NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONSTITUSI NEGARA INDONESIA
Oleh :
I.
PENGANTAR
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan
oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno. Plato, pada awalnya dalam The Republic berpendapat bahwa adalah
mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan
kebaikan. Untuk itu, kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui, yaitu
seseorang filsof (the philosopher king). Namun,
dalam bukunya the Statesman dan the Law, Plato menyatakan bahwa yang
dapat diwujudkan adalah bentuk paling baik kedua (the second best) yang menempatkan supremasi hukum. Pemerintahan
yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh
hukum. Senada dengan Plato, tujuan negara menurut Aristoteles untuk mencapai
kehidupan paling baik (the best life)yang
dapat dicapai dengan supremasi hukum.[3]
Di negara-negara modern yang menganut sistem Eropa
Kontinental, konsep negara hukum digagas dan dikembangkan oleh Immanual Kant,
Paul Laband, Julius Stahl, Fichte. Sedang untuk negara-negara yang menganut
sistem Anglo Amerika (Anglo Saxon),
dikembangkan oleh AV. Dicey[4].
Menurut Julius Sthal, konsep negara hukum yang disebut
dengan istilah rechtstaat mencakup
empat elemen penting, yaitu :
1.
Perlindungan
hak asasi manusia.
2.
Pembagian
kekuasaan.
3.
Pemerintah
berdasarkan undang-undang.
4.
Peradilan
tata usaha negara.
Sementara itu AV. Dicey, menyatakan
setidaknya adanya 3 ciri penting negara hukum yang diistilahkan dengan The Rule
of Law, yakni :
1.
Supremacy
of law.
2.
Equality
before the law.
3.
Due
process of law.
Utrecht
juga membedakan bahwa negara hukum atas 2 macam, yakni negara hukum formil atau
negara klasik dan negara hukum materil atau negara modern.[5]
Dimana negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan
sempit, seperti aturan hukum dan peraturan perundang-undangan yang bersifat
tertulis. Sedangkan pengertian hukum yang bersifat materil menyangkut
pengertian tentang keadilan didalamnya.
Berdasarkan hal tersebut, Prof. Jimly
menguraikan bahwa ada prinsip-prinsip penting baru untuk mewujudkan negara
hukum. Terdapat 12 (dua belas) prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama yang
menyangga berdirinya negara hukum. Kedua belas prinsip tersebut adalah sebagai
berikut :[6]
1.
Supremasi
hukum (supremacy of law)
2.
Persamaan
dalam hukum (equality before the law)
3.
Asas
legalitas (due process of law)
4.
Pembatasan
Kekuasaan
5.
Organ-organ
penunjang yang independen
6.
Peradilan
yang bebas dan tidak memihak
7.
Peradilan
tata usaha negara
8.
Mahkamah
Konstitusi (Constitutional Court)
9.
Perlindungan
Hak Asasi Manusia
10.
Demokratis
(Democratishe Rechstaat)
11.
Berfungsi
sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtstaat)
12.
Transparasi
dan kontrol sosial
Apabila kita membuka kembali sejarah berdirinya Republik ini,
lahirnya negara kesatuan republik ini diawali bahwa negara Indonesia
dilandaskan kepada negara hukum.
Secara konstitusional, pernyataan bahwa
Indonesia adalah negara hukum tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945), yang berbunyi : āNegara Indonesia adalah negara hukumā. Didalamnya terkandung
pengertian adanya pengakuan prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya
prinisp pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang
diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia
dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak
memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta jaminan
keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak
yang berkuasa.[7]
Salah satu yang menjadi ciri dari negara
hukum sebagaimana yang dikemukan diatas adalah mengenai jaminan dan pengakuan
hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar.
Sebagai Negara yang
berdasarkan hukum, maka Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan hukum dasar penyelenggaraan negara. Pergulatan panjang sejarah
āRepublikā ini menciptakan dinamika ketatanegaraan : bagaimana dan akan kemana
berlayarnya perahu besar Bangsa Indonesia untuk sampai kepada cita-cita bangsa
yakni mewujudkan keadilan yang makmur bagi seluruh bangsa Indonesia.
