.

Selanjutnya pada Rapat Lobi Komisi A Lanjutan Sidang Tahunan MPR, 13 Agustus 2000, Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP menyampaikan pendapatnya sebagai berikut.
Berikutnya berkaitan dengan gubernur, bupati dan walikota. Memang ada usulan langsung begitu. Nah, di sinilah sebenarnya kan demokratis itu memang memiliki makna, dua makna itu. Demokratis itu bisa dalam pengertian itu langsung, bisa juga tidak gitu. Sebenarnya kita mengakomodir dua kepentingan itu ketika di PAH I dan biarlah itu diatur dalam undang-undang. Anak kalimatnya juga diatur dalam undang-undang sehingga pertarungan antara mereka-mereka yang menghendaki pemilihan gubernur, bupati, walikota itu langsung atau tidak biarlah itu undang-undang yang menentukan. Konstitusi ini hanya menegaskan demokratisnya, itu yang lebih bermakna[25]

Selaku pakar yang diundang pada Rapat Lobi Komisi A Sidang Tahunan MPR Lanjutan, yang dilangsungkan pada 14 Agustus 2000, Bagir Manan kemudian menyampaikan ulasan-ulasan terkait dengan dalam hal pemilihan gubernur, bupati dan/atau walikota, apakah dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih secara demokratis, Bagir menyerahkan kepada anggota rapat. Pendapat Bagir tersebut selengkapnya sebagai berikutsebagai berikut[26]
Kemudian di ayat keempat kita bicara, agak kami balik karena rumusannya telah ada di konsep, yaitu, Gubernur,
Bupati, Walikota yang masing-masing menyelenggarakan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota dipilih langsung oleh rakyat daerah bersangkutan, ini terserah nanti ini yang mau dipakai yang mana. Pemerintah daerah kabupaten dan kota menjalankan otonomi. Nah, ini tergantung kita apakah tingkat propinsi juga seperti itu, pemerintahan daerah kalau ini propinsi, kabupaten dan kota atau hanya kabupaten dan kota menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain dalam melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan

Asnawi Latief dari F-PDU mempertanyakan rumusan ayat (4) tentang frasa ‘secara demokratis’ terkait dengan pemilihan kepala daerah secara langsung.  
Yang kedua, saya terima kasih atas bantuan rumusan ini yang lebih padat ketimbang rumusan-rumusan yang kami buat tempo hari. Yang intinya hampir sama. Hanya barangkali yang agak berbeda mengenai ketika Pasal 4, mengenai gubernur, bupati dan seterusnya itu dipilih langsung oleh rakyat daerah bersangkutan, memang saya usul, fraksi kami usul seperti itu. Tapi hasil kompromi dipilih secara demokratis. Jadi demokratisnya itu apa dipilih lewat DPRD atau langsung? Itu juga terserah pada undang-undangnya nanti. Bagaimana pendapat perumus Bapak Bagir, apakah cukup dipilih secara demokratis? Dengan segala alasan-alasan itu saya tidak terima itu. Alasan dipilih langsung itu rakyat tidak siap itu, selalu money politic di manapun mesti ada itu. Jadi terlepas dari ekses itu, setiap sistem mesti ada kekurangannya. Kemudian, itu yang kedua.

Terhadap usulannya mengenai pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat, Bagir mengaku tidak keberatan kalau akhirnya PAH I menggunakan kalimat “dipilih secara demokratis.” Selengkapnya penjelasan Bagir sebagai berikut.
Pemilihan gubernur secara langsung, kami tidak ada keberatan kalau itu pemilihan demokratis sama sekali. Kita tuliskan karna apa? Ada pembicaraan mengenai itu. Jadi kita coba pilih begitu ya. Jadi kita kembali ke rumusan yang awal, tidak ada masalah sama sekali.