Bahwa sebagai hukum dasar,
maka penyusunan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, jelas akan dipengaruhi oleh
nilai-nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat. Karena itu, suasana
kebatinan (geistichenhentergrund)
yang menjadi latar belakang, filosofis, sosiologis, politik dan historis
perumusan juridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan
seksama, untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat
dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.[8]
Kemerdekaan negara Indonesia adalah sebagai
perwujudan nyata dari jaminan hak asasi manusia dan oleh karenanya sudah
sepantas jaminan dan pengakuan hak asasi manusia oleh negara tidak hanya
termaktub didalam pembukaan UUD 1945 semata, tetapi juga di dalam batang tubuh
UUD 1945.
Bahwa adanya perdebatan tentang hak asasi
manusia dalam kontitusi negara ternyata telah dimulai perumusan UUD 1945, yakni
tentang perlu atau tidaknya jaminan hak asasi manusia dalam konstitusi telah
dimulai oleh tokoh besar pendiri negara yakni Moh. Yamin dan Moh. Hatta dan
sisi berseberangan oleh Soekarno dan Soepomo.
Menurut Soekarno, Indonesia harus dibangun sebagai
negara kekeluargaan. Hal ini dinyatakan dalam pidatonya di hadapan Sidang Kedua
BPUPK, pagi 15 Juli 1945.[9]
Soekarno berpendapat
bahwa āright of citizensā didasarkan kepada paham individualisme
sebagaimana yang dianut oleh Perancis. Undang-Undang Dasar yang mengatur hak
kemerdekaan suara, kemerdekaan memberikan hal suara, mengadakan persidangan dan
berapat jika tidak ditopang keadilan sosial. Oleh karena itu, hendaknya negara
Indonesia mendasarkan kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong royong dan keadilan sosial. [10]
Sebagai mahluk sosial
manusia tidak akan menuntut haknya, tetapi menurut kewajibannya terhadap
masyarakat. Soekarno mempperjuangkan kedaulatan rakyat, tetapi ia melawan
kedaulatan individu sebagaimana dirumuskan dalam daftar hak-hak asasi itu.[11]
Pendapat Soekarno
didukung Soepomo (darinya kita mengenal negara kekeluargaan) yang juga
berpendapat tidak perlu memasukkan pengaturan mengenai HAM dalam Undang-Undang
Dasar.[12]
UUD yang kami
rancangkan, berdasarkan atas paham kekeluargaan, tidak berdasar atas paham
perseorangan, yang telah kita tolak. Pernyataan berkumpul dan berserikat di
dalam UUD adalah sistematik dari paham perseorangan, oleh karena itu dengan
menyatakan hak bersidang dan berserikat di dalam UUD kita akan menantang
sistematik paham kekeluargaan.[13]
Pandangan dan
pendapat Soekarno dan Soepomo ditentang oleh M. Hatta dan M. Yamin yang
menginginkan agar hak-hak manusia diatur dalam UUD. Kekhawatiran Hatta adalah bahwa
tidak ada jaminan atas hak tersebut dalam UUD akan menjadikan Negara yang baru dibentuk menjadi negara
kekuasaan .[14]
Pendapat Hatta
diperkuat M. Yamin dalam Sidang BPUPK sehingga menimbulkan dua kutub pemikiran,
yang terdiri atas paham kekeluargaan dan paham pencamtuman hak asasi.[15]
Bahwa perdebatan
tersebut memperlihatkan bahwa hak asasi
adalah bagian terpenting dalam konstitusi sebuah negara. Sebagai hukum
tertinggi maka jaminan hak asasi dalam UUD 1945 berarti memberi landasan hukum
tertinggi di negara Indonesia bagi pengakuan, perlindungan dan pemenuhan
hak-hak asasi setiap manusia.[16]
Berdasarkan hal
tersebut, kiranya menarik untuk dibahas mengenai Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Negara
Indonesia.
II.
HAK ASASI MANUSIA
Salah satu yang
mengesankan dari berlangsungnya reformasi konstitusi adalah perlindungan
terhadap HAM menjadi lebih impresif. UUD 1945 hasil perubahan berhasil memiliki
aturan-aturan HAM yang memadai. Meskipun pada awalnya banyak silang pendapat,
namun akhirnya MPR sepakat untuk memasukkan aturan-aturan baru tentang HAM
kedalam Pasal 28 A hingga 28 J pada BAB XA.[17]
Hak Asasi Manusia
lahir dalam kaitannya pemerolehan kebebasan pada seseorang yang mengandung
unsur normatif didalamnya. Bahwa hak yang diperoleh demikian harus didukung
dengan hak dan kewajiban. Hal ini berarti bahwa antara hak dan kewajiban tidak
dapat dipisahkan dalam perwujudannya.[18]
HAM pada dasarnya
adalah hak-hak yang melekat (Inherent) secara alamiah kepada manusia dan tanpa
itu manusia. Hak-hak dan kebebasan dasar manusia memungkinkan manusia untuk
mengembangkandan menggunakan secara maksimal kualitas masing-masing,
intelegensinya, bakatnyadan hati nuraninya dalam rangka memuaskan kebutuhan
spiritual dan kebutuhankebutuhan lainnya.[19]
Lebih lengkap Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerahNya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, pemerintah dan
setiap orang.
Hak asasi
manusia memiliki prinsip-prinsip utama dan menjadikannya sebagai bagian penting
dalam kehidupan umat manusia. Ada delapan prinsip hak asasi manusia, yakni: [20]
Pertama,
prinsip universalitas. Prinsip
universalitas adalah prinsip yang dimiliki dalam nilai-nilai etik dan moral
yang tersebar di seluruh wilayah di dunia, dan pemerintah termasuk
masyarakatnya harus mengakui dan menyokong hak-hak asasi manusia. Ini
menunjukkan bahwa hak-hak asasi manusia itu ada dan harus dihormati oleh
seluruh umat manusia di dunia manapun, tidak tergantung pada wilayah atau
bangsa tertentu. Ia berlaku menyeluruh sebagai kodrat lahiriah setiap manusia.
Prinsip
yang kedua, pemartabatan terhadap manusia (human dignity). Prinsip ini
menegaskan perlunya setiap orang untuk menghormati hak orang lain, hidup damai
dalam keberagaman yang bisa menghargai satu dengan yang lainnya, serta
membangun toleransi sesama manusia.
Prinsip
yang ketiga, non-diskriminasi.
Prinsip non-diskriminasi sebenarnya bagian integral dengan prinsip persamaan,
dimana menjelaskan bahwa tiada perlakuan yang membedakan dalam rangka
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak seseorang.
Prinsip
yang keempat, equality atau persamaan. Prinsip ini bersentuhan atau
sangat dekat dengan prinsip non-diskriminasi. Konsep persamaan menegaskan
pemahaman tentang penghormatan untuk martabat yang melekat pada setiap manusia.
Hal ini terjelaskan dalam pasal 1 DUHAM 1948, sebagai prinsip hak-hak asasi
manusia: āSetiap orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat serta hak-hak
yang sama.ā Konsekuensi pemenuhan persamaan hak-hak juga menyangkut kebutuhan
dasar seseorang tidak boleh dikecualikan. Persamaan, merupakan hak yang
dimiliki setiap orang dengan kewajiban yang sama pula antara yang satu dengan
yang lain untuk menghormatinya. Salah satu hal penting dalam negara hukum,
adalah persamaan di muka hukum, merupakan hak untuk memperoleh keadilan dalam
bentuk perlakuan dalam proses peradilan.