Hasil-hasil tim perumus atau lobi antara pimpinan komisi dan pimpinan fraksi ataupun yang mewakili fraksi-fraksi tentang materi pemerintahan daerah, sebagaimana diuraikan di atas dibawa dalam Rapat Komisi A MPR ke-6 (lanjutan), 14 Agustus 2000, yang dipimpin oleh Antonius Rahail, dengan agenda pembahasan materi Sidang Tahunan MPR sesuai dengan tugas komisi-komisi. Antonius Rahail selaku Ketua rapat membacakan hasil rumusan materi tentang pemerintahan daerah sebagai berikut.
Pasal 18 ayat (4)
”Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis berpendapat bahwa makna demokratis tidak melulu sama dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal ini terlihat adanya 2 alternatif yang kemudian dibahas oleh Rapat PAH MPR.
Alternatif 1 yang diajukan mensyarakan kepada adanya pemakaian kalimat pemilihan langsung, sedangkan alternatif 2 menggunakan frasa demokratis. Dengan disepakati alternatif 2, maka jelas pemaknaan demokrasi dalam Pasal 18 ayat (4) tidak saja pemilihan kepala daerah secara langsung tetapi juga dapat dilaksanakan secara tidak langsung yang selanjutnya ditentukan oleh pembuat undang-undang.


PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.             Bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis, tidak mutlak dimaknai bahwa pengisian jabatan kepala daerah secara langsung.
2.             Bahwa makna demokrasi sebagaimana dimaksud dapat dimaknai dengan pemilihan melalui konsep keterwakilan oleh DPR, sepanjang pengisian jabatan dimaksud dilaksanakan dengan secara jujur dan adil dengan memperhatikan kondisi keragaman daerah serta kondisi serta tidak bertentangan dengan prinsip demokratis.





DAFTAR PUSTAKA

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta, Aksara Baru, 1977
Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalime Konstitusi Press, Jakarta, 2005
Mohammad Tolchah Mansoer, Pembahasan beberapa Aspek  tentang Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia, Cet. Ke-3, Jakarta, 1983, Pradnya Paramita
Suharizal, Gagasan Pemilihan Kepala Daerah Langsung, dalam reformasi Hukum, Fakultas Hukum Unand, Padang, 2003
­­­­­­­­­­____________, M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Ketiga
Muhammad Asfar, Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004, Surabaya: Eureka, 2006
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia , Edisi Revisi, Buku I : Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia , Edisi Revisi, Buku IV : Kekuasaan Pemerintah , Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta
Sri Soemantri Martosoewignyo, Persepsi Terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Alumni, 1979
Suharizal, Gagasan Pemilihan Kepala Daerah Langsung, dalam reformasi Hukum, Fakultas Hukum Unand, Padang, 2003.
Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep mendatang, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.




[1]  Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalime Konstitusi Press, Jakarta, 2005, Halaman 1
[2]  Ibid, Halaman 29.

[3] Ibid, Halaman 29.

[4] Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia , Edisi Revisi, Buku I : Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta , Halaman 13.

[5] Suharizal, Gagasan Pemilihan Kepala Daerah Langsung, dalam reformasi Hukum, Fakultas Hukum Unand, Padang, 2003, hlm.89.
[6]   Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep mendatang, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.
[7] Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia , Edisi Revisi, Buku IV : Kekuasaan Pemerintah , Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm 1161.

[8]    Ibid hlm. 1211
[9]    Ibid
[10]  Ibid
[11]  Ibid
[12]  Ibid, hlm.1212
[13]    Ibid
[14]    Ibid, hlm. 1213

[15]    Ibid.
[16]    Ibid, hlm. 1214
[17]    Ibid.
[18]    Ibid, hlm. 1249
[19]    Ibid, hlm. 1250
[20]   Ibid
[21]   Ibid, hlm. 1251
[22]   Ibid  hlm. 1268
[23]   Ibid,  hlm. 1253
[24]   Ibid
[25]  Ibid, hlm.1349
[26]  Ibid, hlm.1359

Comments

Popular Posts