Prinsip
yang kelima, indivisibility. Suatu hak tidak bisa dipisah-pisahkan
antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait dengan pandangan yang
menyesatkan tentang membeda-bedakan atau pengutamaan hak-hak tertentu
dibandingkan hak-hak lain. Hak sipil dan politik, sangat tidak mungkin
dipisahkan dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya, karena keduanya satu
kesatuan, tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya.
Prinsip
yang keenam, inalienability. Pemahaman prinsip atas hak yang tidak bisa
dipindahkan, tidak bisa dirampas atau dipertukarkan dengan hal tertentu, agar
hak-hak tersebut bisa dikecualikan.
Prinsip
yang ketujuh, interdependency (saling ketergantungan). Prinsip ini juga
sangat dekat dengan prinsip indivisibility, dimana setiap hak-hak yang
dimiliki setiap orang itu tergantung dengan hak-hak asasi manusia lainnya dalam
ruang atau lingkungan
Prinsip
yang kedelapan, responsibilitas atau
pertanggungjawaban (responsibility). Prinsip pertanggungjawaban hak-hak
asasi manusia ini menegaskan bahwa perlunya mengambil langkah atau tindakan
tertentu untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia,
serta menegaskan kewajiban-kewajiban paling minimum dengan memaksimalkan
sumberdaya yang ada untuk memajukannya.
Bagaimana
hak asasi manusia dalam konteks konstitusi Indonesia? Dalam Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia (UUD) yang dibuat tahun 1945, jelas memperlihatkan dalam
Pembukaannya: āpenentangan adanya segala bentuk penjajahan atas semua
bangsa, memajukan kesejahteraan umum, keinginan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosialā, sangat dipengaruhi oleh situasi politik Indonesia yang
baru saja lepas dari pengalaman pahit dijajah oleh kolonialisme Belanda.
III. PENGATURAN HAM DALAM KONSTITUSI NEGARA INDONESIA
Sebagaimana yang
telah diuraikan sebelumnya, bahwa negara Indonesia menganut paham negara hukum
sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945),
yang berbunyi : āNegara Indonesia adalah
negara hukumā.
Namun istilah negara
hukum ārechtstaatsā untuk negara
Indonesia semula sudah tercantum dalam penjelasan UUD 1945 pada bagian umum,
Sub Bagian Sistem Pemerintahan Negara, yang menyebutkan istilah Rechstaat
sampai dua kali, yaitu Angka I yang berbunyi āIndonesia ialah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat), tidak
berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Setelah UUD 1945 diamandemen,
penjelasan ditiadakan dan isinya yang bersifat normatif dimasukkan di dalam
pasal-pasal, maka istilah rechtstaat juga
termasuk ditiadakan. Pada perubahan Ketiga UUD 1945 (tepatnya Sidang Tahunan
MPR Tahun 2001), prinsip negara hukum kemudian dicantumkan di dalam Pasal 1
ayat (3) dengan istilah netral (tanpa menyebut Rechtstaat atau Rule of Law) yang isinya adalah āNegara
Indonesia adalah negara hukumā.[21]
Sebagai negara hukum,
maka konstitusi negara Indonesia dibangun pada pondasi hak asasi manusia.
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsep
hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum,
bukan manusia.
Hingga kini Indonesia
telah pernah mengalami beberapa kali perubahan konstitusi, yakni dimulai dengan
Undang-Undang Dasar 1945, UUD RIS 1949, UUDS 1950 dan UUD 1945 Amademen I, II,
III dan IV.Oleh karenanya pula pengaturan berkenaan dengan hak asasi manusia
pun berubah-ubah.
Bahwa pada masa
konstitusi RIS 1949, paling tidak ada sekitar 17 hak yang dimuat pada BAB I, Bagian V tentang Hak Asasi Manusia dan
Kebebasan Dasar Manusia, mulai Pasal 7 sampai dengan Pasal 33.
Pada 15 Agustus 1950
terjadi lagi perubahan konstitusi Indonesia. Konstitusi RIS 1949 digantikan
dengan UUD Sementara 1950, yang juga mengatur pengaturan tentang Hak Asasi
Manusia. Setidaknya terdapat 47 pasal yang termuat dalam BAB I, Bagian V sampai
dengan BAB VI.
Bahwa selanjutnya
dengan kembalinya konstitusi negara Indonesia kepada Undang-Undang Dasar 1945,
mempengaruhi jaminan hak asasi manusia dalam konstitusi kita yang cenderung
lebih sempit.
Barulah kemudian era
reformasi pada tahun 1998-1999 atau pada Pemerintahan Habibie memberikan warna
bagi pemajuan HAM dalam bidang legislasi nasional. Diantaranya UU No.9 tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dan UU No.39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pada 13 November 1998
MPR menetapkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketetapan ini memuat naskah Hak Asasi Manusia yang terdiri dari (1) Pandangan
dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia dan (2) Piagam Hak Asasi
Manusia.
Selanjutnya era
reformasi mendorong agar UUD 1945 dilakukan amandemen dimana materi yang akan
dimuat dalam proses amandemen tersebut berkenaan dengan hak asasi manusia.
Jika pada UUD 1945
sebelum amandemen, pasal-pasal tentang jaminan hak asasi manusia hanya bersifat
eksplisit dan tidak dicantumkan secara tegas pada BAB tersendiri, maka
amandemen dilakukan untuk memuat secara khusus BAB berkenaan dengan Hak Asasi
Manusia.
Melalui Amandemen IV
UUD 145, maka jaminan hak asasi lebih luas dari UUD 1945. Meski hampir semua
prinsip Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
(DUHAM) 1948 terdapat didalamnya, namun banyak hak yang tumpang tindih diatur
dalam berbagai pasal.[22]
Pasca amandemen UUD
1945, tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, tetap tidak
mengalami pengubahan dalam amandemen I-IV yang dilakukan sejak tahun 1999-2002.
Artinya, meskipun pasal-pasal atau dulu disebut batang tubuh UUD 1945 mengalami
banyak perubahan, bahwa konsepsi tujuan negara tersebut tetap dipergunakan
sebagai landasan setiap penyelenggaran kehidupan negara dan bangsa Indonesia.
Tetapi, dalam pasal-pasalnya, pengaturan hak-hak asasi manusia yang terdapat
dalam UUD 1945 pasca amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan,
yang nampak mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak
yang diakui secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights
1948.
Di
dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawab negara dalam hak
asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal
28I (4) dan (5), yang menyatakan āPerlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah
dan Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.ā[23] Keduanya, merupakan kunci dalam melihat
tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini
pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia.
IV. KESIMPULAN
Pasang
surut pengaturan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia merupakan
dinamika politik ketatanegaraan, Konsep negara hukum yang dianut oleh Negara
Indonesia tidak dapat dipisahkan atas pondasi yang melindungi hak asasi
manusia. Bahwa perlunya mengatur Hak Asasi Manusia dalam konstitusi adalah
harga yang tidak bisa ditawar sebagai perwujudan pemajuan akan hak asasi
manusia seutuhnya.
Oleh
sebab itu, mendorong pengaturan secara normatif dalam konstitusi adalah
penting, yang tidak kalah pentingnya dengan soal pelaksanaannya yang melandasi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan tidak berlebihan kiranya, mendorong
perubahan konstitusi yang berbasis pada upaya pemajuan hak-hak asasi manusia
akan menjadi mendesak sebagai dasar konstitutional.
Konsepsi
negara hukum dan hak asasi manusia, menunjukkan suatu corak konstitusionalisme
tersendiri bagi negara Indonesia untuk masa depan Indonesia, khususnya masa
depan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad M Ramli, Perkembangan
Hukum dan Penegakan Hak Asasi Manusia dalam Kapita Selekta : Tinjauan kritis atas situasi dan kondisi hukum di
Indonesia, seiring perkembangan masyarakat nasional dan Internasional, Bandung,
2009.
Anton
Pradjasto, Hak Asasi Manusia dalam
Konstitusi, Jakarta, Panduan Bantuan hukum di Indonesia, 2006.
Flowers, N., The Human Rights
Education Handbook: Effective Practices For Learning, Action, And Change.
Minneapolis, MN: University of Minnesota, 2000, dan Ravindran, D. J. Human Rights Praxis: A Resource Book for
Study, Action and Reflection. Bangkok, Thailand: The Asia Forum for
Human Rights and Development, 1998.
Irmansyah,
Rizky Ariestandi, SH, Sejarah, Hak Asasi
Manusia dan Demokrasi, Yogyakarta, Graha ilmu, 2013.
Jimly Asshidiqie, Hukum
Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, Sinar Grafika, 2012.
Jimly Asshidiqie, Konstitusi
dan Konstitualisme, Jakarta, Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum
Tata Negara UI, 2004.
Juhaya
S.Praja, Teori Hukum dan Aplikasi,Bandung,
CV. Pustaka Setia
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik
Dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang:Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 1996.
Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia , Edisi Revisi, Buku VIII : Warga Negara dan Penduduk, Hak
Asasi Manusia dan Agama, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Syafroedin
Bahar, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Jakarta,
Sekretariat Negara, 1995.
Theo
Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan
Sejarah, Yogyakarta, Penerbit Kanisius,2006.
Utrecht, Pengantar
Hukum Admistrasi negara, Jakarta, Ichtiar, 1962.
[1] Makalah disampaikan pada acara Sosialisasi HAM bagi Perangkat Nagari
se-Kabupaten Tanah Datar Tahun 2014, Batusangkar tgl 23 Oktober 2014.
[3]
Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara dan
Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, halaman 129-140
[4]
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan
Konstitualisme, Jakarta, Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata
Negara UI, 2004, halaman
122.
[5]
Utrecht, Pengantar Hukum Admistrasi
negara, Jakarta, Ichtiar, 1962, halaman 9.
[6]
Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara dan
Pilar-Pilar Demokrasi, Op.cit., halaman 130
[7]
Prof. Dr. Ahmad M Ramli, SH, MH, FCBArb, Perkembangan
Hukum dan Penegakan Hak Asasi Manusia dalam Kapita Selekta : Tinjauan kritis atas situasi dan kondisi hukum di
Indonesia, seiring perkembangan masyarakat nasional dan Internasional, Bandung,
2009, halaman 224-225.
[8] Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitualisme,.op.cit., Halaman 29.
[9]
Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia , Edisi Revisi, Buku VIII :
Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia dan Agama, Sekjen dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta , Halaman 13.
[10] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Penerbit
Kanisius,2006, Halaman 303.
[12] Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia , Edisi Revisi, Buku VIII, op.cit,.
halaman 27.
[13] Syafroedin Bahar, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Jakarta,
Sekretariat Negara, 1995, halaman 259.
[14] Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia , Edisi Revisi, Buku VIII, op.cit,.
halaman 28.
[16] Anton Pradjasto, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi,
Jakarta, Panduan Bantuan hukum di Indonesia, 2006, halaman 313.
[18] Irmansyah, Rizky Ariestandi, SH, Sejarah, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Yogyakarta,
Graha ilmu, 2013, halaman 62.
[19] Muladi, Hak
Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradilan Pidana, ( Semarang:Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1996), hal. 40.
[20] Flowers, N., The
Human Rights Education Handbook: Effective Practices For Learning, Action, And
Change. Minneapolis, MN: University of Minnesota, 2000, dan
Ravindran, D. J. Human Rights
Praxis: A Resource Book for Study, Action and Reflection. Bangkok,
Thailand: The Asia Forum for Human Rights and Development, 1998.
[21] Prof. Dr. H.Juhaya S.Praja, M.A, Teori Hukum dan Aplikasi,Bandung, CV.
Pustaka Setia, halaman 140.
[23] Ketentuan pasal 28 (4) dan (5)
UUD 1945 dihasilkan dalam Perubahan Kedua, disahkan 18 Agustus 2000.
Comments
Post a Comment